Selain itu juga, berangkat ke sekolah terlalu pagi hanya membuat gue mengantuk di jam pelajaran karena kurang olahraga. Bagi gue naik sepeda adalah cabang olahraga pagi yang paling baik. Dengan bersepeda gue jadi bisa menyerap pelajaran lebih baik, konsentrasi gue pun ikut meningkat dan membuat tidur gue di jam istirahat pertama berkualitas.
Gue sudah ada di depan rumah Budi saat mendapati anak itu masih mengenakan kaos oblong dan celana kolor lusuh serta handuk yang menyampir di pundak. Budi tengah bersiul pada sepasang burung lovebird dalam sangkar yang digantung di pohon jambu.
"Lo belum mandi jam segini?" tanya gue sambil menuntun sepeda masuk pekarangan lalu menaruhnya di garasi samping yang berisi empat sepeda gunung dan satu motor matic.
"Adik gue udah sibuk nggak jelas dari pagi sampai menyabotase kamar mandi." jawab Budi masih memandang burung.
"Tapi udah jam berapa ini?"
"Gue tau kok." desah Budi kemudian berangsur masuk.
Gue heran, gue juga cewek tapi nggak pernah tuh mandi lama-lama seperti temannya Upin Ipin. Susanti adalah adik cewek satu-satunya Budi.
Tidak lama setelah gue meletakkan sepeda Budi berteriak dari dalam rumah meminta ditunggu. Dan lima menit setelahnya Budi sudah berseragam lengkap.
"Pasti lo nggak mandi dan cuma gosok gigi?" decak gue salut dengan penampilan Budi yang sama saja. Mandi atau tidak mandi Budi tetap saja hitam keriting.
"Udah deh, untung juga sikat gigi gue masih dibiarkan utuh sama Santi. Itu adik apa bukan sih, bawaannya nggak sopan mulu sama yang lebih tua?" oceh Budi.
"Mana gue tau. Lo sebagai kakaknya ajah binggung." imbuh gue melangkah masuk kelas.
Belum sampai pantat gue menyentuh permukaan kursi datang Andi menarik tangan gue, membuat gue kembali berdiri.
"Anggi, jadi lo lebih memilih jadian sama Budi ketimbang gue?" sungut Andi sewot seperti cewek yang sedang PMS.
"Hah?" sontak gue kaget. Bagaimana bisa Andi menafsirkan hal teraneh itu. "Maksud lo apa Andi?"
"Lo nyamperin Budi ke rumah terus berangkat bareng, dan lo ketawa tanpa beban sepanjang koridor pas jalan bareng." tuduh Andi semakin tidak masuk akal.
"Gue cuma nitip sepeda demi kesehatan jiwa raga gue. Dan jika itu anggapan lo tentang gue terserah...gue nggak ada wajibnya buat jelasin apa pun." kata gue lalu duduk. Menaruh tas kedalam laci lalu pergi. Cuci muka supaya seger. Ada pengganggu yang sudah membuat bete pagi gue yang cerah.
Itu adalah aksi terakhir Andi dalam rangka mengganggu gue dengan tingkah absud-nya dia. Gue lega, tentu saja. Harapan terbesar dalam lubuk hati gue yang terdalam. Berurusan dengan sebiji dari tujuh belas buaya darat sungguh melelahkan, kenana juga harus gue tambah dengan Budi? Pasti otak anak itu terbentur sesuatu di jalan tadi.
Ke-bete-an gue semakin bertambah saat gue tahu latihan badminton diliburkan hari ini dengan alasan ada rapat guru yang juga berakibat sekolah pulang cepat.
"Anggi...main yuk." seru Stefie yang sudah gue duga kalau dia ditinggal Duo R. Gue hanya ban serep.
"Ogah. Gue mau bobo cantik sendirian." sungut gue menghindar dari pelukan Stefie.
"Nggi...cepet ke rumah gue. Penting." perintah Ana tanpa bisa dibantah. Kalau Ana sudah memakai kata 'penting' itu berarti ada urusan dengan ibunya, karena prinsip gue harus menurut apa kata ibu jadi gue tidak bisa berkutik. Stefie yang ada disamping gue langsung berbinar.
