Kejadian kemarin demikian menyakiti hati Rania, air mata yang sempat mengalir membuat matanya bengkak. Rania masih ingat bagaimana Leo bicara seperti malaikat semalam. Rania masih ingat satu kalimat.
"Bunda masih istri ayah sampai hari ini."
Rania sulit membuka lebar matanya akibat gumpalan yang menggantung di kelopak mata.
Dua pembantunya sudah berkomentar agar Rania tidak perlu membuka pintu bila dosen yang semalam datang lagi.
Rania hanya diam tanpa menjelaskan apapun.
Rania masih enggan bercerita. Terlebih cerita tentang Leo.
Di Kampus pagi ini.
"Bisa tolong temui saya di ruangan ?" pesan masuk dari pak Leo di whatsApp pak Budiman.
Pak Budiman membacanya sekilas namun tak segera menjawab.
Ini baru permulaan pak Leo, bisik pak Budiman cepat.
Akan ada episode-episode cantik setelah ini. Ini baru bunga rampai belum masuk pada pendahuluan apalagi isi dan kesimpulan. Gumam pak Budiman dari dalam hatinya.
"Pak, bisa tolong temui saya di ruangan?" Pak Leo mengirim pesan untuk kedua kalinya dengan bahasa yang sama.
"Bisa."
"Terimakasih, Pak."
"Oke."
Pak Budiman hanya menjawab singkat. Pak Budiman tahu kali ini pak Leo pasti ingin membicarakan tentang Rania dan hubungannya dengan dirinya. Pak Budiman tersenyum sinis. Cepat sekali berita ini menyebar, siapa pahlawan yang sudah membuat viral ? Andai aku tahu aku akan mengucapkan terimakasih padanya.
Usai bersiap berangkat ke kampus pak Budiman pun mengendarai mobilnya. Baju atasan warna merah hati dengan celana kain berwarna hitam menambah modis penampilannya.
Santai sekali pak Budiman mengendarai mobilnya.
Ketika pak Budiman telah sampai di kampus, ia parkir mobil di tempat yang tepat.
Menyusuri tangga biru pak Budiman menemui pak Leo di ruangannya. Setibanya disana, tanpa mengetuk pintu pak Budiman telah masuk dan duduk tepat di depan pak Leo.
Pak Budiman menatap pak Leo sekilas sambil berkata,
"Untuk apa memanggil saya,Pak?" tanya pak Budiman masih datar.
"Saya ingin bertanya tentang Rania"
Pak Budiman masih menanggapinya datar.
"Oh Rania yang pacar saya?"
"Jadi benar bapak pacaran dengan Rania ?"
"Iya, benar pak."
"Sejak kapan ?"
"Sejak di pantai Batakan."
"Pak Budiman serius ?"
"Sangat serius."
"Saya ingin memberi tahu pak Budiman sesuatu yang mungkin tidak pernah diceritakan Rania."
"Apa itu, Pak?" Pak Budiman mulai memasang tampang serius.
"Rania istri saya, pak. Kami belum bercerai." Tandas pak Leo akhirnya.
Pak Budiman pura-pura tersedak saat meminum air mineral gelas yang ada di atas meja Pak Leo.
"Pak Budiman belum tahu kan ?"
Pak Budiman menggeleng.
Pak Leo tersenyum, kemudian bicara lagi. Ia mulai merasa menang.
"Rania punya banyak kesalahan di masa lalu terhadap saya, itu sebabnya dia pergi tanpa pamit pada saya. Mungkin dia malu. Saya mengetahui semua kebohongannya. Saya sengaja tidak menghubunginya agar dia tahu kemarahan saya. Padahal setelah kepergiannya saya selalu berdoa agar dia kembali pada saya. Saya sudah memaafkannya,Pak."
"Begitu ya ?"
