Usai pertemuan Rania dan Leo di salah satu mall terbesar di Banjarmasin, Rania pulang. Sepanjang perjalanan ia hanya diam. Beruntung Septia tidak berada di sampingnya seperti tadi. Kalau ada Septia dia pasti tersinggung karena di diamkan.
Septia memilih pulang bersama Arif, ya... namanya juga baru jatuh cinta, pasti semua inginnya di lakukan berdua.
Rania memilih berpisah dengan mereka di parkiran.
Leo,
lelaki itu sekarang sedikit kurus, rambut ikalnya baru saja dipotong habis, hanya bersisa 1cm saja sepertinya. Bajunya mungkin dibeli dari tempat yang mahal tetapi sayang cara berpakaiannya nggak senada dengan sepatu dan celana panjangnya. Leo selalu begitu.
Rania meninggalkan Septia, Leo juga Arif di parkiran Mall. Rania khawatir tak bisa mengendalikan diri bila ia berada disana. Jujur Rania masih menyimpan bongkahan cinta untuk Leo. Istri mana yang tidak cinta pada suaminya ? tidak ada. Semua istri mencintai suaminya, sesakit dan seperih apapun cerita mereka. Mereka tetap punya cinta yang luar biasa.
Andai sepasang suami istri benar-benar terpisah seringkali dikarenakan ada orang lain yang telah membuka hati untuk mereka.
Begitu hebatnya Tuhan membuat cinta.
Demikian juga dengan Rania. Rania sungguh sangat mencintai Leo. Meski cerita mereka tidak seindah pasangan yang lain mereka tetap terikat cinta. Andai Leo mau memohon maaf dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya mungkin Rania akan kembali jatuh cinta. Itulah mengapa Rania memilih lebih dahulu pergi. Rania menjaga hatinya agar tidak kembali jatuh.
Ditempat yang lain,
"Septia, bapak boleh minta nomer bu Rania ?" Leo mengajukan permohonan pada Septia.
"Apa Septia harus tanya dulu pada bu Rani ya pak ?"
"Nggak usah, nanti kalau bu Rani marah bapak yang akan menjelaskan." Leo berusaha meyakinkan Septia.
Septia memandang Arif pacar barunya. Arif mengijinkan Septia memberikan nomer telphon Bu Rani pada pak Leo.
Leo mencatat dengan seksama nomer tersebut. Berharap tidak terjadi kesalahan.
"Saya duluan ya,"
"oh, inggih Pak." Suara Septia dan Arif bersamaan.
Leo merasa puas telah mengantongi nomer Rania, hari ini juga Leo berjanji akan menghubungi nomer tersebut. Ia akan memeluk cintanya kembali. Cinta yang sempat memberikan rasa manis, cinta yang sempat menumbuhkan rasa percaya dirinya.
Ia berjanji akan membawa Rania berkeliling dunia, ia akan menunjukkan pada Rania betapa indahnya Paris, betapa dinginnya Mesir di musim dingin, betapa indahnya salju.
Ia berjanji akan memegang erat tangan Rania memutari Ka'bah, mengelilingi Nabawi. Romantisme itu harus ia kembalikan. Rania harus jadi miliknya.
Leo berhenti sejenak di bawah pohon di Menara Pandang Siring Laut.
"Assalamualaikum," pesan itu ia tulis untuk Rania.
Lama tak ada jawaban, hingga dua puluh menit kemudian.
"Waalaikumsalam, siapa ?"
"Bunda, "
'deg' hati Rania berdebar kencang, sangat kencang. Panggilan itu ?
Hanya satu orang yang berani memanggilnya begitu.
"Bunda,"
Rania menatap nanar tulisan di WhatsApp ponselnya.
"Iya."
"Bunda dimana ?"
"Di rumah,"
"Rumah bunda dimana? ayah boleh kesana? ayah sangat kangen"
Tuhannnn, manis sekali kalimat itu terucapkan. Kemana dirinya selama lima tahun kebelakang ? kenapa baru hari ini dia ungkapkan perasaan sayang.
"Rumah bunda dekat kok, di jalan A.Yani. Kalau mau kesini besok saja, sekarang bunda ingin istirahat."
Begitu pesan singkat itu ia buat.
"Nanti sore ayah kesana ya,"
"Bunda ingin di bawakan apa ?"
"Ayah bawakan kue kesukaan bunda ya sayang."
"Ayah ingin sekali minta maaf."
"Ayah telp sebentar ya?"
'klik' sambungan telp pun terputus. Rania sengaja mematikan telponnya. Agar rayuan setan itu tidak lagi mengganggunya.
Misinya adalah melakukan pembalasan bukan kembali merajut cinta lama. Bukan kembali mengulang sesuatu yang terjadi di masa lalu. Bukan itu.
