Pagi itu, Lisa masih ingat dengan baik apa yang terjadi sebelum akhirnya Gio membawanya ke luar dan pergi dari rumah yang baru saja menjadi rumah baru untuk Lisa, rumah orang tua Gio tentunya.
Gio menantang keras kakak lelaki pertamanya itu, bekas ciuman di bibir Lisa yang masih membekas sampai pagi karena Gio meminta malam pertama mereka penuh akan ciuman seolah digentarkan pagi ini.
Pemuda, maksudnya suaminya yang semalam dia lihat sungguh berbeda dari sekarang, Gio dengan semua gulungan api di sekitar tubuhnya.
"Apa Kakak pikir aku akan membiarkan kau mempunyai waktu untuk mengenal Ica? Buang saja pikiran burukmu itu, karena itu sia-sia, jangankan dirimu, Mama saja tidak aku biarkan bertemu lama dengan Ica. Dengarkan aku baik-baik, Kak!" dia raup wajahnya yang kesal itu, mencoba membuang emosi yang ada di sana. "Jangan pernah bermimpi bisa dekat dengan Ica, kalau sampai aku lihat hal itu terjadi, tanganku sendiri yang akan menarik dan menghukum kalian!"
Duar!!
"Ica, Ica!"
Eh, Lisa terhenyak dari lamunannya, dia pandangi wajah Gio yang masih merona samar itu, setiap kali selesai berhubungan akan seperti ini. Dia yang malu sendiri.
"Iya, Gi?"
"Memikirkan apa?" ingat, harus berkata jujur pada Gio, tak boleh ada kebohongan sama sekali.
Lisa putar tubuhnya, masih terlilit selimut tipis putih itu.
"Gi, mendadak aku ingat hari pertama dan pagi pertama aku menikah sama kamu, di rumah itu bersama orang tua dan kakakmu. Huh, aku tahu kamu pasti marah kalau aku ingat ini, tapi aku rasa memutuskan hubungan saudara dengan kakakmu itu bukan hal baik." ujarnya.
Hilang rona merah di wajah Gio, berganti merah padam di mana ada aroma sedap emosi yang Lisa tangkap.
"Sayang, Gi-"
Diam, dia akam dihukum karena menyebut masa lalu yang tak pernah mau Gio ungkit ini, apapun hubungannya dengan semua orang di rumah itu, Gio tak mau Lisa membahasnya, bahas saja rumah dan seisinya ini, Gio membelinya sendiri.
Bruk!
Terkapar kedua kalinya, yang Lisa herankan adalah suaminya itu bisa juga bergairah disaat tengah marah, ini bukan sekalinya loh tapi sudah berulang kali begini. Dan Gio amat sangat bergairah kepadanya, bukan seperti orang marah yang enggan, pergi atau menghindar.
"Mandi, Ica. Jangan membantah!"
"Tapi, Gi. Kan, siapa tahu kalau aku diam dulu, bisa jadi dedeknya, eheheheh." aku tahu kamu tidak akan suka membahas anak di masa ini, pasti langsung malas. Lisa.
Eh, tidak!
Gio bergeleng sebelum meninggalkan Lisa ke kamar mandi, dia membersihkan diri lebih dulu, tak mengusik Lisa sama sekali.
Lisa usap perutnya, barang kali memang rejekinya meskipun dilakukan pada hari yang sudah jauh dari masa subur, Gio bisa begitu tahan selama masa subur, tapi kalau marah bisa tidak tahan seperti ini.
Suara guyuran air terdengar sampai ke telinga Lisa, ternyata suaminya itu tak menutup pintu dengan benar.
"Iya, aku tahu apa yang kamu mau, Gi." Lisa bergegas turun, hanya sebentar sekali dia berbaring dan ini sering dia rasakan di mana ada yang mengalir jatuh ke sepanjang kakinya. Lisa belum pernah mencari tahu akan hal ini, dia hanya berfikir pendek di mana itu adalah cairan mereka yang ke luar kembali dan tak bisa sempat masuk ke rahimnya, entah benar atau tidak.
