Saat Toni mengucap salam dan mengetuk pintu, pikiran Kanaya mulai tidak tenang rasanya ia ingin segera lari dari tempat tersebut.
"Mas, aku kebelet nih. Bisa tolong bawakan minumanya sendiri ke dalam, lagi pula tinggal satu," Kanaya beralasan.
"Oh, iya nggak papa."
Kanaya bernafas lega, iapun tersenyum menang sembari melangkah pergi dari depan ruangan Gibran. Namun, karena saking bahagia, Kanaya tidak memperhatikan jalan hingga tubuhnya menabrak seseorang hingga beberapa berkas jatuh.
"Maaf, maaf." Kanaya tertunduk malu dan mulai merapikan berkas yang berserakan.
"Hati-hati dong, Nay," ujar laki-laki itu.
Kanaya seketika menghentikan aktivitasnya, wajahnya ia tolehkan ke sumber suara, suara itu benar-benar tidak asing bagi telinga Kanaya. Ternyata benar apa dugaannya, laki-laki itu adalah Gibran, orang yang ingin ia hindari. Susah payah perempuan itu menghindarinya, tetapi ternyata keadaan berkata lain, mereka justru bertemu dalam keadaan yang tidak terduga.
"Maaf." Kanaya menyerahkan berkas-berkas itu dengan terburu-buru sambil melangkah pergi. Ia memegang ujung baju office girl dengan perasaan gemas, perasaanya terasa seperti telah disudutkan dengan keadaan yang begitu membelenggu.
-Keadaanku dan mu sudah berbeda. Sadarkan dan pergilah! Aku tidak ingin menyakitimu lagi.- Kanaya.
****
Ratu tengah merapikan isi ruangan foto copy, berniat melanjutkan aktivitasnya kemarin yang tertunda.
"Assalamualaikum," sapa seseorang dari luar toko.
Ratu langsung menoleh sembari menjawab salam, ia tersenyum saat tahu laki-laki itu adalah Arka.
"Masuk, Kak!" Titah Ratu.
Arka tersenyum, lalu ia mendudukan diri di depan etalase.
"Aku mau foto copy," tuturnya.
"Baik. Kenapa pagi-pagi sekali?"
"Sebenarnya inginya tadi malam, tapi aku pulang kantor sudah malam. Jadi, aku memilih untuk pagi ini saja," terang laki-laki tampan itu.
Ratu mengangguk paham, ia mengambil berkas yang berada ditangan Arka untuk di fotocopy.
"Berapa, Kak?"
"12 aja."
Keduanya sama-sama terdiam setelahnya, sedangkan Ratu mulai menyalakan mesin fotocopy. Hanya terdengar suara mesin fotocopy yang mengiringi kebisuan keduanya.
Arka seperti tengah memikirkan sesuatu, pemikirannya seolah antara yakin dan tidak yakin. Entah apa yang menjadi beban pikirannya hari ini.
"Tu," panggil Arka pelan.
"Hmm."
"Aku tadi baru saja mengantar Kanaya ke kantor."
"Terus?" Ratu ikut kaget saat mendengar cerita dari Arka.
"Saat di kantor, kenapa dia memperkenalkan aku sebagai suami ya. Ada laki-laki yang tinggi, putih, dan tampaknya dia orang kaya." Arka masih ingat cara berpakaian Gibran pagi tadi.
Ratu berekspresi geram, menurutnya Kanaya terlalu gegabah dengan perilakunya terhadap Gibran dan juga Arka. Di sini dia juga bingung harus menerangkan apa kepada Arka agar segalanya tidak menjadi rumit dan salah paham.
"Emm, lebih baik Kak Arka tanya dia ya. Aku takut salah ngomong," putus Ratu.
"Please ... Tu, aku tidak ingin kecewa." Arka memohon dengan berdiri, tanganya ia telangkupkan sebagai simbol.
Ratu mengigit bibir bawahnya dengan perasaan campur aduk, tentu ia tidak ingin menjadi penghianat.
"Maaf sekali ya, Kak. Bukan maksud aku tidak ingin membantu atau menerangkan segalanya, tetapi Kakak tolong hargai saya sebagai sahabat Kanaya. Di sini tentu Kakak tidak akan suka jika Kanaya salah paham denganku. Lebih baik Kakak tanya langsung kepada Kanaya, agar segalanya jelas dan juga agar Kanaya tidak menyalahkan arti ke saya maupun ke, Kak Arka." Kalimat panjang lebar itu Ratu terangkan agar segalanya tidak semakin rumit.