"Iya pernah membohongi saya Pak, selama menikah satu tahun dengan saya dia menghabiskan uang dua puluh juta di ATM milik saya Pak. Padahal kami baru menikah sekitar hampir satu tahun, awalnya saya mengamanahkan uang itu untuk pembayaran rumah sakit. Rumah sakit hanya habis sekitar tiga juta an sisanya digunakan Rania untuk beli perabotan rumah dan belanja, begitu pengakuannya."
"Padahal selama itu Pak Leo sudah memberi nafkah ya Pak?"
"Tidak Pak, saya stop memberi nafkah sejak kejadian itu."
"O"
Pak Budiman mengompres hatinya dengan kain tanpa waslap. Ia muak dengan laki-laki di depannya namun tetap berusaha tenang. Seorang istri muda menghabiskan uang tujuh belas juta untuk makan dan beli perabot dia mengatakan istrinya pembohong. Dasar buaya kelas teri. Mungkin dia tidak pernah tahu harga seorang pelacur di luar sana hingga dia mengatakan istri yang diamanahkan Tuhan sebagai istri pembohong hanya karena menghabiskan seujung kuku dari uangnya.
Pak Budiman masih mengangguk seperti sepakat.
Beliau menahan geram yang ada di hatinya demi memuluskan rencana beliau selanjutnya.
Yang penting musuh telah sampai pada perangkap.
"Oke, saya sudah dengar semua cerita bapak, saya permisi dulu."
"Jadi kapan bapak akan meninggalkan Rania ?"
Pak Budiman menjabat lengan Pak Leo kemudian menepuk-nepuk bahunya dan segera pergi sambil meninggalkan senyum yang tadi sempat ia kulum.
"Saya permisi dulu Pak"
"Pak Budiman mau mengajar ?"
"Tidak, Pak. Saya ada janji dengan Rania di rumahnya."
"Tolong hargai saya sebagai suami Rania, Pak." Pak Leo mulai mengeluarkan jurus mautnya. Menggunakan kata "suami" sebagai pedang beracun.
"Saya akan tanyakan semua cerita Pak Leo pada Rania, saya wajib konfirmasi sekaligus klarifikasi dong, Pak. Bahasa kerennya 'tabayun'. He he he." Pak Budiman berkelakar.
Pak Budiman menjauh dari ruangan Pak Leo, ia membuang nafas yang sedari tadi ia tahan dan memenuhi rongga dadanya. Sebagai sesama lelaki Pak Budiman gerah dengan Pak Leo. Ingin sekali ia memberikan kepalan lima jarinya di ujung dahi Pak Leo namun cara itu tidak elegan.
Sebagai seorang akademisi ia akan menyadarkan Pak Leo dengan cara yang lebih cantik, agar Pak Leo tahu apa itu rasa sakit.
Melewati tangga biru lagi sebelum akhirnya sampai di parkiran ketika beberapa teman wanitanya sesama dosen menyentil
"Sedang berebut penulis cantik kah, Pak?" Tanya mereka pada Pak Budiman sambil senyum-senyum.
Dari mana mereka bisa tahu cerita ini ?
Pak Budiman berlalu dari kerumunan teman wanitanya tadi. Datar tanpa ekspresi.
"Arifin, kamu di mana ?" tanya Pak Budiman melalui telephon.
"Di gazebo, Pak dengan Septia."
"Oh kebetulan sekali, kamu ke tempat parkir yang di dekat pohon pinus ya, dekat papan. Kita ke rumah Rania."
"Siap, kapan Pak ?"
"Tahun depan."
Tak berapa lama Arifin dan Septia mendekat. Pak Budiman mempersilahkan mereka masuk mobil. Mobil meluncur ke arah rumah Rania. Sepanjang perjalanan Pak Budiman mengeja perasaan iba nya pada Rania. Baru satu Rania dengan kasus seperti ini yang ia temui ada banyak Rania di luar sana dengan nasib serupa yang tidak ia kenali. Lalu siapa yang menolong mereka menuntut hak nya?
Pak Budiman menghela nafas menyaksikan secuil potret kehidupan yang nampak di depan matanya. Tiba-tiba ia jadi merasa bersalah dengan Tuhan.
