Hari ini Rania ingin sekali jalan-jalan ke kampus, bosan sekali di masa Pandemi ini harus menghabiskan waktu di rumah saja. Sebagai penulis rasanya sangat sulit untuk mengembangkan imajinasi bila harus terkurung begini.
Rania melangkahkan ringan kakinya menuju mobil yang terparkir di depan rumah, menginjak gasnya perlahan.
Mantap kakinya menuju kampus. Ia ingin sekali duduk di gazebo sambil menikmati semilir angin dan berkisah tentang hidupnya. Menari di antara huruf-huruf di laptop.
Sekali lagi Leo hadir dengan rayuannya, ia mengganggu saja, membuat inspirasi menulis jadi hilang.
Rania berjanji akan mau di temui di rumahnya malam nanti.
Malam yang di tentukan tiba.
Rania masih asik di depan televisi ketika ia melihat agya hitam itu datang. Itu mobil milik Leo.
Leo lelaki kaya raya dengan empat mobil berjajar di rumahnya, dua motor dan satu motor gede. Gila, sebanyak apa pekerjaannya hingga mobilnya berjajar begitu rupa. Dulu Rania perduli pada harta yang di miliki Leo. Tetapi hari ini tidak lagi. Rania sudah tidak berminat. Sama sekali tidak ingin melihat harta yang di miliki Leo. Cukup apa yang ia punya saat ini dari hasil kerja keras dan perjuangannya sendiri bukan dari hasil meminta pada Leo yang notabene masih suaminya.
Leo turun dari mobil, memencet bel beberapa kali. Rania duduk di tempatnya membiarkan lelaki itu memencet bel rumahnya. Pembantunya datang.
"Bu, ada tamu.'
"Siapa ?"
"Sepertinya pak dosen yang kemarin kemarin itu bu."
"Biarkan saja bi,"
"Kok biarkan bu."
Rania melihat ponselnya berdering. Ia melihat namun hanya melihat saja. Rania tetap di tempatnya tanpa ingin melakukan apapun. Ia lelah.
Bibirnya tersenyum menang. Ia sam sekali tidak mengangkat telpon itu. Ia bosan pada lelaki yang pernah menyakitinya.
Dulu lima tahun yang lalu Rania pernah mencoba menghubunginya.
"Ayah, bunda minta uang ya yah."
"Berapa bunda ?"
"Tujuh ratus saja ya, "
"Untuk apa ?"
"Bayar mobil ayah."
"Ayah masih di rumah, belum bisa kemana-mana."
"Bunda ke sana ya ayah. Ayah nggak usah ngomong apa-apa dengan mbak."
Hanya itu yang Rania bisa katakan.
Rania tiba di rumah Leo hampir senja. Sama seperti hari ini berkali-kali Rania mengetuk pintu rumah namun sama sekali tidak terbuka padahal Rania jelas melihat ada sorot TV dari dalam.
Hari ini Rania melakukan hal yang sama terhadap Leo. Sama seperti yang Leo lakukan beberapa tahun yang lalu.
Bedanya saat itu Rania sempat pingsan karena berfikir keras berharap dapat uang tujuh ratus ribu untuk membayar kekurangan angsuran mobil, hari itu Rania ketakutan di kejar-kejar oleh deptcolector, Rania datang ke rumah Leo karena Rania berfikir Leo adalah suaminya dan saat itu Rania tahu Leo baru saja dapat uang dua ratus tujuh juta rupiah. Rania dapat info itu dari sumber yang valid. Dari seorang kawan Leo yang hari ini telah almarhum.
Ketika lebih dari satu jam Rania mengetuk pintu pagar, pintu itu tak kunjung terbuka. Rania puluhan kali menelpon juga tidak ada jawaban hingga kemudian hp di matikan.
Saat itu kaki Rania gemetar.
Kepalanya berdenyut-denyut.
Rania pingsan di depan pintu pagar.
Entah bagaimana kisah selanjutnya yang Rania tahu ia telah berada di ruang tamu tetangga depan rumah Leo.