"Baik, aku paham dengan maksud kamu. Aku minta maaf sudah memaksamu untuk jujur."
"Iya, tidak apa apa."
Laki-laki itu pergi dari tempat fotocopy dengan perasaan hampa, kecewa dan merasa usahanya belum membuahkan hasil, tetapi masih ada satu kesempatan, yaitu dari penerangan Kanaya langsung. Lagi pula perempuan itu juga sudah berjanji akan memberitahunya nanti saat pulang dari kantor.
****
"Nana, tolong panggilkan OB perempuan untuk datang ke ruanganku," pinta Gibran pada salah satu pekerja kantor.
"Baik, Pak." Tidak ada yang berani menolak maupun ingin tahu tentang urusan atasan, meski mereka suka di pandang tetapi mereka cukup sadar jika untuk memiliki.
Nana pergi untuk melakukan tugasnya memanggil seorang OB.
Setelah menunggu, seseorang mengetuk pintu dan mengucapkan salam dari luar ruangan Gibran.
"Waalaikumsalam."
"Pak, ada yang bisa saya bantu?"
Gibran tidak langsung menjawab, ia merasa cukup kesal dengan kehadiran Rani di ruangannya. Harapanya, Kanaya yang akan datang untuk menemanimu, tetapi ternyata ia salah berekspetasi.
"Tolong bawakan lagi kopi susu ya." Laki-laki itu berfikir sejenak. "Kamu keseni," pinta Gibran.
"Iya." Rani menurut untuk mendekat.
"Aku minta, kamu suruh Kanaya yang membawa minuman itu keruangan saya," ujar Gibran cukup lirih.
Rani masih berfikir, ia bingung harus menjawab apa. Bukan menolak, tapi ia seperti sedang berfikir langkah apa yang harus di lakukanya.
"Bagaimana? Nanti akan aku kasih uang buat beli coklat."
"Bapak sedang menyogok?" Tuduh Rani spontan.
"Bukan, saya hanya menghargai usahamu," protes Gibran.
"Emm ...."
"Saya bisa membeli coklat, tapi saya belum ada waktu. Jadi, aku beri kamu uang untuk membelinya sendiri," bujuk Gibran.
"Baik, Pak," Putus Rani.
"Ingat, jangan kasih tau siapapun tentang ini. Saya risih di jadikan bahan gosip," tutur laki-laki tidak suka ribet tersebut.
Rani mengangguk paham, ia menambahkan sebuah jempol ke arah Gibran.
Gibran manggut-manggut paham, ia tersenyum menang dan dalam hatinya pun merasa bangga.
****
Sejak tadi Kanaya menolak permintaan Rani untuk datang ke ruangan Gibran, tapi apa yang harus ia perbuat jika pertikaan mereka di dengar oleh orang lain.
"Sudahlah, ia hanya memintamu untuk mengirim minuman," bujuk Rani kesekian kalinya.
Kanaya masih berfikir, perempuan itu tahu betul Gibran tidak akan membiarkannya untuk tetap diam. Kanaya tahu, laki laki itu pasti akan berusaha menahan nya agar bicara. Tentunya dia tidak akan membiarkannya hanya meletakkan satu gelas kopi saja di mejanya.
"Baik."
Kanaya punya idea yang cemerlang untuk mengatur strategi agar segalanya tidak rumit. Dia memutuskan untuk menemui Toni agar menemaninya datang keruangan Gibran. Jika ada orang lain di tempat itu pasti Gibran tidak akan berbicara hal lain kecuali tentang pekerjaan.
"Mas, bisa minta tolong," panggil Kanaya dengan nada lembut. Nada itu pasti membuat para lelaki terkesiap termasuk Toni.
"Apa, Nay?"
"Temanin aku untuk mengirim minuman."
"Minuman? Bukanya minuman baru di kirim," Heran Toni.
"Iya, tapi wakil direktur minta lagi minuman."
"Iya kah? Kok tidak biasa ya, biasanya kalau sudah siang minta lagi, tapi ini masih setengah jam lah kira kira."
"Nah, aku juga takut. Jangan jangan dia punya niat macam macam." Ekspresi Kanaya seolah sedang membuat laki-laki itu mempercayainya.
BACA TERUS KISAH GIBRAN
NANTIKAN PART SELANJUTNYA
JANGAN LUPA MASUKKAN RAK YA ....
SALAM DARI
GIBRANKU.