Rumah Rania nampak sunyi, ketika mobil Pak Budiman berhenti tepat di depan pagar rumah cantik milik Rania.
"Septia bisa tolong telephon kan Rania ?"
"Oh iya, Pak."
Septia menghubungi Rania.
Bersama dengan itu seorang pembantu membuka pintu pagar dan mempersilahkan masuk.
Mereka bertiga duduk di sofa.
Ketika Rania muncul dengan kelopak mata bengkak mereka bertiga menjadi bingung.
"Rani, kenapa ?" Tanya Pak Budiman.
"Bukan karena menulis novel kan, kak ?" tanya Septia.
Rania menggeleng pelan.
Kemudian berkata.
"Kemarin malam Pak Leo datang." Hanya itu lalu kembali diam.
Suasana kembali hening. Pak Budiman, Arifin juga Septia heran melihat makhluk seperti Pak Leo. Sebenarnya otak nya terbuat dari apa ?
Rania masih menunduk sambil menceritakan kejadian semalam. Ada amarah yang meletup-letup di dada Pak Budiman pada Pak Leo. Seseorang yang mestinya menjadi teman ternyata tak lebih dari seorang pecundang.
Pak Budiman menatap Rania sekilas, hanya sekilas. Ia tidak berani menatap wanita ini terlalu lama. Karena saat itu juga, sebelum tatapannya usai akan nampak penderitaannya dengan STATUS yang digantung, selama LIMA TAHUN !
Oleh laki-laki yang berilmu pengetahuan.
Pak Budiman terdiam sambil merencanakan lanjutan bunga rampai yang ia buat hari ini untuk Pak Leo.
Musim hujan sedang melanda Banjarmasin, hujan, selalu punya cerita tersendiri, selalu menghasilkan rindu dan membuat guratan-guratan pilu. Itu yang dirasakan Pak Leo saat ini di ruang kerjanya. Rumah mewah, aneka perabot, mobil berjajar juga motor dengan merk terbaru ternyata belum juga memupuskan rindunya.
R A N I A
ia mengeja nama itu berkali-kali dalam sehari. Ia menyebutnya dalam permintaannya pada Tuhan.
Rania, adalah sebuah obsesi terbesar keberhasilan seorang lelaki dengan kesuksesan seperti dirinya.
Rania yang dulu pernah ia jadikan perdebatan dengan istri sah nya di rumah hingga ia tidak lagi mampu berkutik.
Rania yang dulu di diskripsi kan sebagai wanita 'benalu' tanpa pekerjaan tetap dan hanya akan menghabiskan hartanya.
Hingga ia percaya semua diskripsi itu.
Saat itu ia begitu takut kehilangan semua yang ia miliki.
Bertahun-tahun ia mengikuti semua arahan istri pertamanya namun faktanya ia tidak bisa menikmati perjalanannya.
Lelaki, kadang terlampau sulit berfikir normal bila berhadapan dengan wanita yang sering ia sebut istri.
Siapa sangka, saat dirinya merasa Rania adalah sebuah kekaburan masa silam, tiba-tiba Rania hadir lagi, Rania muncul lagi, Rania seolah hidup lagi. Lalu ia merasa punya 'hak' atas seseorang yang dulu sempat ia jauhi.
Pak Leo mengkremasi cinta yang ada dalam hatinya.
Mungkinkah ia merelakan Rania terbang bebas di hadapannya ?
Mungkinkah ia membiarkan Rania berlarian dengan lelaki lain dan melintasi wajahnya begitu saja ?
Mungkinkah ?
Sedangkan sampai hari ini dirinya adalah 'suami' dihadapan Tuhan bagi Rania.
Melanjutkan mimpinya untuk bahagia bersama Rania atau menjatuhkan talak pada Rania dan mengakhiri mimpinya ?
Pak Leo seperti orang linglung membaca kisah hidupnya sendiri.
Hujan belum berhenti, seperti cintanya yang ternyata tidak bisa berhenti pada Rania.