Rania sengaja mematikan telp agar Leo merasakan betapa tidak enaknya saat rindu membuncah namun orang yang kita rindukan mematikan telp.
Hal itu sering dilakukan Leo pada Rania dulu. Hari ini Rania ingin Leo merasakan sesuatu yang sama seperti yang pernah ia rasakan. Ia tidak perduli lagi. Ia hanya ingin kulit rasa yang dimiliki Leo mengelupas perlahan - lahan.
Rania memasuki kamar tidurnya. Menyalakan Ac, mengganti bajunya. Rania ingin meletakkan kepalanya yang penat hari itu.
*******
Pagi buta, saat semua masih terlelap kecuali mereka yang terjerembab dalam mimpinya. Pagi itu pak Leo telah mengirimkan pesan di ponsel Rania.
"Bunda, besok ke kampus ?"
"Bunda, ayah ingin bicara."
"Bunda, ayah bahagia sekali bisa bertemu lagi. Ayah seperti punya tenaga baru."
"Bunda, mau kan memaafkan ayah."
Ya Allah kalimat itu berjajar memenuhi pesan masuk ponsel Rania. Rania duduk di sofa besar menghadap ke jalanan beraspal di luar sana. Rania masih sangat ingat betapa semua pesannya tidak di hiraukan oleh Leo selama bertahun-tahun.
Hari ini harus kah Rania melakukan hal yang sama, atau mungkin memaafkan Leo.
Ach, mereka yang berbuat kesalahan begitu mudah menganggap semua baik-baik saja, setelah tahun berjalan semua bisa dengan mudah di maafkan. Ternyata mereka salah. Hati itu hidup. Ia ada dan bertengger, menguasai jiwa, menguasai raga. Kesalahan dan luka itu bisa saja terhapus namun jangan pernah lupa bekas nya masih akan tetap ada meski nyerinya bisa saja berkurang.
Karenanya hati-hatilah dalam berbuat.
Setiap tindakan pasti menemukan masa di mana ia harus di hentikan karena masa pembalasan telah datang.
Rania menghabiskan lima tahun perjalanan hidupnya sendiri. Tanpa nafkah tanpa perceraian. Rania melewati semuanya. Dan hari ini ketika ia telah tampil cantik, ketika ia telah mampu mengemudikan mobil sendiri tiba-tiba Leo mengucapkan kalimat sakti. RANIA MAAF.
Rania terbahak-bahak. Mengenang persetubuhan mereka yang pernah dilakukan tiga belas kali dalam semalam, sampai mereka berdua tertawa seharian.
Rania masih mengingat semuanya. Dalam memorinya.
Hari ini.
Rania memutuskan mengundang Leo dan beberapa dosen yang Rania kenal dengan baik. Ia harus mulai berbuat.
"Nanti kalau tidak sibuk silahkan datang ke rumah Rani. Rani ada tasyakuran."
Cepat sekali, pesan itu terbaca.
"Rumah bunda di mana ?"
"Nanti di kirim alamatnya."
Rania pun menulis sebuah undangan yang akan ia kirimkan pada beberapa orang yang ia kenal. Rania sendiri bingung undangan kali ini dalam rangka apa, bukankah di masa pandemi ini belum boleh berkumpul, tapi sudah lah, perduli apa yang penting Rania menulis undangan.
Ia perintahkan beberapa pembantu nya berkemas. Acara akan di gelar pukul 12.00 di sesuaikan dengan jam makan siang.
Rania memesan paket makan siang terbaik di Banjarmasin. Ruang keluarga ia rubah menjadi ruang jamuan hidangan. Ada meja oval yang di isi aneka masakan. Ada nasi goreng hongkong, ayam goreng Belanda, cap jay spesial, ikan patin bakar, sayur santan. Ada juga aneka kue tradisional berjajar rapi. Es buah dan es degan menemani aneka buah-buahan yang telah di pesan.
Apa sulitnya menyiapkan pesta untuk tiga puluh orang bila punya uang, semua bisa di pesan dan di siapkan.
Pukul 11.00 WITA,
semua sudah tersedia, termasuk juga cindera mata sebuah emas antam EOA Gold berukuran 0.1 gram sebagai hadiah bagi yang hadir.
Rania mulai menampakkan kesombongannya sedikit, hanya sedikit. ini baru pembukaan belum apa-apa.
Beberapa mobil mulai datang. Pak Yuda, Pak Brahim, Pak Reyza, Ibu Asmi semua hadir. mobil mereka berjajar rapi di halaman depan. teman-teman se angkatan juga di undang. Tak lupa Septia dan Arif.
