Pagi ini Kanaya hendak berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Niatnya kali ini ia ingin izin besok untuk pergi ke acara reuni SMA. Harapannya sedikit ragu, tatkala ia ingat masih kerja bebepa hari di tempat itu.
Kanaya melambaikan tanganya pada sebuah angkot menuju kantor tujuanya. Sembari pikiranya di penuhi dengan pikiran izin untuk pulang cepat. Apalagi dirinya masih sangat butuh uang, tetapi ....
****
Entah apa yang membuat pagi ini Gibran semakin semangat. Hatinya mendadak semakin bahagia. Ya, bahagia. Entah apa yang membuat laki-laki berparas tampan itu semakin bersemangat tak seperti biasanya.
"Gib!" Panggil sebuah suara yang memang tidak asing bagi kedua telinga Gibran.
Gibran bahkan enggan menjawab panggilan itu, ia masih saja asyik dengan senyum yang ia kembangkan di cermin.
Sesampainya di kantor, Kanaya menghela nafas legah saat melihat sang pemilik kantor sarapan di sebuah kantin kantor yang nampak masih di persiapkan. Namun, tidak akan ada yang bisa mencegah seorang bos bukan? Jadi, Kanaya memutuskan untuk menunggu, meskipun menunggu akan membuatnta tidak nyaman. Rasa tidak nyaman karena di anggap bermalas-malasan.
"Selamat pagi, Pak," sapa Kanaya saat melihat pak Abraham sudah selesai sarapan.
Laki-laki paru bayah itu tersenyum ringan. "Duduklah!"
Kanaya merasa sedikit takut. Sapaan selamat paginya belum ada jawaban. Rasa pesemisnya semakin besar.
Pak Abraham masih tersenyum sembari memperhatikan raut wajah Kanaya.
"Jika ingin menyapa saya, ucapkan salam saja," ujar Pak Abraham dengan raut wajah menyenangkan ke arah Kanaya.
Kanaya terpaku, pikiranya terasa berbalik ke masa dimana orang tuanya masih ada. Bimbingan orang tuanya seolah berkeliaran kembali di otaknya.
"Assalamualaikum, Pak." Kanaya mengulangnya.
"Waalaikumsalam ...," balas pemimpin perusahan itu dengan senang.
"Ada apa?"
Kanaya tidak langsung menjawab. Ia merasa berfikir kembali untuk jujur. Apakah ia akan benar-benar minta izin untuk hadir di acara reuni SMAnya.
"Maaf, menganggu. Saya ingin izin untuk besok libur, apakah bisa?" Dengan rasa gugup, Kanaya melontarkan segala ucapanya.
Pak Abraham tersenyum ringan, "Kalau kamu ingin izin, kamu bisa izin ke anggota OB yang lain. Tidak perlu kok harus izin ke saya secara langsung."
Kanaya merasa cukup malu, ini memang kali pertama baginya kerja di sebuah kantor. Jadi, ia masih harus belajar banyak hal.
Acara SMA itu sebenarnya tidak begitu Kanaya minati, tetapi ia juga rindu dengan para sahabat. Jika memikirkan uang, pasti juga tidak akan pernah ada waktu luang untuk bertemu. Apalagi, ia juga tetap ingin menjalin silaturrohim dengan teman SMA nya dulu. 'Barang siapa ingin lapang rizqi dan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturrahim.'
****
"Kak!" Kedua mata Kanaya membulat sempurna, saat melihat Arka tengah berada di depan rumahnya dengan memakai jas.
Laki-laki berdiri dengan semangat, ia melangkah menuju perempuan yang masih terkejut itu.
"Nay, ini aku bawakan makanan untukmu," tutur Arka dengan menyodorkan sebuah makanan padanya.
Kanaya mulai sadar dengan lamunannya. "Oh, terimakasih," ucap Kanaya sembari duduk luar rumah miliknya.
Arka ikut duduk di samping perempuan itu. Laki-laki itu menjaga jarak di antara mereka, sepertinya Kanaya juga sengaja tidak membawa laki-laki masih kedalam rumahnya agar tidak terjadi fitnah.
Kanaya membuka makanan yang di kemas dengan sebuah sterofom, nampak sebuah mie ayam yang sudah lama tidak ia nikmati. Untuk membeli makanan ia harus berhemat juga. Haruskah?
"Terimakasih ya, Kak." Tatapan Kanaya nampak sangat tulus pada Arka.