***
"Loh, Lisa dateng ke sini ya?" ibu menyambut kedatangan Lisa dengan senyum lebarnya itu. "Kok pakai bawa yang begini sih, kamu itu!"
"Gio yang mau bawa ini buat Ibu sama ayah. Mana Naya, Bu?" ada hadiah yang akan dia berikan pada adik angkatnya itu.
Ibu tunjuk kamar Naya yang baru saja direnovasi itu, di sana juga ada ayah. Lisa tinggalkan ibunya yang sudah berdiri menyambut Gio, menantu kesayangan yang selalu diagungkan disaat datang. Lisa kira dia akan pergi ke rumah keluarga Gio, nyatanya tidak.
"Mbak Lisa, aku kangen!" teriak Naya.
"Ahahahahah, kamu ini kan modelnya ya, ini ada hadiah buat kamu, yang pinter ya sekolahnya, biar bisa jadi kebanggaan semua orang, terus lagi harus punya kepribadian yang baik, oke!"
Naya mengangguk, dia peluk Lisa sebelum akhirnya dia lepas karena Gio mulai masuk ke rumah bersama ibu. Sosok Gio memang tidak banyak bicara, tapi dalam hal Lisa, dia selalu minta porsi lebih, entah karena apa, Gio membuat batas untuk diri Lisa, sekalipun itu pada teman atau saudara yang jelas Gio kenal dan tahu.
"Kamu sabar saja sama suamimu, Di pasti punya alasan kenapa sampai tidak mau ke rumahnya atau bertemu saudaranya, Ibu yakin selama ini dia ketemu sama Ibu dan ayah itu juga untuk mengobati kerinduannya pada keluarga, tapi untuk apa alasannya, Lisa ... mungkin Gio punya dan dia nunggu waktu yang tepat buat buka itu semua ke kamu."
Gio itu anak baik, tidak mungkin memutus hubungan saudara, bagaimana bisa dia mutus persaudaraan sedang bersama orang lain saja sebegitu pedulinya.
"Kadang Lisa mikir Gio belum menerima pernikahan ini, Bu. Huufft, maka itu dia tidak mau keluarganya terlalu kenal sama Lisa."
"Tidak ada yang seperti itu, Lisa. Ibu sama ayah jadi saksinya kalau mereka memilih kamu bukan hanya karena waktu itu usaha ayahmu butuh, tapi karena memang mama mertua kamu itu senang waktu tahu foto kamu, sungguh!" ibu berani bersumpah dalam hal ini.
Benarkah, kenapa dia masih ragu kalau semua bukti bisa ibu jelaskan dengan baik dan runtut?
Di belakang pintu, Gio putar langkahnya, sebentar lagi hari jadi pernikahan mereka, dan sampai sejauh ini nyatanya Lisa tak pernah bisa mengerti dengan baik apa yang dia rasakan.
Gio cinta sama Lisa, belum dia katakan karena masa lalu mengajarkan Gio untuk tidak gegabah dalam mengungkapkan cinta. Belum juga dia buktikan dengan membuat ikatan jelas diantara dirinya dan Lisa, semisal hadirnya anak, tidak lain karena dia masih takut hak itu terulang lagi.
"Jadi, nginep?"
"Besok kan harus kerja, eheheheh. Kapan-kapan pasti ke sininya sabtu, biar bisa nginep di sini, ya, Gi?" menyenggol lengan suaminya, Gio sontak mengangguk.
Mereka kembali memutar arah kemudi, Lisa yang masih kalut akan kebingungannya sendiri hanya bisa sibuk menikmati pemandangan sekitar, pengendara lain yang lalu lalang dan saling berbalapan.
Sampai pada satu bangunan yang membuatnya terheran sekaligus terkejut, dia tegakkan tubuhnya, dia melihat rumah yang begitu mirip dengan rumah mertuanya.
"Gi, kamu kok tidak-maksudku kenapa tidak bilang kalau mau ke rumah mama, aku lagi tidak membawa apapun?!"
"Mereka tidak butuh itu, Ica. Kamu dan aku tiba saja sudah keajaiban untuk mereka, sudah lama aku memutus semua jalur ini." Gio paksa Lisa turun, berjalan di sisinya.