"Mbak ini siapanya pak Leo ?"
"Saya istri ke duanya"
"Ya Allah, kasihannya mbak."
"Setahu saya pak Leo ada di rumah, tapi kok nggak di buka ya pintunya?" Dua wanita sesama tetangga Leo berbicara.
"Sudah biar saja mbak, mbak pulang saja, percayalah orang seperti pak Leo pasti akan dapat balasan."
Dengan rasa malu Rania mencoba berdiri menuju mobil yang terparkir. Satu hal yang Rania sesalkan hari itu adalah. Mengapa Leo mengiyakan pesan di whasApp nya, pesan yang berisi pemberitahuan bahwa Rania akan datang.
Mestinya Leo berkata 'jangan' andai ia tidak berkenan di temui. Tapi Leo menuliskan kata IYA, apa ini bagian dari rencananya ?
Begitu fikir Rania saat itu.
Hingga Rania hendak beranjak pergi dengan mobil merah yang masih kredit, Rania masih mendengar ibu-ibu bersuara berisik. Dia yakin, ibu-ibu itu sedang bergunjing.
"Ach, andai Leo sedikit bersikap ksatria, pasti masalahnya tidak akan seperti ini."
Kejadian itu, kejadian lima tahun yang lalu.
Hari ini Leo masih berdiri tegak.
Rania tersenyum.
Cintanya memang telah terpasung namun ia bahagia karena merasa menang.
"Bu, itu pak dosennya nggak di buka kan pintu ?'
"Nggak usah bi, biar saja."
'Dosen itu suami ku, bi.' jawab Rania dari dalam hatinya. Ia ingin sekali mengakui status itu tapi hatinya terlalu perih. Ia merasakan ketidaknyamanan.
Rania rebah dalam gelisah dan keputusasaan yang melimpah. Ia masih ingat pesan guru ngajinya.
"Secara hukum dia suami mu meskipun kalian pisah selama bertahun-tahun dan tidak ada nafkah lahir batin.
Kalian masih suami istri. Karena yang berhak mengucapkan talak itu suami. Tidak ada hukum agama yang menerangkan begitu pernikahan dibuat, ada permasalah kemudian lari lalu tidak bertemu kemudian tidak ada nafkah lahir batin lantas boleh jatuh talak begitu ?
Nggak ada ajaran yang mengajarkan demikian.
Secara hukum agama kalian masih suami istri. Urusan kamu yang lari itu dosa mu dengan Tuhan. Urusan dia tidak menafkahi itu juga urusan ke dholiman nya terhadap Tuhan. Nanti Tuhan yang akan menghukum. Tidak lantas jatuh talak begitu saja. Jangan mempermainkan hukum Tuhan terutama tentang perkawinan. Dosa."
"Jangan membuat hukum tanpa dasar yang jelas, nanti malah runyam. Urusan kalian harus dituntaskan. Harus."
Kalimat itu menggema di setiap sudut rumah rania. Rania merasa sangat bodoh.
Ia tahu ia sedang berurusan dengan dosa terhadap penciptanya. Tetapi ia tidak punya cara lagi. Setan dalam hatinya terus saja berupaya agar mereka terpisah, agar api dendam itu dapat terus hidup, agar Rania bisa membalas.
Rania membuka korden jendela kaca kamarnya. Tubuh Leo jelas mematung disana. Lampu mobilnya menyala.
Rania mengarahkan pandang matanya pada jam tangan rolex original yang melingkar di pergelangannya.
"Belum satu jam Leo, bersabarlah."
"Kamu juga belum pingsan, tenang saja. Rasa sakitnya belum sepadan." Rania berbicara lirih. Nyaris tanpa suara. Sambil matanya masih terus memperhatikan gerak gerik Leo dari dalam kamarnya.
