"Nah, aku juga takut. Jangan jangan dia punya niat macam macam." Ekspresi Kanaya seolah sedang membuat laki-laki itu mempercayainya.
Toni hanya tertawa kecil mendengar ucapan Kanaya, ia ingin mencubit pipi Kanaya karena saking merasa gemasnya, tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan oleh Tony mengingat dirinya dan Kanaya hanya sebagai teman kerja.
"Tidak mungkin! Sudahlah, lakukan pekerjaanmu atau aku --."
"Hmm, apa, Mas?" Suara lembut itu seolah membuat Toni tidak tahan, ia tidak mungkin terus terusan bersamanya. Meskipun tempat itu sangat terbuka dan banyak orang, tapi peristiwa ini masih kali pertama baginya merasakan gejolak yang tak biasa.
"Aku kerjakan yang lain, kamu turuti permintaan pak Bos." Laki-laki itu bahkan enggan menatap wajah Kanaya, jantungnya mendadak tidak biasa, degupannya serasa lebih cepat dari sebelumnya.
"Tapi Mas ...." Kanaya menatap kepergiaan Toni dengan rasa kecewa.
"Aku harus minta tolong siapa? Aku tidak dekat dengan orang lain disini, selain Rani dan mas Toni," gerutu perempuan itu.
Kanaya melangkah berat untuk menuju ruangan Gibran, entah rencana apa yang harus di lakukanya untuk membuat kepergiaanya ke ruangan Gibran gagal. Tidak mungkin Kanaya menolak dan tidak peduli, tentu itu akan menjadi bahan gosip mingguan di kantor. Pikiran Kanaya terasa tiba-tiba buntu untuk mencari jalan keluar dari permasalahanya.
"Assalamualaikum ...."
"Waalaikumsalam, masuk!"
Kanaya menarik nafas panjang sebelum masuk, ia berharap ada keajaiban dari Tuhan untuknya.
Kanaya melangkahkan kakinya pelan, antara ragu dan tidak.
Gibran tersenyum dalam hati, tetapi ia tahan untuk ia tunjukkan di hadapan Kanaya. Cukup dirinya dan Tuhan yang tau, Mungkin!
"Ini minuman, Bapak." Kanaya meletakkanya di meja paling ujung, agar dirinya tidak perlu amat sangat mendekat dengan laki-laki ngeyel itu.
"Duduk," ujar Gibran lembut.
Kanaya memejamkan kedua matanya singkat, hal inilah yang paling tidak di inginkanya sejak tadi.
"Saya tutup pintunya dulu," ujar perempuan itu berniat kabur.
"Tidak! Tidak perlu, agar tidak jadi fitnah," tambahnya sungguh sungguh.
Kanaya mengangguk berat. Jantungnya mendadak tidak karuan saat duduk di kursi depan Gibran, seolah dirinya tengah duduk di sebuah kursi pengadilan.
"Nay," panggil laki-laki itu masih dengan suara hangat.
"Iya," balas Kanaya tanpa menatap.
"Kenapa kamu bisa memakai pakaian itu?"
Kanaya menoleh, ia pikir Gibran akan bertanya soal Arka, ternyata bukan.
"Aku -- bekerjalah."
"Aku tau, tapi kenapa harus office girl? Bukanya kamu bisa bekerja jadi bagian lain sesuai kemapuan kamu." Tatapan Gibran kali ini benar benar tidak tega kepada perempuan yang sangat ia cintai tersebut.
"Ya adanya ini, kalau ada yang lain pasti akan aku kerjakan kok."
"Terus toko fotocopy kamu bagaimana?" Penasaran Gibran.
"Ada Ratu yang menjaganya. Sudahlah, aku di tunggu sama yang lain. Lagi pula tidak enak lama lama berduaan disini. Aku pergi dulu."
"Sebentar." Gibran berdiri. "Boleh kan aku membantumu agar pekerjaanmu lebih baik," pinta laki-laki itu penuh harap, setidaknya ia berguna untuk Kanaya.
Kanaya masih diam, ia sendiri tidak tau harus menjawab apa kepadanya.
"Izinkan aku, menjadi orang yang berguna untukmu."
Kalimat itu benar-benar mampu membuat bibir Kanaya keluh, hatinya juga terasa campur aduk.
****
Kanaya masih memainkan sendok sejak tadi, dari jam makan sudah dimulai pikiranya masih terbayang oleh kalimat Gibran dengan jelas, kata demi kata masih terngiang jelas di pikiranya. Bahkan, Rani yang sejak tadi menemaninya tidak digubris sama sekali.
