Chereads / PEDIHNYA JADI ISTRI KE DUA PAK DOSEN / Chapter 9 - PANTAI BATAKAN PENUH CERITA

Chapter 9 - PANTAI BATAKAN PENUH CERITA

Pantai Batakan,

Kaki kaki mereka penuh pasir, berlarian dalam bahagia, berfoto bersama, ada banyak pose mereka cipta. 

Seperti sebuah lagu dengan lirik-lirik yang indah, seperti itu perjalanan mereka saat ini.

Aroma kepedihan itu seolah hilang, mereka semua hanyut dalam oase keindahan.

"Ayo bawa ke tengah."

"Iya, kita bawa ke tengah."

"Ayo cepetan " Septia ditarik oleh kawan kawan nya ketengah pantai yang sedang bergelombang.

"Hati-hati dia tidak bisa berenang" Rania berteriak-teriak agar yang lain membatalkan membawa Septia ke tengah.

Namun apa yang diucapkan Rania diikuti dengan gelak tawa oleh yang lain.

Mereka bergulung-gulung dengan ceria.

Di ujung sana Budiman mengabadikan setiap momentum perjalanan mereka.

Diantara aktifitasnya Budiman sering mengarahkan video nya pada Rania. Rania yang mengusik kisi-kisi tanya dalam hatinya yang menggelinding.

Bukan tentang dirinya sedang jatuh cinta pada pemilik nama lima huruf itu tapi karena ada tanya besar yang belum berhasil Budiman jawab.

Rania.

Wanita cantik dan berwawasan luas itu,

kenapa bisa terjebak pada pernikahan yang menggantung bersama dengan Leo.

Leo kawan seprofesi yang ia kenal sering menebar cinta pada banyak wanita.

Pertanyaan yang banyak dalam hati Budiman, ingin sekali ia lontarkan pada Rania. Namun Budiman sedang mencari saat yang tepat.

"Hoi, melamun apa pak "

"Nggak melamun kok"

"Bohong" 

"Bapak berbohong, wajah bapak jelas nampak melamun memikirkan sesuatu."

"Tidak Rif, sudah sana nanti Septia mu diambil orang lho."

"Nggak ah, Septia sedang asyik dengan kawan-kawannya." Usai berkata begitu Arif malah mengambil posisi duduk di dekat Budiman.

Pak Budiman,

dosen yang satu ini memang unik. Sikapnya yang menjadi kawan bagi semua mahasiswa membuat ia menjadi di sayang banyak orang. 

Disamping itu pak Budiman sangat amanah. Jadi semua orang merasa nyaman bercerita padanya. Tidak akan mungkin cerita yang kita amanah kan sampai bocor pada orang lain.

"Bu Rania kayak Arumi istri wakil gubernur Jatim ya pak" pak Budiman tertawa terbahak bahak mendengar apa yang diucapkan Arifin.

Sampai tubuh nya bergerak-gerak sangking kerasnya tertawa.

"Cantik iya, tapi nggak usah disamakan dengan artis Rif, kamu ada ada saja."

"Beneran mirip pak, wajahnya putih, matanya lebar, bulu matanya lentik."

"Iya iya. Sudah nggak usah dibahas"

Rania dan kawan-kawan yang lain mendekat saat Arifin justru akan bicara tentang Rania, cepat-cepat Budiman menutup bibir Arifin agar kalimatnya tidak terdengar.

Arifin terkejut saat melihat jemari pak Budiman dibibir nya, terkejut lagi saat tahu bahwa Rania dan kawan kawan yang lain sudah ada diantara mereka.

"Baju kalian basah lho."

"Iya, ini mau ganti dulu"

"Bu Rania bawa baju ganti?" tanya Arifin sok peduli, Budiman tersenyum di kulum.

"Pak Budiman bawa baju ganti dimobil nya, bu. Kan bu Rania tadi belum sempat pulang untuk mengambil baju."

"Iya, bu Rania tadi dari kampus langsung rumah sakit mengantar pak Leo langsung berkeliling mengantar kami."

"Gak usah lah, saya pakai ini saja" Bu Rani menunjuk bajunya yang setengah basah.

"Nanti ibu sakit bu, pakai vbaju atasan pak Budiman saja, bawahannya pinjam Septia."

Budiman tercengang mendengar apa yang disampaikan Arifin. Ngawur sekali.

"Pak pinjam bajunya dong buat bu Rani." Arifin makin gila. 

Arifin memandang Septia, Septia yang faham kelakuan kekasihnya ikut ikutan menggoda.

"Iyalah pak pinjam bajunya buat bu Rani, kasihan kan,pak."

Rania jadi makin bingung dengan kawan kawannya kenapa semangat sekali menggoda dirinya dan pak Budiman.

"Sudah sudah, nggak usah sibuk saya pakai ini saja" Rania tiba tiba berkata sambil membuka kotak kue yang ia beli berisi aneka kue basah untuk kawan-kawannya."

Budiman turun dari tempat duduknya, membuka mobil dan mengambil baju atasan lengan panjang yang ada dimobil nya.