"Iya," ujar Arka dengan senyum senang.
Setelah Arka pulang, Kanaya segera mandi agar bisa bergegas tidur. Saat hendak menutup kedua matanya, Kanaya teringat sesuatu. Ia ingat hari ini tidak bertemu Gibran sama sekali. Hatinya terasa bingung yang harus memikirkan laki-laki itu lagi. Kanaya menipis sesuatu yang menganggu pikiranya saat ini, termasuk tentang Gibran.
"Ah, mungkin dia hari ini ada meeting," tutur perempuan itu pada dirinya.
Kanaya berusaha menutup matanya kembali, ia hari ini juga tidak sempat datang ke tempat foto copynya untuk mengecek keadaan disana. Pengalaman menjadi OB ternyata sangat membuat tubuhnya lelah. Apalagi dirinya masih belum terbiasa menjadi seorang oficce girl.
****
Rio dan Rian merasa sangat kesal pada Gibran malam ini. Pasalnya laki-laki itu meminta kedua sahabatnya untuk menyelidiki tentang Kanaya sampai rumah. Ya, sejak tadi Rian dan Rio mengikuti Kanaya pulang. Bahkan, ia melihat Arka datang. Mereka juga menunjukkan foto berdua mereka pada Gibran. Sudahkan Gibran berlebihan? Laki-laki itu nampaknya benar-benar gila cinta. Sudah tau perempuan yang ia kejar sudah menikah, tetapi dia masih berusaha untuk mengejar.
"Gibran benar-benar di mabuk cinta," keluah Rian saat di perjalan pulang.
"Kita harus balas dendam. Bagaimana bisa dia memperlakukan kita seperti detektif," tambah Rio tidak terima.
"Benar." Kedua mata mereka menyeringai, seolah tengah punya rencana yang sangat rahasia.
"Siapa laki-laki itu?" Tanya Gibran dengan nada kesal.
Rian tersenyum licik. "Nampaknya, dia suami Kanaya."
"Iya, Gib. Tadi kita sengaja tidak mengirim adegan ...." Rio sengaja mngantungkan kalimatnya.
"Apa?"
"Emmm ... ya, suami istri lah." Rian semakin menambahkan nada memancing.
Gibran tidak menjawab, tapi entah kenapa hatinya tidak begitu yakin dengan apa yang dia dengar. Harusnya ia menyelidiki sendiri, tetapi kenapa harus dia? Hatinya selalu saja di buat bingung oleh Kanaya.
"Gib, dia sudah menikah. Lupakan dia," ujar Rio sok serius.
"Iya, masih banyak wanita lain." Rian mengekspresikan wajahnya dengan sangat yakin.
Tentu Gibran tidak akan suka jika orang lain mnyuruhnya menjauh dari Kanaya. Tujuan hidupnya seolah memang hanya Kanaya, wanita secantik apapun seakan tidak akan membutnya merasa kagum.
****
"Pagi, Mas," sapa Kanaya pada Toni.
"Assalamualaikum," ujar Toni memperbaiki.
"Eh, lupa," Kanaya menepuk pelan bibirnya. "Waalaikumsalam."
Kanaya tersenyum malu, belum terbiasa dengan kebiasaan di kantor itu. Jujur agama Kanaya memang masih sedikit, banyak hal yang ia lupa tentang agama. Mungkin dia butuh pemimpin (Suami).
Kanaya merasa kebingungan dengan ruangan yang di minta Toni untuk dia datangi. Ruangan itu tampak gelap tak berpenghuni, hanya ada sorotan lampu dari ruangan lain ke ruangan yang Kanaya masuki.
"Apa Mas Toni salah?" gumam Kanaya dengan perasaan sedikit bingung.
"Apa yang salah?" Terdengar suara laki-laki yang membuat Kanaya sedikit terjingkat.
"Hei ... siapa itu?" Kata Kanaya menoleh ke sumber suara.
Kanaya melihat laki-laki itu semakin mendelat, wajahnya masih belum terlihat jelas oleh kedua mata Kanaya. Ia mengamati dengan teliti, berharap dapat menumukan jawaban di balik suara itu.
"Makanya, nyalakan lampunya." Laki-laki itu sembari menyalakan lampu di ruangan itu di samping Kanaya.
BACA TERUS KISAH GIBRAN
JANGAN LUPA MASUKKAN RAK YA CERITAKU ....
NANTIKAN PART SELANJUTNYA ....
SALAM DARI
GIBRANKU.