Suasana pertandingan di kabupaten bisa dibilang lebih santai dari pada kemarin namun tetap serius. Yang menjadi lawan kami pun tidak bisa dianggap enteng, mereka jago di pos masing-masing dan tidak mudah menemukan titik lemah mereka hingga akhirnya Amad berhasil membobolnya. Satu lagi keunggulan dia ketimbang gue.
Amad pintar membaca situasi pertandingan yang mati-matian gue pelajari dari dulu belum juga bisa. Untuk Amad hal itu seakan anugerah dari lahir yang tidak setiap orang punya. Amad seharusnya bisa menjadi pemain profesional.
"Amad, lo bisa keren banget mainnya makan apa sih?" ujar gue setengah bercanda di sela-sela waktu istrahat.
"Biasa aja Nggi. Sama kayak lo, nasi sayur protein gitu-gitu." jawab Amad dengan mimik serius.
"Kayak gini?" lanjut gue sambil menunjukkan isi kotak bekal dari Ana, spageti buatan Jono.
"Itu sih karbo doang Nggi. Apa enaknya?" decit Amad tidak tertarik dengan isi kotak bekalnya.
"Lo nggak suka beginian? Padahal nikmat dunia loh." cibir gue tidak percaya.
"Gue aliran pemakan nasi, bukan pasta."
"Oh...pantesan ya, lo hebat gitu. Kenapa nggak main di tunggal putra?" pancing gue penasaran.
"Gue tahu diri Nggi. Gue cuma jago bertahan, kalo harus main menyerang juga gue belum bisa. Beda dengan lo yang bisa apa saja." aku Amad membuat gue kaget. Dia mengaku begitu dengan kerendahan? Salut gue. Padahal bagusan dia dari pada gue kemana-mana.
"Jangan merendah gitu dong, Amad. Gue jadi berasa kecil."
"Beneran Nggi. Gue nggak se-jago yang lo bayangkan." ungkap Amad serius.
"Iya deh."
Oke, pada akhirnya Amad akan merendah dan mengelak. Amad memang seperti itu, tidak pernah sombong akan kemampuannya. Dan itu membuat gue sadar, setiap manusia diciptakan satu paket dengan kelebihan serta kekurangannya.
Bersikap sombong untuk segala kelebihan seolah tidak mempunyai kekurangannya, atau sengaja menutupi kekurangan bahkan mengelaknya tidak akan membawa manusia itu kemana-mana. Mereka hanya akan berputar-putar di dunia yang mereka ciptakan sendiri itu.
Seperti halnya Amad dan gue masih harus bertanding di babak semi final dengan tenaga yang tersisa. Berhubung pertandingan kali ini hanya diadakan satu hari hingga muncullah sang pemenang, para juara dari tiap-tiap nomor lomba. Maka dibutuhkan stamina yang prima dan daya tahan tubuh yang bagus.
Gue hampir saja tumbang kalau tidak ada Amad yang suportif. Jujur gue sudah tidak kuat menghadapi pertandingan maraton seperti ini. Pun gue tidak percaya diri saat tahu kalau tiga puluh menit lagi kami akan bertanding di final. Rasanya ingin pingsan ditempat.
"Lo masih kuat Nggi?" tanya Amad khawatir saat gue rebahan di pojokan.
"Iya bisa. Punggung gue, lurusin dulu ya." ungkap gue sambil memejamkan mata. "Mata gue juga capek liatin kok melayang-layang terus." imbuh gue, takut dikira gue tidur.
"Waktu lo cuma sepuluh menit."
"Makasih ya Amad. Karena ada lo, gue maksudnya kita bisa di final ini. Asal lo tau, dulu gue cuman paling jauh jadi juara tiga di kecamatan." lanjut gue. Gue takut ketiduran kalau diam saja.
"Sama-sama Nggi. Lo juga hebat kok. Apalagi pas tadi smes lompat." ucap Amad, suaranya agak jauhan.
"Itu aslinya gue udah capek banget loh. Juga ngantuk, makanya gue nekat improvisasi kayak gitu." jujur gue sendiri tidak yakin kalau smes yang gue buat membuat pihak lawan kecut.
"Tapi bisa akurat begitu ya?"
"Kebetulan."