Teman-teman berbisik-bisik membicarakan pak Budiman dengan sifat tidak tega yang sering mengumpul dalam dirinya.

Pak Budiman memberikan kemeja warna merah hati berlengan panjang pada Rania. 

Rania menerima kemeja tersebut sambil tercengang.

Teman yang lain tersenyum memandang adegan romantis yang berjalan didepan mereka.

Saat Rania dan kawan-kawan wanitanya pergi meninggalkan mereka, para lelaki pun berghibah.

"Saya pernah baca diakun medsos pak, wanita itu sederhana yang rumit itu moodnya juga rindunya"

"Cie..kayak pujangga."

"Terus maksudnya apa?" tanya Budiman pada Arifin dan yang lain.

"Maksudnya itu kalau sampai hari ini bapak masih sendiri, berarti bapak yang kurang bisa memahami" 

Suara Arya sambil memukul mukul ranting yang tadi ia pegang pada kakinya sendiri.

"Ach, apa yang kalian sampaikan itu tidak mendasar!" sanggah pak Budiman pada mahasiswanya.

"Terus yang mendasar bagaimana, pak?"

"Yang mendasar itu memakan donat ini sambil membayangkan yang membelikan." Pak Budiman berkelakar.

"Waaaaa" panjang sekali mereka menanggapi apa yang baru saja dikatakan Budiman.

"Jangan-jangan pak Budiman memang naksir bu Rania nih"

"Aku naksir juga, sayangnya bu Rania yang gak naksir aku."

"Ya secara beliau cantik, pinter, berpendidikan, kaya pula. Hanya lelaki bodoh yang menolak beliau"

Semua mengangguk anggukkan kepala pertanda setuju.

"Jadi fix nih, bu Rania dengan siapa?"

"Pak Budiman...." kompak mereka bicara.

Pak Budiman hanya diam, tanpa senyum dan tanpa kata.

Ia pandangi pasir pantai berserakan sebagai bukti kuasa Tuhan, ombak yang sesekali datang menerpa tepian pantai dan menarik pasirnya hingga berpendar pendar, saling terpencar.

Seperti juga juga hidup, adakalanya ditaqdirkan untuk jalan bersama dan adakalanya berpisah pada taqdir Nya masing-masing.

Mereka yang tadi berganti pakaian telah datang, kini jumlahnya mereka lengkap 13 orang.

Tiga belas es degan terhidang. Mereka duduk melingkar menunggu matahari terbenam dan malam datang.

Yeah, pantai memang selalu indah untuk dinikmati .

Rania menggumam diantara riuh suara kawan-kawan.

Seperti juga indahnya melihat pemandangan kala tiga puluh panggilan tak terjawab dari Leo di ponselnya.

Leo harus tahu bahwa diabaikan itu sakit.

Ini hari ke dua mereka berada di sini, di Pantai Batakan yang penuh cerita.

Untuk mencapai Pantai Batakan dari Kota Banjarmasin relatif mudah karena kondisi jalannya cukup baik ,berkelak-kelok dan turun-naik serta menyajikan pemandangan alam yang indah berupa barisan perbukitan yang menghijau, hamparan persawahan yang menguning, serta perkampungan nelayan yang berada di tepi pantai. Sebelah timurnya terdapat perbukitan pinus yang menjadi bagian dari Pegunungan Meratus.

Tidak jauh sebelum gapura yang menandai pintu masuk kedalam Pantai Batakan, terdapat sebuah tugu yang terletak ditengah jalan. Tugu ini membelah jalan menuju Pantai Batakan menjadi dua. Sementara gapura itu sendiri nampak tidak terawat dan dibiarkan kosong tanpa penjaga. Ada pos lagi ketika sudah masuk melewati gapura. Pos ini nampak lebih terawat dan juga dijadikan sebagai tempat untuk membayar tiket masuk Pantai Batakan.

Indahnya saat matahari terbenam, lebih indah lagi saat menikmatinya dari tepi pantai.

Seperti hari ini.

Pak Budiman duduk melingkar bersama para mahasiswa nya, bercerita tentang banyak hal.

Karena selain cerdas, mengayomi dan berbudi, pak Budiman termasuk seseorang yang berwawasan luas, sehingga beliau layak dikagumi.

Satu persatu pergi dari percakapan mereka karena malam semakin larut.

Tinggal Rania dan pak Budiman berdua saja. Angin pantai yang semilir. Suasana pantai tengah malam, semakin membuat teduh suasana.

"Bu Rani ndak istirahat?" tanya pak Budiman.

"Belum ingin, pak" suara bu Rania menjawab.

"Disini dingin lho"

"Iya pak, kalau bapak hendak istirahat silahkan saja."

"Ndak papa bu, belum ingin juga."

Mereka sepakat untuk tidak menyewa cottage tapi tidur dimobil, bukan karena tidak punya uang tapi semata karena ingin menikmati kebersamaan.

Bu Rani asyik dengan hp nya dan pak Budiman pun demikian. Hingga pak Budiman membuka percakapan.

