Chereads / Masa Mudaku Kisah Cintaku / Chapter 19 - MKC 19 Tak Berperasaan

Chapter 19 - MKC 19 Tak Berperasaan

"Perasaan gue yang ulang tahun kok gue juga yang repot?" erang gue tidak terima kalah suit dengan Ebi untuk menentukan siapa yang pantas mencuci semua peralatan kotor dan teronggok mengenaskan di dapur belakang rumah Jono.

"Biar sekali seumur hidup Nggi." elak Ebi langsung kabur ke lantai atas.

"Sini biar ibu Mar saja yang cuci mbak." usul ibu Mariyah, asisten rumah tangga Jono dengan senyum tulus yang ikhlas tanpa pamrih.

"Nggak bu. Ini sudah kesepakatan. Nanti bu Mar bagian ngecek kalo Anggi sudah selesai saja." tolak gue, walau berat hati gue melaksanakan aksi cuci mencuci tersebut. Tetapi ada harga diri yang akan terluka jika gue ingkar dan kabur dari tanggung jawab.

"Gue bantu Nggi." sela Jono yang tiba-tiba muncul.

"Bukanya lo ada urusan sama Ana?" tanya gue heran. Pasalnya dari tadi mereka berdua terlihat begitu serius membahas sesuatu di teras depan.

"Udahan tadi." jawab Jono singkat. Lalu, dalam diam sibuk mencuci di sebelah gue.

"Bukan soal gue kan?" tanya gue lagi merasa tidak enak sendiri karena Jono terdiam dengan pandangan mata yang aneh.

"Bukan Nggi. Ini soal basket. Biasa lah anak-anak." jelas Jono singkat. Hanya semakin membuat gue tidak enak hati secara tiba-tiba. Setahu gue tim basket sekolah merupakan tim paling solid.

"Syukurlah." desah gue pelan. Masih dengan perasaan tidak enak.

Satu hal yang membuat gue semakin tidak enak di pagi hari. Saat dimana gue harus berhati-hati ketika hendak memasuki kelas. Bukan apa-apa sebenarnya, hanya saja gue harus siaga satu ketika menghadapi Andi yang tiba-tiba berada di depan gue. Seperti sekarang.

"Pagi pacar...apa kabar?" kata-kata basi yang selalu Andi ucapkan di pagi hari berhasil merusak suasana hati gue saat itu juga.

"Kan udah berkali-kali gue perjelas kalo gue tidak ada hubungan apa pun dengan lo, Ndi." nada bicara gue tahan sewajar mungkin.

"Jangan begitu dong Nggi. Asal lo tau ya, cintaku tak berbatas waktu. Tiada lain selain dirimu." ucap Andi dengan nada sebuah lagu nostalgia super lawas.

"Gue nggak minta. Minggir." tepis gue melewati Andi.

"Nggi...tolong..." rengek Andi semakin menjadi. Raut wajah menghibanya kentara sekali.

"Apa?"

"Bisa kan gue mendapat kesempatan? Bisa kan gue berusaha lebih supaya hati lo terbuka?"

Gue menelengkan kepada mendengarkan ucapan Andi barusan, lebih tepat seperti sebuah dialog drama panggung. Tetapi, wajah menghiba itu seperti sungguhan meminta jawaban. Gue jadi tidak enak sendiri dan salah tingkah.

"Tidak bisa, Andi." jawab gue lirih. Berusaha memantapkan suara namun gagal.

Hening kelas selama beberapa detik sampai Budi datang.

"Nggi, kayaknya Andi lagi PMS ya? Mukanya gitu banget." seloroh Budi melewati kami.

Dalam hati gue berteriak dan bertanya-tanya, sejak kapan makhluk berbatang mengalami PMS?

Hari gue sudah tidak baik sejak pagi. Dimana mata memandang disitu ada Andi yang mengalami gejala wabah PMS generasi baru juga ada. Ulangan dadakan. Rapat persiapan lomba juga ikut dadakan.

Tidak sampai itu saja. Sekarang, saat tiba waktunya untuk gue pulang merebahkan diri di kamar gue...dengan misterius ban sepeda depan sekaligus belakang gue hilang. Menyisakan pelek besi yang karatan sendirian tanpa pasangannya. Ulah siapa lagi ini?