Lelaki mana yang tidak bangga bersisihan dengan wanita cantik. Lelaki mana yang tidak ingin punya istri memukau dan jadi perbincangan banyak orang. Pekerjaan wanita adalah urusan kesekian bagi lelaki seharusnya karena tugas bekerja mestinya ada di pundak lelaki bukan wanita. Namun dirinya begitu bodoh saat itu.
Pak Leo menutup laptopnya. Mengakhiri seluruh kegundahan dalam hatinya. Ia bertekad akan menemui Pak Budiman dan menceritakan seluruh harapannya tentang Rania, bila mungkin ia akan memohon agar Pak Budiman membantunya menyampaikan niat tulusnya pada Rania.
Ia akan bicara sebagai sesama lelaki. Mungkin nanti ia akan malu namun ia sadar ini adalah bagian dari konsekuensi yang harus ia hadapi.
Pak Leo bergegas, membersihkan dirinya dan memakai baju santai. Ia ingin menemui pak Budiman di rumahnya.
"Hari libur mau kemana ?" tanya istrinya saat ia melintas dengan pakaian rapi dan bau wangi.
Pak Leo hanya diam, lalu menuju mobil. Istrinya sekarang tidak terlalu mengawasi dirinya karena istrinya berfikir bahwa Rania sudah pergi, istrinya tidak tahu bahwa Rania telah kembali.
Melintasi jalanan panjang yang masih sunyi, mungkin karena hujan yang turun sejak pagi. Pak Leo menata kalimat yang tepat bila nanti ia bertemu dengan Pak Budiman.
Rumah asri bercat hijau dengan pagar tinggi itu masih terkunci. Nampak sunyi. Mungkin Pak Budiman sedang tidur. Hawa sejuk yang hadir pagi ini memang mendukung banyak orang memanjakan diri di tempat tidur.
"Assalamualaikum." Suara Pak Leo terdengar lantang.
Sunyi, tetap tidak ada jawaban.
Pak Leo memutuskan menghubungi pak Budiman lewat ponselnya.
"Assalamualaikum, Pak."
"Waalaikumsalam."
"Pak Budiman sedang istirahat ya ?" Suara Pak Leo sok tahu.
"Maksudnya pak ?"
"Saya ada di depan rumah bapak."
Pak Budiman merasa terkejut mendengar keterangan Pak Leo bahwa Pak Leo sudah ada di depan rumahnya.
Pukul sembilan waktu Indonesia Tengah. Pak Budiman, Arifin juga Septia sedang berada di rumah Rania.
Mereka berjanji hari ini jalan-jalan untuk menghibur Rania dari dukanya.
"Bapak dimana ?" Tanya Pak Leo lagi. Pak Budiman memandang Rania meminta persetujuan. Rania hanya memandangnya dengan tatapan datar.
"Saya di rumah Rania, Pak."
Akhirnya jawaban Pak Budiman pun muncul.
Pak Leo terkejut. Sepagi ini, saat hari hujan begini ? Untuk apa Pak Budiman di rumah Rania.
Kecemburuan Pak Leo memuncak. Pak Leo merasa bahwa Pak Budiman menyepelekan dirinya. Pak Budiman tidak menghiraukan penjelasannya bahwa Rania masih istrinya. Hal itu terbukti dengan keberadaan Pak Budiman di rumah Rania hari ini.
Pak Leo meluncur menuju rumah Rania, ia memacu mobilnya lebih cepat.
"Pak Leo datang," suara Arifin. Semua yang duduk di ruang tamu saling pandang.
"Arifin dan Septia masuk saja. Biar Pak Leo saya yang mengatasi dengan Rania." Ucap Pak Budiman tegas.
"Saya ?" tanya Rania dengan wajah memelas.
"Iya, kamu takut ?"
Rania hanya diam. Nampak sekali ia tertekan dan Pak Budiman memahami itu.
"Assalamualaikum " suara Pak Leo di ujung pintu.
"Waalaikumsalam " jawab semua tang di dalam rumah.
Pak Leo muncul, Arifin dan Septia berjaga-jaga kalau nanti terjadi hal yang buruk.
