"Nay ...." Perempuan itu langsung memeluk Kanaya dengan rasa bahagia, entah sudah berapa lama mereka tidak berjumpa, hingga menumbulkan rasa rindu pada keduanya.
"Kamu apa kabar?" Tanya Kanaya.
"Baik," jawab Mona di balik pelukan Kanaya.
Sedangkan Ratu hanya menyaksikan dengan sebuah senyuman di bibirnya, seolah ia ikut bahagia dengan keadaan yang saat ini ada di hadapnya.
Setelah selesai saling bertukar kabar Kanaya dan Mona mulai saling bertanya tujuan Kanaya datang.
"Apa yang membawamu kesini, Nay?"
"Ini lo, aku mau minta bantuanmu untuk cek makanan ini," ungkap Kanaya dengan menunjukkan martabak tersebut.
Mona mengangkat sebelah alisnya. "Makanan itu bermasalah?"
"Aku cuma mau tau, ada masalah nggak sih dengan makanan ini," jujurnya.
"Ok. Saya akan coba bantu. Kamu bisa masuk ke ruangan lab aku dulu, aku cari teman yang bantu di klinikku dulu untuk gantikanku disini."
Kanaya mengangguk, ia segera menarik Ratu agar ikut dengannya ke lab. Kanaya cukup kagum sekaligus tergiur melihat ruangan Mona yang rapi dan nampak sangat membangkitkan semangatnya untuk belajar.
"Kenapa aku dulu nggak kuliah jadi dokter aja," sesal Kanaya.
"Bukanya jurusan ekonomi pilihanmu," balas Ratu.
Kanaya menghel nafas. "Sebenarnya itu keinginan orang tuaku, tapi aku tadi sudah kirim lamaran ke perusahaan lain, siapa tau aku disana di terima, dan aku ... tidak jadi office girls lagi." Kanaya menunjukan senyum khayalan yang sering ia sematkan saat mengandai andai.
"Hai ... mana makanan itu, Nay," tanya Mona saat hendak datang.
"Ini." Kanaya menyodorkan martabak itu padanya.
Mona menerimanya dengan baik, lalu ia membuka dan memeriksanya di lab.
"Oh iya, kamu sudah tau kalau universitas kita akan kolaborasi dengan universitas Wijaya?"
"Hah? Aku tidak tau," ungkap Kanaya dengan jujur.
"Mungkin belum di umumkan, acara ini bagus banget lo. Rencanaya bukan hanya bazar saja disini, kalau ada teman kita yang butuh bantuan tentang pekerjaan atau ingin di bantu usahanya akan ada yang saling bantu donasi loh," terang Mona dengan senyum manis dari bibirnya.
Wanita cantik itu benar-benar terlihat terawat dan modis. Sedangkan Kanaya harus mengubur rasa ingin tampil modisnya untuk memenuhi kehidupanya, tetapi meski bukan pakaian mahal yang ia kenakan, ia selalu tampil rapi dan bersih.
"Benarkah?" Wajah Kanaya tampak bersemangat.
"Iya."
"Oh iya, aku minta nomor kamu ya, Mon," izin Kanaya.
"Iya, tentu boleh. Kamu sudah masuk grup Whats app Universitas kita belum?"
"Belum. Aku tu jarang banget bertemu teman kuliah kita, hari hari aku juga kerja. Oh iya, kenalin ini temanku, Ratu." Kanaya menarik Ratu agar berjabat tangan dengan Mona.
"Mona," jawabnya.
Mona mulai melanjutkan aktivitasnya untuk mengecek apakah makanan yang dibawa oleh Kanaya bermasalah atau tidak.
"Tidak ada bahan berbahaya di makanan ini," terang Mona dengan membawa hasil tes lab nya.
"Tidak? Kanaya dan Ratu terkejut secara bersamaan.
"Iya, memang kenapa?" Mona cukup bingung saat melihat ekspresi Kanaya dan Ratu yang seolah tidak setuju dengan jawaban yang ia lontarkan.
"Oh, tidak. Tidak apa apa, aku hanya bingung." Kanaya berusaha tampak biasa.
"Oh, baiklah. Mampirlah ke rumahku ya," ajak Mona dengan mengandeng tangan Kanaya.
Kanaya tidak langsung menjawab, perempuan itu nampaknya masih berfikir.
"Maaf, tapi tidak hari ini. Nanti lain waktu aku pasti mampir." Perempuan itu akhirnya mengucapkan isi hatinya.