"Gue ikut ya?" tawar Stefie dengan trik memasang senyum selebar yang dia bisa.
"Ann, ada yang mau ikut." seru gue berbalas, memandang Stefie sebelum berkata "...lo berat. Ikut Ana gih." usir gue sambil mendorong Stefie kearah Ana. "Gue nitip Stefie ya Ann." kata gue lagi sebelum Ana keluar kelas yang langsung diikuti Stefie dibelakang.
"Mau ikut gue, Nggi?"
"Makasih Jon. Naik sepeda aja. Gue udah lama nggak bersepeda." tolak gue. Jelas terlihat muka Jono yang kecewa. "Maaf ya Jon. Gue nggak suka naik motor sport. Jok belakang nggak enak." jelas gue sebelum Jono bertanya kenapa.
Dan setelah gue menjelaskan alasan gue, dia menjadi paham lalu pergi tanpa ada kerut kecewa yang membuat gue frustasi sendiri.
Dulu, pas awal-awal sekolah gue pernah bonceng motor sport Jono dan gue duduk dibelakang tuh. Selain harus mengambil posisi mengangkang dengan gue yang memakai rok pendek juga saat motor melaju mengharuskan banget penumpangnya berpegangan ke depan. Mirip-mirip adegan orang yang bonceng motor pacarnya.
Kejadian itu membuat gue trauma dan tidak lagi mau naik motor sport seumur hidup. Dari segi manapun, sepeda yang dibelikan ayah adalah yang terbaik.
Baru saja sampai depan pintu rumah Ana yang terbuka, ibu Ana berteriak histeris lalu menghampiri gue. Memeluk erat gue seolah sudah lama kami tidak bertemu.
"Anggi kemana saja? Kok sekarang jarang ke rumah..." decit ibu Ana setelah melerai pelukannya.
"Iya tante. Kemarin ada lomba badminton. Latihan terus tiap hari. Maaf ya tante." ucap gue setelah berhasil duduk disalah satu kursi kayu
"Oh iya ya. Ana juga sibuk basket. Tante jadi kesepian nih."
"Makanya sekarang Anggi datang, tante sehat-sehat kan?" ucap gue berbasa basi.
"Alhamdulillah sehat. Anggi sini deh, kemarin itu tante habis beli baju buat Ana tapi anaknya nggak mau pakai. Buat Anggi ajah, mau ya?" kata ibu Ana setengah memaksa.
"Tapi tante... itukan buat Ana. Bisa mungkin besok-besok Ana mau pakai." elak gue. Tidak lupa menyunggingkan senyum terbaik.
Bukan ibu Ana namanya kalau apa yang jadi mau tidak bisa direalisasikan. Ibu Ana menarik gue masuk kedalam kamar, memperlihatkan baju super cantir yang tidak hanya satu jumlahnya. Kalau begini namanya sih bukan kebetulan.
Sudah lama gue tahu dari cerita Ana sendiri kalau ibunya teramat sangat menginginkan anak perempuan satu-satunya menjadi anak perempuan pada umumnya, feminim. Ana hanya mempunyai setelan baju dengan rok itulah seragam sekolah, selebihnya isi lemari Ana penuh dengan celana dan kaos.
Jika saat ini gue dipaksa untuk mencoba semua baju-baju tersebut lalu mengabadikannya dengan ponsel beliau. Juga akan percum seandainya gue menolak, kelakuan yang bahkan ibu kandung gue sendiri tidak pernah lakukan. Yang dilakukan beliau hanya sebagai rasa pelampiasan, gue juga lah korbannya.
"Jangan lupa nanti dibawa pulang ya Nggi. Tante mau ke salon dulu." ujar ibu Ana setelah memasukkan baju-baju itu kedalam dua paper bag besar.
"Iya deh tante. Terima kasih banyak, tante." jawab gue sebelum kabur ke kamar Ana yang sudah kosong, padahal belum lima menit gue mendengar tawa riang Stefie dari sini.
Pasti mereka juga kabur. Kemana lagi kalau bukan ke rumah Jono lewat pintu samping.
-TBC-
cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705
Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?
Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.
Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/