"Itu namanya bakat, Nggi."
"Gue nggak percaya punya bakat disini. Badminton bagi gue merupakan cara gue untuk..." gue binggung sendiri.
Sudah lama gue melupakan alasan gue main badminton hingga sekarang. Yang pasti, sejak itu gue merasa nyaman dengan hidup gue yang selalu pindah-pindah. Asal bisa main badminton, dimana pun gue berada tidak menjadi soal.
"Nggak usah diterusin Nggi. Gue paham maksud lo. Mungkin awalnya begitu tapi seiring waktu berjalan dan lo sudah begitu nyaman dengan itu, lo jadi tidak bisa membedakan antara passion atau sebatas ajang pelampiasan." tutur Amad yang membuat gue langsung memuka mata.
"Gimana lo bisa tau?" seru gue hampir teriak. Apa si Amad ini bisa membaca pikiran gue?
"Tiap anak punya hal itu Nggi. Gue juga punya, walau bukan di badminton. Tapi asal lo tau saja, selama itu masih di arah yang positif jangan berhenti."
"Gue juga nggak punya ide untuk berhenti." imbuh gue.
Menit-menit selanjutnya kami hanya diam. Saat pak Pujo datang dan memberi aneka instruksi pun kami hanya diam mendengarkan.
Gue sudah kehabisan kata lagi sebagai bahan obrolan, pun Amad juga sepertinya tidak berinisiatif untuk melanjutkan pembicaraan. Kami harus simpan tenaga untuk final.
"Nggi, strategi dan lainnya sama." hanya itu kata Amad sebelum kami memasuki babak final. Dan gue hanya mengangguk setuju.
Awal pertandingan final berjalan biasa saja. Seolah masing-masing tim sedang membaca gerakan lawan. Hingga berlanjut menjadi monoton. Membuat gue mengantuk lagi.
Kalau sesuai instruksi pak Pujo maka kami harus menunggu lawan menyerang terlebih dulu, namun lama ditunggu tidak ada tanda pergerakannya. Apa mereka juga menunggu kami serang? Atau mereka sudah lelah menyerah?
Jujur gue bosan kalau permaian hanya seperti tangkap menangkap kok, jadi gue memberi kode kearah Amad meminta ijin untuk menyerang dan langsung diiyakan. Biasanya Amad akan menahan gue atau menunda hingga lawan bergerak dahulu. Kali ini Amad mungkin juga bosan.
Jadi, tanpa ampun gue dengan tiba-tiba melakukan smes lompat membuat pihak lawan kaget. Otomatis membuat teriakan histeris di bangku penonton.
Suara penonton yang penuh semangat ikut membawa gue mendapatkan kekuatan juang. Inilah yang dinamakan pertandingan. Penuh riuh redam penonto yang gemas siapa yang akan jatuh lebih dulu.
Dengan kekuatan yang tersisa dan dukungan Amad di posisi belakang gue membawa tim mengakhiri pertandingan dengan skor yang boleh dibilang lumayan. Tetapi gue bahagia disini.
Serta beruntung mendapatkan partner yang mau mendukung segala kegilaan gue di pertandingan. Sesuatu yang tidak pernah gue dapatkan sebelumnya.
"Lo emang gila Nggi. Apa nggak capek loncat-loncat begitu?" tanya Amad saat menunggu panggilan untuk menerima piala juara satu.
"Asli capek baget lah. Mau gimana lagi, kalo main aman terus bisa-bisa gue yang tumbang saking ngantuknya." jawab gue jujur.
"Cuman karena lo ngantuk jadi nekat bikin aksi gila begitu?" ungkap Amad dengan menggelengkan kepala.
"Gue butuh suara-suara untuk membuat gue tetap sadar. Tapi seru kan tadi," gue tertawa tanpa suara sendirian "apalagi saat penonton teriak-teriak. Berasa nonton pertandingan sungguhan, Amad." imbuh gue setelah berhenti tertawa.
"Kepala lo musti diistihatkan kayaknya deh." ujar Amad masih dengan geleng-geleng kepala.
Benar saja kata Amad, dalam perjalanan pulang gue tertidur sambil memeluk kotak makan di jok belakang.
-TBC-
cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705
Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?
Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.
Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/