Setelah selesai mengikuti pelajaran PPKN yang diajarkan oleh Bu Mirna, aku langsung menuju ke kantin. Yah ... sebenarnya sih gak boleh melakukan hal itu, soalnya masih jam delapan pagi dan juga belum waktunya istirahat pertama. Akan tetapi, karena jam pelajaran pertama sampai ketiga dipegang oleh Bu Mirna, jadinya siswa bebas mau melakukan apapun. Dan jangan munafik dah kalian! Kalian pastinya bakalan begini juga kan? Ketika guru kalian tidak mengajar? Ngaku kalian pada?!
Sesampainya di kantin, aku melihat banyak sekali beberapa murid yang makan di dalam kantin. Entah mereka murid dari kelas mana saja, aku kurang tahu. Soalnya, aku belum kenalan sama mereka semua. Mereka dari murid kelas tiga atau murid kelas dua atau pun murid kelas satu.
Setelah mengamati beberapa murid yang makan di dalam kantin, aku pun langsung beranjak untuk membeli snack serta minuman, lalu menikmatinya di dalam kantin.
Saat aku sedang membeli snack serta minuman di kantin. Selang beberapa menit, aku dikejutkan dengan seseorang yang menepuk pundakku. Setelah aku lihat ke belakang, ternyata yang menepuk pundakku adalah Alvan.
"Yoo ... Wan, beli apaan kamu tuh?"
Setelah disapa oleh Alvan, lantas aku pun menyapa balik dia. "Oh ... Alvan! Ini nih, aku beli cireng, cimol sama es teh juga."
Melihat cireng dan cimol yang aku beli dari penjual di kantin, lantas Alvan pun menanyakan harga cireng serta cimol kepadaku. "Ohhhh ... berapa tuh harga cireng sama cimolnya, Wan?"
"Kalau cireng itu harganya 2000. Kalau cimolnya 3000, Van."
Alvan pun senang mendengar harga cireng serta cimol yang begitu murahnya. "Murah amat, cireng sama cimolnya."
Aku pun heran melihat ekspresi Alvan. Kenapa bisa sesenang itu melihat cireng dan cimolnya. Padahal kan cireng dan cimol di luar sekolah juga cukup lumayan murah. Jadinya agak aneh. Maksudku, memangnya ada kah orang di dunia ini yang terkagum dengan harga cireng dan juga cimol semurah itu? Padahal harganya standar loh ini, di kalangan umum.
Pada saat aku memikirkan tingkah laku Alvan yang terkesan "cukup norak" akan harga cireng dan juga cimol, tak sengaja aku melihat sesosok siswi cantik tepat berada di samping Alvan. Saking penasaran dengan siswi tersebut, aku langsung menanyakannya.
"BTW, itu siapa Van di samping kamu?"
"Oh ... ini. Ini Rusya. Teman SD-ku, Wan." Jawab Alvan sembari memperkenalkan Rusya.
Aku berucap dengan sedikit terkejut setelah mendengarnya. "Owalah gitu."
Usai mendengar dari Alvan bahwa siswi tersebut adalah teman SD-nya Alvan, lantas aku pun menyapanya. "Salam kenal ya, Rusya."
Melihat aku menyapa ke arahnya, ia pun menunjukkan raut wajah sinisnya kepadaku. "Ya, salam kenal."
"Uwaaaahh ... lihat muka sinisnya itu." Batinku, merasa takut dari tatapan sinis Rusya.
"BTW, mau makan bareng gak, Wan?" ajak Alvan secara tiba-tiba, membuyarkan Batinku.
Aku pun langsung menolak ajakan Alvan. "Hem ... gak deh, makasih, Van."
"Yaelah ... gapapa kali, santai aja kali, Wan. Kuylah!!" ucap Alvan seraya mengajakku kembali.
"Hem... gimana ya." Batinku yang memikirkan tawaran ajakan Alvan.
"Ayolah, Wan." Ajak Alvan kembali.
Dengan terpaksa, aku pun menerima ajakannya. "Ha-ah ... Ya udah, aku ikut deh."
"Oke deh," ucap Alvan dengan senang, setelah mengajakku untuk makan bareng.
Akhirnya secara terpaksa, aku memutuskan untuk makan bareng Alvan dan si sinis Rusya. Sebenarnya sih aku gak begitu suka makan bareng sama si Alvan. Soalnya, temannya Alvan ini yang terlihat sinis gitu. Jadinya, agak gak nyaman.