Kemudian Leo datang dengan baju kotak-kotak biru, kaca mata minus masih bertengger di wajahnya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Hampir serempak para undangan menjawab salam dari pak Leo. Doktor Leo.
Pak Yuda menatap Rania sekilas, dosen bijak itu mengulum senyum seolah tahu untuk apa pesta ini di gelar. Mereka bernyanyi sambil menikmati hidangan yang sudah di sediakan.
Tiba-tiba tanpa di komando pak Leo berdiri, berbicara di dekat mikrophon yang tadi di gunakan menyanyi.
"Assalamualaikum, kita semua sudah hadir di sini dalam acara tasyakuran ibu Rania atas rumah baru nya, rasanya tidak lengkap jika ibu Rania tidak berbicara bersama di depan kita."
Tepuk tangan riuh terdengar di seluruh ruangan. Semua mata mencari Rania yang tadi ada diantara mereka.
"Bu Rania mana ?" Tanya beberapa undangan. Leo menebar pandangan.
Rania yang sedari tadi di dalam kamar mendengar apa yang di sampaikan pak Yudha, ia berdiri perlahan. Sambil menatap foto pernikahannya yang masih tersimpan di ponselnya. Foto pernikahannya bersama Doktor Leo.
Foto itu yang terus menyemangatinya untuk bangkit. Untuk tidak mudah menyerah. Untuk menikmati setiap rasa sakit yang pernah ia rasakan.
Rania membuka pintu kamar pelan, menapak i tangga yang tidak terlalu tinggi untuk menuju ruang keluarga. Rambut ikalnya sudah diikat ke belakang, beberapa penjepit berwarna hitam menghias belakang rambutnya. Leher putihnya nampak sangat menggoda. Ada kalung bermata berlian di dada halusnya. Dua helai rambut di biarkan menjuntai di kanan dan kiri wajah ayunya.
Gaun biru gelap berbahan kain satin melekat di tubuhnya, gaun yang pas dengan ukuran badannya. Dadanya di biarkan sedikit terbuka. Kulit Rania yang putih benar-benar di tampakkan. Sepatu berkelas menghias jenjang kakinya.
mata-mata itu menatap takjub melihat Rania turun, rambut yang selalu tertutup itu hari ini di biarkan terbuka. Pak yuda tersenyum. Apa yang di buat Rania hari ini benar-benar sempurna, ada masanya memang seseorang yang tertindas untuk bangkit dan membalas meskipun memaafkan pasti jauh lebih baik tetapi sepertinya Rania justru memilih jalan pembalasan.
Rania mendekati pak Yuda, menjabat tangan pak Yuda dan mencium lengan itu. rania hampir saja menangis namun ia berusaha menahan seluruh perasaanya.
"Terimakasih sudah hadir di undangan yang Rani gelar, acara ini sebenarnya hanya untuk tasyakuran karena akhirnya Rani bisa kembali ke tanah kelahiran abah dan bisa berkuliah di kampus ternama seperti kampus kita. Tidak ada yang lain hanya itu saja. Rani juga mohon maaf bila apa yang Rani hidangkan tidak sesuai dengan keinginan. "
"oh iya, nanti ada cindera mata emas antam dari Rani buat para undangan yang datang, hanya sebagai ucapan terimakasih saja."
Semua yang hadir kembali bertepuk tangan. Leo memandangi Rania dari tempatnya. Meratapi setiap kesempatan yang pernah hilang bersama wanita cantik yang kini jadi perhatian banyak orang. Leo menelan ludah berkali-kali. Hari ini ia punya banyak saingan untuk kembali mendapatkan Rania. Kemarin Leo membiarkan Rania begitu saja hilang. Sungguh, hal ini jauh diluar dugaan.
Undangan hari ini sungguh membuat Leo merasa menyesal dan sadar.
Satu sisi hati Leo berisi penyesalan sedangkan sisi yang lain dipenuhi kecemburuan pada sosok pak Yuda yang demikian dekat dengan Rania. Sampai hari ini harusnya Rania masih istrinya tetapi Rania sama sekali tidak menjabat erat lengannya namun mencium lembut lengan pak Yuda. Leo meradang dalam kecemburuan yang tergelorakan.
Leo yang malang.
Kasihan
******
Semua undangan pulang menuju rumah masing-masing, tapi tidak dengan Leo. Leo tetap di tempatnya. Duduk menunggu semua pulang dan suasana sepi.
Leo bersikap seolah-olah rumah itu miliknya, ia mencoba ikut memberi sedikit arahan pada pembantu yang membersihkan ruangan. Rania hanya diam memandang.
"Rani ganti baju dulu, ya.' Leo mengangguk.
Rania memasuki kamar mengganti bajunya dengan baju tidur atasan dan celana panjang bermotif boneka.