"Jam itirahan mau habis ni, makananmu cepat di habiskan."
"Aku tidak nafsu makan," pungkas Kanaya.
Rani melihat menu di kotak makan kanaya, terlihat hanya sayuran bayam dan tempe yang bersandar disana. Hati Rani cukup prihatin saat melihatnya.
"Kamu sedang diet atau apa?"
"Hah?" Kanaya memandang isi kotak miliknya, ia tersadar dengan maksud Rani. "Oh, iya aku sedang diet." Kanaya tidak jujur, tentu makanan itu untuk menghemat uang yang ia keluarkan, tidak mungkin juga ia jujur akan segala beban yang di milikinya pada sembarangan orang, apalagi Rani masih saja ia kenal kemarin.
"Oh, aku rasa badan kamu sudah pas. Kenapa harus diet?"
"Aku suka sayuran juga, lebih sehat."
Rani manggut manggut paham.
****
Kini sudah pukul 15:50 wib. Saatnya para OB berkemas untuk bersiap pulang di jam 16:00 wib.
"OB disini cukup lumayan ya gajinya," Ujar Kanaya pada Rani.
"Iya, biasanya di tempat lain 3.300.000, dan disini di gaji 3.700.000. Kalau yang seperti mas Toni kayaknya sudah lebih, soalnya sudah lama."
"Oh ...." Kanaya cukup heran dengan gaji yang menurutnya lebih besar dari toko fotocopy miliknya. Dapat 3.000.000 saja itu masih di potong kertas dan listrik, ia jadi penasaran berapa gaji para pekerja lain ya. Seperti Gibran misalnya. Pikiran Kanaya mulai mengkhayalkan gaji sang mantan.
Sesuai kesepakatanya dengan Arka, ia menunggu Arka untuk menjemputnya. Sepertinya Arka terlambat dengan waktu yang di tentukan oleh Kanaya. Perempuan itu menunggu Arka di luar kantor, di dekat toko minuman koin. Kanaya memandang kotak minuman itu, merasakan tenggorokannya tiba tiba haus. Iapun mencari koin di tasnya, berharap masih ada dan dia harap ia tidak lupa masukkannya ke dalam tas.
"Koin?"
"Iya, makasih." Kanaya mengambil koin itu saat ada yang menyodorkanya. Namun, ia menghentikan aktifitasnya saat ingat suara yang terdengar masih sangat melekat pada jiwanya.
"Eh, Gibran." Kanaya membentuk senyum kik kuk, nafasnya tiba tiba terasa berat dan sedikit tersenggal senggal.
"Kenapa kamu?" Gibran mengangkat tanganya untuk bersedakap.
"Haus." Kanaya membentuk senyum paksa di wajahnya.
"Kalau nggak punya uang, jangan beli sesuatu." Ledek laki-laki itu.
Kanaya menatap tajam ke arahnya, ia merasa kesal dengan ucapan Gibran yang sembarangan.
"Kalau bicara jangan sembarang kamu, aku punya uang." Kanaya tidak terima dengan tudahan Gibran.
"Oh ya?" Gibran mendekatkan wajahnya pada Kanaya untuk melihat ekspresi jujur perempuan itu.
"Iya." Kanaya mendorong Gibran agar menjauh. "Ini ikhlas atau tidak? Kalau tidak aku kembalikan padamu."
"Iya. Bawel."
Kanaya tersenyum dalam hati, ia bisa menghemat satu botol minuman tanpa harus mengeluarkan uang. Tampaknya, prilaku meyakinkanny pada Gibran terdengar nyata. Ternyata Kanaya memang tidak membawa uang sepeserpun sejak pagi, ia baru sadar saat mencarinya sore ini.
Kanaya meminum satu botol air dingin rasa jeruk itu dengan cepat. Entah kenapa tenggorokanya terasa kering dan panas.
"Kamu tidak minum?" Tanya Kanaya meski hanya basa basi.
"Enggak, saya tidak haus."
Uhuukkk ....
Kanaya hampir saja tersedak saat mendengar kalimat sopan dari laki laki di hadapanya.
Gibran tentu menoleh dengan sikap Kanaya yang tiba tiba terbatuk.
BACA TERUS KISAH GIBRAN
JANGAN LUPA MASUKKAN RAK YA
....
NANTIKAN PART SELANJUTNYA
SALAM
GIBRANKU.