Otomatis gue marah, kesal, menggerutu dalam hati tetapi mau gue salurkan kepada siapa? Jangankan batang hidung pelaku, nama dan alamatnya saja gue tidak tahu. Dia atau apapun itu berhasil berbuat jahat dengan sangat rapih, terorganisir dan pasti sangat sadis. Dosa apa gue sampai harus diperlakukan seperti ini?

Ketimbang gue naik pitam nggak jelas mending gue pulang, jalan kaki lima belas menitan untuk sampai ke rumah. Dari pada gue dengan bego-nya mencari-cari ban sepeda yang entah disembunyikan dimana itu lebih baik gue simpan tenaga untuk pulang.

Soal bagaimana alasan yang akan gue berikan kepada ayah dan ibu bisa diurus nanti. Atau gue bisa memakai tabungan untuk beli ban sepeda baru dari pada mengarang bebas alasan palsu kepada orang tua.

"Anggi..." ada yang teriak dari arah parkiran motor. Edi yang tiada angin tiada hujan mendatangi gue duluan, pasti ada maunya.

"Pakai B ajah kali kalo teriak." sungut gue tidak nyaman. Anak-anak di parkiran jadi pada menoleh kearah gue kan?

"Lo mau job buat nambah uang jajan?" cengiran dari wajah Edi masih berseri bak mentari.

"Nggak salah lo? Biasa juga ke Budi atau anak PS." alis gue naik keatas, heran saja seorang Edi menawarkan job begitu.

"Hmm...." bukannya menjawab, Edi hanya diam melayangkan pandang ke penjuru parkiran hingga akhirnya tertuju kearah sepeda gue yang teronggok mengenaskan.

"Kelamaan. Gue mau pulang nih." tidak kunjung mendapat jawaban gue melangkah pergi.

"Nggi, ban sepeda lo kemana?"

"Tau deh. Ada yang butuh banget kali, sampai punya gue diambil." sahut gue ogah-ogahan. Tetapi, dada gue bergemuruh menahan amarah yang tersulut.

"Bantu gue ya. Nanti gue belikan ban sepeda baru yang bagusan. Oke?" tawar Edi berhasil menghentikan langkah kaki gue.

"Serius?"

"Apa tampang gue mirip tukang bohong?"

"Oke deal. Nasi padang dulu tapi." sahut gue saat mendengar perut berbunyi tanda minta diisi.

"Siap. Yuk, cepetan." ajak Edi menuju rumah makan padang depan sekolah.

Jika menyangkut masalah perut pasti mau tidak mau akan membuat seseorang menurunkan gengsinya demi menenangkan lambung yang sangat perlu diisi. Begitulah gue, hanya dengan sepiring nasi padang ditambah es jeruk bersedia berdiri dibawah matahari yang menyengat membara menjaga kamera ditengah lapangan. Sedangkan si empunya, Edi berkeliaran kesana kemari tiada henti entah untuk apa.

Disamping gue ada Ebi dengan buku cacatannya sibuk menulis suasana pertunjukan Dolalak bak wartawan freelance. Sedangkan Ana dan Jono entah dimana rimbanya. Mungkin masih tertahan di sekolah karena basket atau ikut berjoget ria diantara kerumunan yang berisi lautan mas-mas dan bapak-bapak.

Edi menjebak gue dengan tidak memberitahu diawal kalau tugas gue adalah menjaga kamera tetap berdiri tegak ditengah acara lomba pertunjukan Dolalak tingkat kecamatan perbatasan Kebumen dengan Purworejo. Sedangkan kondisi medan perang sangat tidak stabil akibat banyaknya penonton yang turun bergoyang.

Suasana menurun sepi ketika tiba giliran grup penari Dolalak laki-laki. Tidak ada satu pun yang ikut bergoyang seiring musik mengalun selama pertunjukan berlangsung.

Tetapi akan berbeda keadaannya saat tiba waktunya grup penari perempuan yang tampil. Dengan pakaian serba hitam, tidak ketinggalan celana pendek menampilkan paha putih mulus dari para penari langsung memancing sorakan penonton. Membuat seisi lapangan bergolak. 

Ingin rasanya gue berhenti. Kabur meninggalkan hinggar bingar suasana yang semakin panas. Tapi, ada pepatah mengatakan kalau janji adalah hutang, dan gue tidak bisa serta merta meninggalkan pekerjaan yang sudah diserahkan kepada gue walaupun dengan sangat terpaksa gue lakukan.

-TBC-

cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705

Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?

Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.

Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/