Sebenarnya muncul iba dalam hatinya, tapi Demi Tuhan, rasa sakitnya tidak mengijinkan dirinya berbaik-baik pada Leo. Ia terlalu menempatkan Leo pada target operasi pembalasan dendamnya. meski sebenarnya Leo adalah suaminya. Suami yang harusnya di hormati, di bikinkan teh dengan senyum manis, bukan dibiarkan mematung di depan pintu pagar.
Rania menghela nafas panjang.
Dini hari, Rania terbangun dari tidurnya, ia menyambar ponsel yang tergeletak di atas pembaringan dekat dengan bantal tempat ia tidur.
Banyak pesan bergelantungan di sana, ia membuka dan membacanya satu persatu. Pesan terbanyak adalah pesan yang di tulis oleh Leo.
Rania membetulkan letak duduknya, sesaat sebelum ia melihat tulisan "online" di whatsApp Leo.
Rania mengusap mata dengan jemarinya.
Sedikit menggerakkan tubuhnya, kemudian menggerakkan kepalanya.
"Maaf, pas maghrib tadi aku ketiduran, aku sakit habis minum obat langsung tidur."
"Maaf ya," Rania menulis pesan singkat itu dan mengirimkannya pada Leo. Sedetik kemudian Leo telah selesai membaca, nampak ia sedang 'mengetik'.
"Keadaan bunda sekarang bagaimana ?" tanya Leo.
"Masih lemes, tapi ga pa pa kok." Rania mencoba berpura-pura.
"Serius bunda ga pa pa."
"Iya"
"Kalau bunda kenapa-kenapa, bilang ya. Nanti ayah bawa bunda ke rumah sakit."
"Iya"
Leo sama sekali tidak menyentil tentang lelah yang ia lalui saat menunggu tadi. Leo sama sekali tidak protes di perlakukan begitu rupa.
Apa mungkin Leo sudah berubah? begitu tanya hati Rania.
Rania hampir saja terperdaya dengan kebaikan Leo beberapa minggu ini, jika bukan karena kekuatan ingin memberikan Leo pelajaran maka PASTI saat itu juga Rania akan menerima Leo.
Mungkin memang Leo menyesal dan ingin memperbaiki hubungannya dengan Rania, hanya sayangnya penyesalan Leo terlambat.
Cinta yang ditunjukkan saat seseorang hadir dengan keberhasilan nampak begitu konyol dan memuakkan, setidaknya itu yang ada dalam fikiran Rania.
Bagi Rania, cinta Leo saat ini seperti kain kafan. Putih namun mematikan.
Rania memandang Leo yang masih online.
Jika memang benar saat ini Leo mencintai Rania, ia pasti akan serta merta menelfon untuk memastikan Rania baik-baik saja. Bukan hanya menanyainya lewat pesan singkat.
Atau... karena Leo sedang berada di rumah hingga ia jadi tidak bisa menghubungi Rania.
Artinya, Leo masih takut pada istrinya yang berbibir lebar.
Ach, Rania mendadak geli.
Tapi, apapun kondisinya wanita itu beruntung, mendapatkan gelar istri sah, kehidupan yang layak, derajat yang tinggi, juga nama yang terlindungi ditambah juga menjadi wanita yang di takuti, setidaknya bagi Leo.
Saat ini banyak wanita ikhlas menjadi jin penjaga rumah yang ditakuti oleh suami meski tak menggunakan cinta. Cukup ditakuti saja, akan membuat rumah tangga langgeng dan baik-baik saja.
Rania sudah tidak perduli, seberapa banyak Leo akan menulis. Ia ingin tidur dan esok hari kembali menulis. Menulis sudah menjadi nafas baginya.
Semakin larut,
Ia melihat Leo datang, dengan kaos merah bertuliskan disney land. Leo yang telah banyak menjelajah dunia.
Leo datang dengan membawa sebiji mangga kesukaan Rania.
Leo mengupas perlahan-lahan mangga itu, kemudian memotongnya kerat demi kerat, menyuapkan potongannya pada Rania.
Rania tersenyum, menikmati tiap irisan dengan sepenuh hati.
"Damai sekali rasanya memiliki suami."