Setelah beberapa menit kami mencari tempat duduk kosong. Akhirnya, kami pun menemukan tempat duduk yang kami inginkan. Setelah kami menemukan tempat duduk, aku dan Alvan pun berbincang-bincang mengenai ibunya Alvan seraya memakan beberapa snack serta minuman yang kami beli. Sementara itu, Rusya sedang asyik bermain HP sendiri, seraya memakan snack-nya juga.
"BTW, kamu udah baikan sama ibumu, Van?" Tanyaku yang penasaran akan baikannya Alvan dengan Ibunya.
"Yah ... sudah sih. Cuman 'kan, masih gak enak gitu, Wan," balas Alvan dengan muka agak gak enakan dan merasa sedikit kesal dengan ibunya.
"Yah ... gak usah dipikirin, Van. Biarin aja napa. Ntar juga bakalan capek sendiri, ibumu itu." Ucapku yang menghibur Alvan.
"Hah ... kamu gak ngerti, Wan. Ibuku itu, tanpa rasa letih mengawasi aku sampe 24 jam full," ucap Alvan dengan perasaan lesu.
"Iya kah? Masa sih?" Ucapku yang tidak percaya dengan Alvan.
"Tuh liat aja, ke arah sana." Ucap Alvan sembari menunjuk ke arah tembok yang dimaksud.
Aku bertanya dengan bingung seraya menoleh ke arah yang ditunjuk Alvan. "Hah? Maksudnya?"
Dan benar saja. Ketika Alvan menunjuk ke arah tembok yang dia maksud. Aku melihat ada sesosok ibu paruh baya yang berdiri di balik tembok sambil mengintip kegiatan kita bertiga, dengan jarak kurang lebih sepuluh meter dari meja makan kita berada.
"Uwaaah ... merepotkan sekali ini emak-emak." Batinku sedikit jengkel melihat kelakuan ibunya Alvan.
Pada saat aku melihat sesosok ibu paruh baya yang mengintip ke arah kami. Tiba-tiba, Rusya pun berdiri dari tempat duduknya dan mengajak Alvan untuk balik kedalam kelas.
"Sudah waktunya kita balik ke kelas, Van."
"Eee ... kan masih jam istiraha-"
Ketika Alvan ingin melanjutkan perkataannya, tiba-tiba suara bel masuk kelas berbunyi.
TING –NONG-TING-NONG!!!
Mendengar suara bel masuk kelas berbunyi, Rusya pun mengajak Alvan kembali sembari menunjuk ke arah suara bel masuk kelas.
"Tuh, sudah waktunya, Van. Ayo Alvan, kita masuk!" ajak Rusya seraya tersenyum manis.
"Oh ... Ya udah deh, kalau gitu." Ucap Alvan mengiyakan dengan perasaan terpaksa.
Alvan pun mengajakku lagi untuk pergi ke dalam kelas, seraya membersihkan bungkus snack miliknya. "Ayo, Wan, kita masuk kelas."
"Oh iya ... ayo, Van!" ucapku sembari membersihkan bungkus snack-ku.
"Ayo...," ucap Alvan dengan perasaan kesal, karena berbunyinya bel masuk sekolah.
Usai makan di kantin dan membersihkan bungkus snack yang kami makan barusan. Kini, aku, Alvan dan Rusya langsung pergi menuju ke kelas.
Bagaimana dengan nasib ibunya Alvan yang berada di balik tembok? Sejujurnya aku tidak melihatnya lagi, pada saat kami membersihkan bungkus snack yang kami makan. Mungkin ibunya Alvan pergi, setelah kami mengetahui dirinya berada. Jadinya aku gak kepikiran lagi masalah itu. Dan lagian juga, kalau aku bertanya sama Alvan juga pastinya bakalan gak di jawab sama dia. Jadinya aku cuman diam dan berpura-pura masa bodo.
"Bukan masa bodo kali, emang lu pengecut." Nyeletuk Author kepada ku.
"Loh? Kok kamu bisa masuk ke dalam ceritaku sih Thor?" tanyaku yang heran kenapa bisa Author (sang penulis) bisa masuk kedalam alur cerita.
"Bisalah! soalnya gue kan author dari alur cerita lu Wan," ucap Author dengan bangganya.
"Kalau kamu Author, kan kamu bisa kasih tau kepada pembaca mengenai ibunya Alvan, bukan?" tanyaku kepada Author dengan kesal.
"Yah... serah gue lah. Dan itu rahasia gue. Dan lu sebagai pembaca naskah ikutin aja alur ceritanya." Ucap Author kepadaku.
"Hadeh.... dasar Author geblek!" ucapku yang kesal dengan Author.
"Iyaudah, tutup dulu gih sono!" suruh Author kepadaku.
"Iyaudah, kalau gitu. Kita tutup guys ya!" ucapku kepada pembaca.
To be continue