Saat berada di mobil Gibran, keduanya sama-sama diam dan tak saling bicara. Bahkan raut wajah kesal masih sangat Gibran tampilkan untuk Kanaya. Entah kemana laki-laki itu akan membawa Kanaya pergi. Bertanya-pun Kanaya masih belum berani, Kanaya tau betul sikap Gibran, ia tidak akan mecelakainya.
Kanaya memandang jalanan yang ada di hadapanya, tampakanya jalanan itu tidak begitu asing baginya. Namun, jalanan itu seperti bukan jalan menuju rumahnya.
"Kita --- mau kemana?" Walau dengan terpaksa, Kanaya tetap bertanya.
Gibran menoleh, tetapi tidak ada jawaban dari laki-laki tampan tersebut.
Kanaya menghela nafas panjang, ia merasa geram bercampur takut. Selama ia berhubungan dengan Gibran, ia tidak pernah di perlakukan kasar olehnya. Jadi, Kanaya tidak merasa takut ataupun was-was, ia hanya merasa takut saat Gibran marah. Apalagi Kanaya sudah lama tidak melihat sikap Gibran yang seperti sekarang.
Ckiittt .....
Saat merasa sudah sampai pada tujuanya, Gibran dengan tiba-tiba mengerem mobil yang ia dan Kanaya kendarai hingga membuat Kanaya terbetur bagian mobil pada dahinya.
"Aww ..." pekik perempuan itu.
Gibran menoleh, "Nay, kamu nggak papa?" Tanya Gibran dengan mengusap kepala Kanaya.
"Enggak!" Kanaya menepis tangan Gibran.
Gibran melihat singkat tanganya yang baru ia usapkan ke kepala seseorang yang sangat ia cintai. Tanpa ragu laki-laki itu tersenyum tipis, bahkan sangat tipis dan rahasia.
"Kita mau kemana sih?" Kanaya sepertinya mulai merasa kesal.
"Disini."
Kanaya mendonggak, ia melihat sekeliling tempat itu. Bahkan ia membuka kecil mulutnya, seolah untuk mengungkapkan rasa terkejut yang ia rasakan. Kanaya tentu masih sangat ingat tempat yang sangat tidak asing bagi dirinya.
"Maaf, aku mau pulang," Kanaya membuka pintu dengan cepat.
Gibran tidak menyangka akan reaksi Kanaya, ia ikut turun untuk mengejar perempuan itu yang sudah berjalan sedikit menjauh dari mobil Gibran.
"NAY ..." Gibran berlari untuk menarik tangan Kanaya.
"Lepas," ujar Kanaya tanpa menoleh.
"Nay."
"Lepas Gibran!"
Gibran menurut, ia melepas tangan Kanaya dengan berat.
Perempuan itu melanjutkan langkahnya untuk menjauh.
"Nay," Gibran masih berusaha keras untuk menarik Kanaya agar tidak pergi. Gibran sudah tidak peduli lagi dengan kemarahan yang akan ia dapat dari Kanaya.
"Gibran!" sentak Kanaya.
Gibran memutar badan Kanaya agar menghadapnya, tatapan Gibran tampak sangat dalam ke wanita cantik itu. Gibran seolah mampu menerobos kedua mata Kanaya hingga ia ikut tenggelam di dalamnya.
"Kanaya, dengerin aku dulu. Nay, kamu masih ingat tempat ini?"
"Tidak!"
"Nay, aku sungguh-sungguh."
"AKU JUGA SUNGGUH-SUNGGUH GIBRAN," Kanaya semakin meninggikan suaranya. Rasa kesal seolah semakin membuat perempuan itu emosi. Ia menatap Gibran untuk membuat laki-laki itu yakin.
Gibran membuang muka dari perempuan yang ada di hadapanya, ia tersenyum sinis.
"Aku tidak percaya. Mana mungkin kamu lupa. Mustahil!" Kekuh Gibran. Ia masih sangat yakin dengan keyakinanya.
"Gibran, kamu harus tau dan sadar. Kalau aku --- aku sudah menikah," Kanaya menahan rasa panas yang terasa di kedua matanya.
Gibran mengangkat sudut bibirnya untuk tersenyum,"Aku tau."
"Lalu?"
Gibran mengangkat kedua tanganya untuk ia letakkan di pundak Kanaya, ia melihat kedua mata Kanaya cukup dalam, berharap masih ada gambar dirinya disana. Bukan hanya hari ini, esok, tetapi selamanya.
"Aku tau kamu sudah menikah, Nay. Aku cuma tanya apa kamu ingat tempat ini?"
Kanaya menyatukan kedua alisnya dengan tatapan tidak mengerti.