Pembantu Rania pun melakukan hal yang sama.
"Pada mau kemana ?" Pak Leo membuka pembicaraan.
"Kami mau ke mall, Pak. Belanja. Biasa tanggal muda." Pak Budiman menjawab santai.
"Pak Budiman saya ingin bicara." Pak Leo bersuara lagi.
"Iya pak ada apa ?" Pak Budiman pura-pura mengeluarkan wajah serius.
"Rania masuk saja." Perintah Pak Leo pada Rania, ia nampak mengatur mungkin merasa memiliki Rania.
"Apa ?" Rania mencoba bertanya pada Pak Leo.
"Pak Leo kesini mau bicara dengan Pak Budiman dan saya sebagai yang punya rumah di suruh masuk ?" Rania menekan suaranya.
"Bukan begitu bunda, ini penjelasan lelaki. Bunda di dalam saja."
"Kalau begitu ngomongnya di luar saja, di warung kopi, di resto atau di cafe, jangan disini. Saya yang punya rumah dan tidak ada seorang pun yang boleh mengatur saya di rumah saya."
Rania nampak emosional sekali. Pak Budiman memandang Rania ada kecemasan dalam hatinya.
"Pak Leo mau bicara apa ?" Pak Budiman berusaha santai.
"Dari kemarin saya sudah bilang agar Pak Budiman menjauhi Rania karena Rania secara hukum agama masih istri saya." Pak Leo akhirnya bicara.
"Ya, betul itu. Dan saya berjanji akan mentabayun kan urusan ini pada Rania, Rania jelas berkata bahwa Rania dan Pak Leo sudah tidak ada hubungan apapun sejak lima tahun yang lalu."
"Tapi saya belum menjatuhkan talak Rania,Pak." Pak Leo bicara lantang.
"Sebagai sesama lelaki harusnya Pak Budiman malu naksir istri teman sendiri. Ini menjatuhkan reputasi bapak."
Pak Budiman tertawa lantang, tawanya seperti rentetan hinaan bagi Pak Leo.
"Pak Leo, saya jelaskan ya."
"Sebagai sesama lelaki saya tidak malu naksir Rania karena Rania jelas berkata dia janda. Andai memang Pak Leo belum menjatuhkan talak, ini kesempatan. Jatuhkan saja sekarang mumpung ada kami sebagai saksi."
"Satu hal lagi, saya tidak takut reputasi saya di kampus hancur yang penting hati saya tidak hancur karena kehilangan mimpi, harapan dan cinta saya."
Pak Leo dan Pak Budiman beradu pembicaraan. Sebagai sesama lelaki mereka saling menyampaikan argumen yang benar menurut pemahaman mereka.
Rumah Rania menjadi ramai dengan keributan.
"Cukup.!!!!" teriak Rania.
Pak Budiman dan Pak Leo pun diam. Arifin berdiri mengawasi keadaan.
"Jangan membuat keributan di rumah saya.!"
"Sekarang biar saya menjawab. Status saya sudah Pak Leo gantungkan bertahun-tahun hingga saya harus berjuang memenuhi kebutuhan lahir batin saya tanpa bantuan lelaki yang bisa dipanggil suami. Sampai disitu mestinya otak Pak Leo bisa dipakai berpikir. Lalu sekarang Pak Leo datang lagi bicara tentang status. Jujur saya muak!"
"Sekarang, saya putuskan. Oke, kita masih akan tetap jadi suami istri asalkan Pak Leo membawa istri Pak Leo ke rumah ini besok pagi. Jika Pak Leo tidak melakukannya maka bapak harus bersedia menceraikan saya."
"Sekarang semua sudah jelas, silahkan pulang." Usir Rania.
Pak Leo terdiam. Pak Budiman juga.
Semua diam dalam pikirannya masing-masing.
Hingga Pak Leo berdiri dan pergi tanpa berpamitan.
Hidup terkadang begitu keras pada kita. Mengajarkan bagaimana sakitnya kehilangan.