"Bu Rani saya boleh nanya,"

"Boleh pak, ingin nanya apa?"

"Apa benar sampai saat ini bu Rani masih jadi istri pak Leo?" sangat hati hati Budiman bertanya agar bu Rani tidak tersinggung. Diluar dugaan bu Rani tersenyum.

"Kata orang sih begitu" Bu Rani bicara sambil memonyongkan bibir tipisnya yang berwarna merah muda pak Budiman sebenarnya ingin tertawa namun ia berusaha menahannya.

"Kok kata orang bu?"

"Iya kata orang kami masih suami istri, tapi kalau kata saya sih enggak."

"Bisa begitu ya bu?"

Bu Rani hanya mengangguk angguk kan kepala.

"Masalahnya karena pihak suami tidak mengeluarkan talak jadi saya belum bercerai lha menurut saya sudah cerai karena selama ini saya tidak di nafkahi lahir batin."

"Berapa lama pisahnya bu?"

"Lima tahun". Pak Budiman diam, ia sendiri belum tahi kebenaran dari hukuman kasus ini bagaimana, tapi kasus ini menarik untuk di kaji dan dibahas.

Mereka berdua kembali diam hingga pak Budiman angkat bicara lagi.

"Harusnya ibu dan pak Leo bertemu kemudian ada pihak ke tiga yang mendamaikan dan fihak ke tiga itu harus orang yang mengerti tentang kasus ini" 

Pak Budiman bicara seolah pada dirinya sendiri.

"Yang mengalami kasus seperti saya pastinya sudah banyak pak dan mereka tidak tahu dititik mana kasus mereka harus dihukumi."

"Iya, bu" mereka menerawang, membuang pandangan pada alam, pada gugusan ombak yang bergulung, pada gemintang yang bertebaran. Mereka seolah ingin sekali bicara bahwa ada banyak masalah yang harus dipecahkan. 

Ada banyak orang yang butuh diperjuangkan. Mestinya orang-orang pintar bertanggung jawab untuk ini. Tapi sayang, pelakunya justru bagian dari orang orang itu sendiri.

"Kalau bu Rani pacar saya, saya pasti kawani menemui pak Leo."

"Kalau begitu kita pacaran saja." Jawab Rania cepat.

Pak Budiman melotot terkejut, Rania menyadari kesalahannya sembari memohon maaf.

"Maaf kan saya, pak" Rania memohon, tampak sekali ia menyesal. Kemudian pak Budiman berkata .

"Tapi saran bu Rani ada benarnya juga, kita akan sebarkan cerita bahwa mulai malam ini kita pacaran."

"Tujuannya pak?"

"Memancing pak Leo agar menegur saya, bu."

"Kemudian?"

"Kalau beliau menegur saya tentang hubungan kita baru akan saya minta talak beliau untuk ibu Rani."

Rania mengangguk sepakat.

"Tapi sebentar, bu Rani serius minta cerai pada pak Leo?"

"Maksudnya?"Tanya Rania tak mengerti.

"Maksudnya apa bu Rani serius tidak ingin kembali pada pak Leo?"

"Serius lah pak, kalau tidak serius ngapain juga saya capek capek mengulang kuliah lagi."

"Oh...begitu." Dan mereka pun tertawa.

Pantai Batakan menjadi saksi perjanjian mereka hari ini. Begitulah seharusnya orang dewasa berbuat. Orang dewasa akan tahu meletakkan diri sesuai porsi, tidak berlebihan dan tidak juga mengurangi. Kemudian menepati janji tersebut.

Orang-orang yang hanya berani mengukir janji tanpa menepati hanya akan mengotori nama baik mereka saja dan itu memalukan.

Hari ini pak Budiman telah membuktikan bahwa dirinya siap berkomitmen dengan bu Rani serta menepati komitmen mereka dengan baik. Apapun resiko yang akan terjadi di depan nanti mereka telah siap menghadapi.

"Bu Rania," panggil pak Budiman lembut, memecah hening yang mengunang diantara api unggun dan percikan air ombak pantai.

"Iya pak, ada apa?"

"Kalau nanti Septia tanya jangan ceritakan apapun tentang perjanjian kita ya."

"Siap pak."

"Hanya kita berdua yang tahu tentang rencana ini bu, jangan sampai bocor pada yang lain."

"InsyaAllah ya pa, terimakasih."

"Terimakasih untuk apa, bu ?"

"Terimakasih sudah mau perduli pada saya, " Rania berkaca-kaca.

Rania berdiri, meninggalkan Budiman seorang diri menuju mobilnya dan menyudahi perjanjian mereka.

Budiman melempar pandang pada pantai. Ia merasa iba pada Rania, andai saja dirinya seorang milyader ia akan menghibahkan uangnya untuk menolong wanita-wanita di luar sana agar terbebas dari jerat lelaki tak bertanggung jawab.

Budiman meradang, semoga tak ada lagi cerita seperti Rania bertahta di telinganya.

Ia sangat berharap.