Gibran tertawa lebar setelahnya, sedangkan Kanaya hanya memperhatikan yang laki-laki itu lakukan.
"Maksud kamu apa, Gibran?"
Entah kenapa pertanyaan dengan suara lembut itu mengalun merdu di kedua telinga Gibran, seolah menjadi candu baginya.
"Gib," panggil Kanaya saat melihat Gibran hanya diam menatapnya.
"Ehmm ... enggak. Aku cuma tanya kamu aja. Aku --- masih bisa kan berteman dengan kamu, Nay?" Dengan berat laki-laki itu bertanya. Meskipun keinginanya bukan teman, melainkan lebih.
Kanaya mengangkat sebelah alisnya, ia seperti orang bodoh disini.
"Teman?"
"Mau kamu apa, Nay? Jangan-jangan ---" Gibran sengaja menggantung kalimatnya.
"Apa?" Kanaya menepuk kasar lengan Gibran.
Kanaya menyatukan kedua alisnya dengan tidak percaya. Bagaimana bisa laki-laki itu justru bermain-main.
"Hahaha ...." Gibran tertawa melihat muka merah pada wanita itu.
****
Entah apa yang Gibran rasakan, ia tidak berhenti tersenyum meskipun kini ia sudah di atas tempat tidur saat larut malam, atau ia sudah kerasukkan. Rasa bahagia yang ia rasakan memang tidak bisa ia pungkuri lagi. Gibran sangat senang bisa berhubungan baik dengan Kanaya meskipun masih hanya teman. Apakah Gibran menginginkan lebih?
Gibran menatap jam dinding di kamarnya. Jam menunjukkan pukul 1.42 Wib. Entah sudah berapa jam laki-laki itu tersenyum, dan sampai kapan dia akan seperti itu. Apakah sampai besok?
****
Pagi ini Kanaya bersiap untuk bekerja jadi OB. Walau dengan rasa berat, dan untuk pertama kalinya ia tetap akan menjalankannya demi uang yang harus ia capai. Sembari menanti pekerjaan yang lebih baik lagi, perempuan itu tidak ingin hanya menunggu. Ia merasa harus tetap berpenghasilan meskipun hanya gaji sedikit.
Kanaya berpatut di cermin, ia melihat dirinya yang tampak lebih rapi dari biasanya. Tatapannya masih menatap diri di cermin dengan rasa takjub.
"Bisa juga akan aku dandan." ujarnya dengan bangga.
Jika ada Ratu pasti ia sudah melontarkan beberapa umpatan kepada sang sahabat, sementara tidak ada yang berubah dengan diri Kanaya pagi ini, hanya terlihat lebih rapi saja. Masih sama seperti hari biasanya, dengan bedak, lipstik tipis, dan bedanya rambut panjangnya kali ini ia ikat.
Kanaya mengambil tas dan melangkah semangat menuju keluar rumah yang menurut Gibran tidak layak huni tersebut. Namun, bagi Kanaya tempat itu khalayak surga. Tempat itu satu-satunya tempat yang dulu orang tua Kanaya punya. Rasa bangga dan bersyukur selalu Kanaya tetap terapkan, berharap kehidupanya akan membaik di lain waktu.
Kanaya mencari angkot, tujuan utamanya mencari angkot di banding taxi tentu untuk menghemat uang yang ia miliki. Kanaya merasa harus lebih irit lagi agar sampai saatnya gajian ia masih punya uang. Setelah menunggu singkat, yang ia tunggu akhrinya datang juga. Sebuah angkot terlihat berjalan menuju dirinya.
Kanaya segera masuk dengan jiwa semangat pagi yang lebih dari biasanya.
****
Gibran sudah bersiap, dengan pakaian rapi di tubuhnya. Kali ini ia memakai jas warna biru tua lagi, ya laki-laki itu kemarin baru membeli satu lusin jas biru tua. Entah kenapa ia ingin selalu memakainya, dan tentu karena Kanaya. Apa yang Gibran harapkan darinya, apakah dia berharap Kanaya kembali?
Gibran mengunci apartemen dengan cepat, rasanya ia sudah kembali menjadi Gibran yang tidak suka dengan keterlambatan, sesuatu yang harus tepat waktu. Kaki panjangnya ia langkahkan dengan cepat, tatapanya lurus ke depan menuju mobil hitam yang nampak bersih, seperti yang ia inginkan.
BACA TERUS KISAH GIBRAN
JANGAN LUPA DUKUNG GIBRAN DENGAN SUBSCRIBE DAN VOTE YA ...
NANTIKAN PART SELANJUTNYA
SALAM
NURKHUSNA.