Kemudian Leo, menyelimutinya, membelai rambut Rania sebelum tidur. Ada dingin di ujung kening.
Rania terbangun, ia sangat terkejut. Mimpi itu utuh. Lengkap dan seperti nyata.
Apakah ini terjadi karena Rania kangen Leo?
Rania bangkit, mengemasi ranjangnya kemudian segera melaksanakan sholat subuh.
Dalam sholat, air matanya berlinang-linang. Ia merasakan sakit yang tidak pernah hilang.
Saat ia menganggukkan kepala dan berkata IYA ketika dipinang, ia berharap hidupnya jauh lebih baik.
Sebagai istri ke dua, mereka berfikir bahwa kenyamanan akan ia dapatkan. Faktanya mereka salah. Lahir dan batin istri ke dua merasakan sakit.
"Tuhan. aku tidak pernah berdoa apapun untuk membuat mereka hancur karena aku tahu, doa yang buruk akan kembali pada yang berdoa.
Aku hanya minta, tolong Tuhan, perbaiki aku, perbaiki dunia dan akhirat ku, perbaiki masa depanku. Hanya itu Tuhan. Tidak untuk yang lain."
Rania menyudahi sholatnya kemudian melipat mukena dan sajadahnya.
Rania kembali menulis.
Sebelum sarapan Rania melihat sebuah Avanza Veloz bersandar di halaman.
Rania tahu itu salah satu mobil Leo.
Ada apa dia datang pagi begini?
Rania membuka pintu rumah, melihat Leo mendekat. Diujung sana pembantu rumah tangganya sedang membasahi halaman dengan air kran.
"Ada apa pagi sekali ?"
"Aku hanya ingin tahu keadaan bunda."
"Keadaan apa?" Rania benar-benar tidak faham.
"Semalam bunda bilang, bunda sakit. Itu sebabnya ayah datang."
Mereka masih berbincang sambil berdiri di ujung pintu.
"Sakitnya tadi malam, datangnya sekarang."
"Iya bunda, bolehkan ayah bilang 'maaf' ?"
Wajah pak Leo nampak serius memohon maaf.
"Iya sudah di maafkan."
Hanya itu jawaban Rania,
"Bunda sudah sarapan ?"
"Baru saja mau sarapan."
"Bunda nggak ingin ngajak ayah sarapan ?"
Rania menelan ludah, dulu, lima tahun yang lalu. Mereka berdua adalah pasangan yang paling hobby sarapan bareng. Tempat nongkrongnya di warung soto depan R.S Ratu Zalecha. Atau di pertigaan arah alun-alun Martapura.
Luka dalam hati Rania terasa perih tersiram air garam. Kalimat Leo barusan ternyata sangat menyakitinya.
"Bunda," Leo menyadarkan Rania dari lamunan.
"Ayah boleh menemani bunda sarapan ?" Leo berbicara lagi.
"Maaf ayah, tapi bunda sedang tidak ingin di temani makan. Bolehkan aku bilang 'maaf' ?" Rania menirukan gaya Leo saat memohon maaf.
"Sekarang sebaiknya ayah pulang." Rania membuang pandang pada daun-daun yang telah basah.
Leo menunduk, kemudian melangkahkan kakinya, menjauh dari rumah Rania.
Rania menutup pintu rumahnya dengan cepat. Kemudian bersandar di dinding pintu itu sambil kembali menangis.
"Ayah, bolehkan bunda bilang 'maaf'?" Rania tergugu sambil menggigit bibirnya. Ia merasa hari ini sangat buruk.
Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Laparnya mendadak hilang.
Rania merasakan sakit yang teramat dalam.
Di luar udara demikian sejuk. Banjarmasin yang sedang musim penghujan menciptakan kesegaran tersendiri bagi penghuninya. Beberapa keluarga asik berlari-lari kecil menikmati sejuknya udara. Sedangkan Rania, masih duduk, diam dan menangis.
Rania benci keadaan ini. Sangat benci.