Kembali menuju ruang tengah, menghempaskan tubuhnya di kursi berwarna putih. Leo ada disana.
"Berapa sewa rumah ini Bunda?"
"Kenapa ?"
"Rumah ini bagus, pasti mahal."
"Murah kok."
"Berapa ?"
"Hanya dua puluh juta."
Leo membelalakkan matanya.
"Dua puluh juta sayang bunda, baik untuk beli rumah."
"Dimana ada rumah dua puluh juta?" Rania menjawab asal-asalan pada apa yang di ucapkan Leo.
"Buat DP nya, bunda."
"Dp dua puluh juta itu rummah tipe 36 ."
"Iya, "
"Haduh, kalau tinggal di rumah tipe 36 kan berarti Rani harus renovasi lagi, harus memperbaiki banyak hal lagi. Nggak sanggup ."
Sombong Rani berucap.
Leo mendekat.
"Kalau bunda mau ayah bisa berikan bunda uang buat tambahan beli rumah."
Leo mulai melancarkan rayuan. 'uang tambahan' selalu begitu.
Dulu juga begitu setiap membeli sesuatu Leo selalu memberikan rayuan tentang uang tambahan. Rania saat itu mengiyakan saja, tapi hari ini maaf Rania tidak akan berkata iya pada rayuannya.
Bukankah Rania dan istrinya yang ia simpan di rumah berstatus sama. Sama-sama istri bedanya hanya pada surat nikah sah atau surat nikah sirri itu saja.
Tetapi mengapa istrinya yang disana mendapatkan semua yang dia inginkan, rumah, kendaraan, status sosial juga jalan-jalan ke luar negeri tetapi Rania sama sekali tidak mendapatkan itu kecuali satu 'uang tambahan'.mungkin dulu masih bisa tetapi hari ini tidak lagi.
rania punya uang, Rania bisa beli semuanya sendiri.
Penghasilannya menulis bisa sampai delapan belas juta setiap minggunya. Jadi Rania tidak akan mengemis lagi. Tidak akan pernah.
Hari sudah semakin larut, rembulan hampir datang namun belum ada tanda-tanda Leo akan meninggalkan rumah Rania. Hingga Rania berkata.
"Ayah," Leo terkejut Rania memanggilnya ayah.
"Iya, ada apa bunda."
"Bunda ngantuk ayah pulang ya." Hanya itu yang Rania ucapkan dan Leo hanya bisa mengangguk.
Leo beranjak pergi namun sebelum pergi ia mengulurkan lengannya pada Rania, mungkin ia berharap Rania akan menjabat lengannya seperti dulu.
Sayangnya Rania tak menghiraukan uluran tangan Leo.
Ia hanya tersenyum
Leo pun pergi dari rumah Rania, mobil avanza silver miliknya perlahan-lahan menghilang dari pandangan.
Rania menengadah ke atas, memandangi langit-langit ruang tengahnya dengan tatapan kosong. Ia bingung, ia tak lagi bisa mendefinisikan isi hatinya saat ini.
Rindu, dendam, cinta, rasa sakit. Semua menari-nari di pelupuk matanya.
Mestinya ini adalah saat yang tepat untuk mengambil Leo kembali dalam pelukannya. Meminta Leo menceraikan istrinya.
Saat ink sangat mungkin baginya melakukan itu. Tetapi ia tidak kunjung melakukannya. Ia mencintai Leo tapi untuk membersamai hari-harinya ia tidak ingin lagi. Hatinya terlalu lama menunggu tanpa kepastian, cintanya di gantung begitu rupa.
Lihatlah, bahkan musim pun menemukan muaranya, bahkan hujan pun akan datang bila tiba masanya tetapi tidak dengan nasib cintanya yang seakan tanpa kejelasan.
Rania merajut asanya setiap saat, menikmati tidur hanya tiga jam dalam semalam demi menuntaskan dendamnya pada Leo. Lalu saat ini, saat dimana ia hampir sampai pada garis finish haruskah ia menyerah dan pasrah ?
Ia ingin menjadi bagian dari penulis taqdir untuk Leo, Rania ingin Leo merasakan kepedihan seperti dirinya. Agar ia tahu menunggu itu menghadirkan jemu. Digantung itu sakit. Menanti itu lelah.
Leo harus tahu rasa dari tiap keadaan itu agar ia tidak seenaknya menyakiti orang lain terlebih lagi wanita.
Agar Leo tahu bahwa semua wanita punya perasaan, punya rasa sakit dan semua harus dijaga bukan hanya istri sahnya saja.
Rembulan malam telah duduk disinggasana, Rania menatap nya dari tempat ia merebahkan dirinya saat ini. Dendam dan sakit hatinya akan ia suarakan lewat rembulan agar seluruh dunia mampu mendengar.