Chereads / Masa Mudaku Kisah Cintaku / Chapter 20 - MKC 20 Sedih

Chapter 20 - MKC 20 Sedih

Ini adalah hutang gue yang musti dibayar. Apalagi setelah tadi dengan lahapnya gue menghabiskan sepiring nasi padang. Mana gue tidak ada uang untuk sekedar menggantinya jika gue nekad saja pergi.

Tapi gue juga sudah tidak tahan dengan suasana yang menurut gue tidak lagi kondusif.

"Edi, kapan selesainya ini acara?" teriak gue melihat Edi nongol diantara penonton.

"Sekitar 2 jam." sahut Edi singkat lalu kabur entah kemana ditelan lautan manusia.

Sementara Ebi disamping gue tetap berdiri diposisinya sibuk menulis tanpa henti.

Dalam hati gue berdoa supaya bisa dilepaskan dari keadaan ini segera. Dan berhasil. Namun, Tuhan menjawab dengan cara yang sangat tidak menyenangkan.

Dari arah samping kanan ada yang menepuk punggung gue, otomatis gue menoleh karena reflek. Gue terkejut. Ayah gue  berdiri tepat disamping gue dengan tatapan seolah tidak percaya anak gadisnya terperosok kedalam jurang kemaksiatan.

"Anggi...pulang sekarang juga." desis ayah dengan suara yang sangat jelas gue dengar.

Tanpa lama gue pamit kepada Ebi kalau gue ketahuan ayah dan akan diseret pulang dengan paksa kalau tidak menurut. Dari anggukan Ebi sebagai jawaban dan tanda mengerti sekaligus prihatin, gue melangkah pergi mengikuti ayah menjauhi lapangan. Sebelum benar-benar pergi, gue bisa melihat Ebi bergeser mendekat ke kamera menggantikan posisi gue sebelumnya.

Dalam perjalanan pulang ayah tidak berkata apapun lagi. Kata terakhir ialah menyuruh gue naik keatas motor Megapro lawasnya. Melaju di jalanan sore yang cukup ramai dengan kecepatan sedang. Itulah ayah gue, sekalipun sedang marah tidak serta merta terbawa emosi seperti mengemudikan motor dengan kecepatan pembalap seperti yang akan dilakukan anak kelas. Mungkin itulah yang membedakan antara remaja dengan orang dewasa.

Gue biasanya bisa menyusun kalimat alasan saat tertuduh bersalah tetapi kali ini, gue sudah kepergok tidak bisa berkutik. Apa pun pembelaan gue sepertinya akan menguap begitu saja, tidak mempan sebagai senjata membela diri.

"Anggi..." suara ayah memanggil sesaat setelah gue selesai mandi.

"Buat yang tadi Anggi minta maaf." ucap gue binggung sendiri.

"Minta maaf buat apa?"

"Udah main kejauhan."

"Kan sudah pernah dibilang, kalau mau main sepulang sekolah kasih kabar. SMS dulu kan bisa. Supaya tidak membuat khawatir orang tua, anaknya pulang sampai sore. Bisa kan?" suara ayah yang berat dan tegas membuat nyali gue menciut.

Rangkaian kata-kata dibenak yang barusan gue susun langsung buyar begitu saja.

"Bisa Yah. Lain kali Anggi nggak akan ulangi. Janji."

"Tidak usah pakai janji-janji segala kalau yang tadi saja tidak bisa ditepati." tambah ayah masih dengan nada bicara yang membuat nyali gue semakin menciut.

"Baik Yah." oke gue menyerah. Jika sudah berhadapan dengan ayah pasti gue kalah secara otomatis.

"Memang harus begitu."

"Iya Yah."

"Tapi kok mainnya jauh banget Nggi?" tanya ayah penuh selidik.

"Anggi bukannya main Yah tapi bantu teman membuat konten yutub. Lumayan Yah. Anggi bisa dapat uang jajan tambahan dari itu karena channel yutub dia bisa menghasilkan." cerita gue.

Akhirnya ada celah buat gue cerita yang sebenarnya.

"Iya. Tapi kok isi kontennya begitu?"

"Itu Yah. Edi, teman Anggi itu sedang meliput kebudayaan lokal dan kebetulan kan ada lomba Dolalak. Lagian juga ada penari laki-lakinya jadi bisa dijadikan bahan perbandingan. Pokoknya begitu deh Yah." jelas gue lagi.