****
"Benar-benar ya Gibran, dia nampaknya sudah tersihir dengan perempuan itu." Tampang kesal benar-benar terlihat dari mimik wajah Rian, laki-laki itu sejak tadi mengomel dengan permintaan Gibran yang menurutnya sangatlah aneh.
"Benar, bagaimana bisa di meminta kita untuk menyelidi segala aktifitas Kanaya." Rio pun tak kalah jengkel dengan sikap sang sahabat.
"Kalau bukan karena uang, aku tidak sudi membantunya." Rasa kesal itu semakin bertambah tatkala Rian ingat, laki-laki itu membayar mereka dengan upah yang cukup mengiyurkan.
"Iya, aku juga."
Mereka masih saja mengomel sampai rasa kesal mereka semakin memuncak. Bagaimana mereka tidak kesal saat mereka ingat permintaan Gibran membuat mereka seperti terperangkap, jika tidak membantu mereka merasa pernah dibantu. Namun, kalau mereka membantu mereka merasa mendukung perasaan Gibran kepada Kanaya, sedangkan yang mereka tahu kalau Kanaya sudah bersuami dan mungkin saja dia sudah memiliki seorang anak.
Gibran tidak henti-hentinya tersenyum, kalau ia ingat persetujuannya dengan Rio dan juga Ryan. Rasanya bagi Gibran saat bisa tahu segala aktivitas Kanaya setiap harinya adalah hal yang paling menyenangkan. Entah, apakah yang dirasakan Gibran itu benar-benar cinta. Sehingga dirinya benar-benar seperti terobsesi. Iya terobsesi, mungkin kata-kata itu yang tepat ditujuka untuk Gibran yang terlalu terobsesi oleh Kanaya.
"Aku harus tahu apapun tentang dia. Aku juga harus membuat dia kembali," gumam laki-laki tampan dan sukses itu dengan sangat bangga.
"Aku tidak mau kehilangan dia untuk kedua kalinya, laki-laki itu dulu merebut Kanayaku, dan aku harus merebutnya kembali." Sikap Gibran kali ini seolah berlawanan dengan Gibran yang sebelum-sebelumnya. Entah apa yang membuatnya berubah.
****
Kanaya masih terbaring di tempat tidur dengan pikiran yang penuh. Pikirannya masih mengingat tentang Brandon yang tiba-tiba begitu baik dengannya. Sungguh tidak pernah terpikirkan oleh Kanaya akan melihat sisi baik Brandon.
"Dia pura pura atau apa?" Gumam perempuan itu di tempat tidur dengan menatap jam dinding usang di kamarnya.
Kanaya menarik nafas panjang, lalu ia mengubah posisi berbaring nya dengan duduk. Entah kenapa ia merasa gelisah dengan perubahan sikap Brandon terhadapnya. Bukankah Seharusnya Kanaya senang jika Brandon berubah menjadi diri yang lebih baik lagi.
"Tapi terlihat janggal saja," ujarnya lagi sembari turun dari ranjang tempat tidurnya.
Kanaya berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air minum, lebih tepatnya air putih. Ia merasakan tenggorokannya kering memikirkan hal yang masih belum juga ia dapet jawabannya.
Suara tegukan air di leher Kanaya terdengar jelas. Bahkan, perempuan itu mengambil 1 gelas air putih lagi setelahnya. Entah kenapa ia merasa sehaus itu hanya memikirkan Brandon.
Setelah merasa puas dengan 2 gelas air putih, ia meletakkan gelas itu di samping teko. Lalu perempuan itu mengubah posisinya dengan duduk. Kemudian, Kanaya berdiri dan berjalan untuk melihat ponselnya yang telah menyala. Ponselnya juga lupa ia masukkan ke dalam kamar, ponselnya masih tergeletak di samping televisi dengan baterai yang tersisa 7%.
"Batrainya habis lagi," gerutunya.
Kanaya segera mencari charge ponselnya untuk ia tancapkan ke lubang tempat pengecas ponsel. Ia menyatukan kedua alisnya saat melihat notifikasi di ponselnya. Tampak sebuah pesan Whatsapp dari seseorang yang tanpa nama. Tampilan itu membuat dirinya penasaran siapa sosok mengirim pesan di larut malam tanpa nama.
BACA TERUS KISAH GIBRAN
JANGAN LUPA MASUKKAN RAK YA ....
NANTIKAN PART SELANJUTNYA
SALAM
GIBRANKU.