"Tugas sekolah?"

"Bukan sih."

"Cuman buat senang-senang?"

"Bukan juga Yah. Ayah tahu kan kalau jaman sekarang bisa cari uang lewat internet. Bisa dengan cara membuat konten yutup seperti teman Anggi lakukan, jualan di online shop dan lain-lain loh Yah." cerita gue bersemangat.

"Ayah tahu Nggi. Cuman kenapa kamu yang diminta tolong? Bukannya banyak anak laki-laki di kelas?"

"Itu karena ban sepeda Anggi bocor Yah. Perlu diganti. Anggi nggak mau ayah repot jadi terpaksa terima job itu." aku gue keceplosan. Sial. Mulut gue kenapa harus selalu bicara jujur sih?

"Ya nggak lah. Anggi kan anak ayah. Sudah menjadi kewajiban orang tua mencukupi kebutuhan anaknya."

"Dua-duanya loh Yah. Ban dalam juga ban luar sudah rusak."

"Kok bisa? Sepedanya Anggi bawa kemana sampai rusak barengan gitu?"

"Biasa ajah kok Yah." detik berikutnya gue menyesal.

Bukannya percaya begitu saja dengan apa yang gue ceritakan, ayah membawa gue serta ke sekolah untuk melihat sepeda gue.

Kami sampai di parkiran menjelang maghrib dan sekolah masih cukup ramai karena anak pencak silat masih latihan, juga anak Rohis yang sekaligus tinggal di asrama masih ada kegiatan persiapan pengajian bulanan.

Walau yayasan sekolah bukan dalam naungan pesantren, kegiatan Rohis sekolah bisa dikatakan sangat aktif. Selain dukungan guru-guru juga ada support dari warga sekitar sekolah yang sangat antusias anak-anaknya ikut serta menjadi panitia bergilir acara pengajian bulanan.

Gue sudah menduga kalau ayah tidak mungkin percaya kalau ban sepeda yang bocor sudah gue buang. Ayah masih kokoh berdiri dihadapan gue menunggu jawaban.

"Yah...udah ya. Nanti Anggi ganti pakai uang tabungan Anggi ajah." kata gue berusaha mengelak jujur.

"Anggi anak ayah kan?" mendengar kalimat itu membuat jantung gue mencelos. Menusuk.

"Sebenarnya ban sepedanya hilang." akhirnya mulut gue berkhianat juga.

"Gimana cerita bisa hilang?"

"Anggi jujur nggak tahu Yah. Tadi pas sampai parkiran sudah begini. Anggi nggak tahu siapa yang melakukan."

"Apa kamu pernah buat salah sama anak lain?"

"Nggak Yah. Anggi bukan anak sebandel itu." bela gue tidak terima dituduh orang tua sendiri.

"Terus?"

"Kalau Anggi tahu siapa orangnya dan apa salah Anggi pasti sudah Anggi cerita ke ayah." ucap gue menundukan kepala. Tidak tahu lagi harus apa. Gue merasa seperti maling yang ketangkap basah.

"Ya sudah. Mending kita bawa pulang sepedanya. Biar nanti ayah betulin." ajak ayah sambil membawa sepeda gue keluar sekolah. Pulang.

Boleh dibilang gue itu anak yang masih ingin dimanja, dibela, disayang, diperlakukan sebaik-baik perlakuan orang tua penyayang kepada anaknnya sendiri. Tetapi, untuk kejadian hari ini gue merasa tidak rela.

Menyaksikan dengan mata kepala gue sendiri ayah membawa pulang sepeda gue yang mengenaskan lalu meletakkannya di halaman belakang rumah sebagai tanda tidak bisa dipakai sampai diperbaiki. Air mata gue keluar dengan sendirinya.

"Anggi minta maaf. Tidak bisa menjaga sepeda yang Ayah belikan." derai gue tanpa bisa dibendung.

"Sudah, sudah. Mulai besok, berangkat sekolah ayah antar." tutup ayah mengakhiri hari gue.

Gue sedih karena tahu bagaimana ayah saat mencari sepeda buat gue. Walaupun bisa membeli sepeda baru, ayah bersikeras ingin mengajari gue cara menghargai pemberian orang tua sewujud sepeda bekas yang tidak kalah bagusnya kalau beli baru, hanya pelek yang karatan saja titik lemahnya. Selebihnya bagus dan enak dipakai.

-TBC-

cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705

Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?

Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.

Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/