...
Libur dua hari istirahat main badminton setelah lomba kemarin bagi gue seperti mendapat kejutan. Gue akhirnya bisa melemaskan otot dan persendian gue yang remuk redam akibat lomba kemarin. Dan tidur seharian di kamar gue sendiri adalah puncaknya.
Namun, rencana gue untuk tidur cantik sampai sore dengan mimpi indah di taman pelangi pupus sudah. Annalia, tanpa sebab tanpa kabar sudah berdiri di pinggir tempat tidur dengan berkacak pinggang bak ibu tiri galak.
"Ayo bangun dasar cewek jorok. Bangun, cuci muka, gosok gigi terus ganti baju." perintah Ana tanpa minta ditolak.
"Kemana sih panas-panas gini?" omel gue dengan menyipitkan mata karena silau matahari dari jendela yang dibuka paksa oleh ibu tiri.
"Udah ikut ajah."
"Nggak mau. Kalo disuruh terjun ke sumur gue nggak mau."
"Pikiran lo ya. Buruk amat sih. Ke Laguna, yuk cepet."
Laguna, pantai Lembupurwo, cukup tiga puluh menit saja dari Prembun dengan kecepatan motor matic punya Annalia. Mungkin bisa satu jam kalau gue harus ngothel sepeda.
"Kok cuma kesini? Deket ajah." protes gue saat sudah sampai di parkiran.
"Jadi mau lo ke Menganti atau Logending? Biar bisa ngiler di jaket baru gue?" cerocos Ana tidak terima dengan mengibas-ibas bahu jaket. Dasar pamer.
"Jadi lo ajak gue kesini cuman mau pamer jaket baru?" oceh gue lagi tidak habis pikir. "Awas saja kalo beneran iya. Gue mending pulang." imbuh gue.
"Ya enggak lah. Yuk ah, udah ditungguin nih." ucap Ana lalu menyeret tangan gue paksa.
Belum sempat gue bertanya siapa gerangan yang sudah menunggu, gue melihat trio kibul sedang asyik sendiri didepan sebuah alat pemanggang outdoor.
"Pertanyaannya, kenapa musti jauh-jauh ke pantai cuman untuk manggang udang dan cumi?" raung gue frustasi. Tidur siang gue sudah dirampas paksa oleh empat begundal ini hanya untuk acara super tidak penting, barbeque sialan.
...
"Marah beneran Nggi?" tanya Jono mendekat.
"Lo pikir sendiri." sungut gue masih kesal.
"Nggak boleh begitu yang lagi ulang tahun."
"Siapa? Lo? Ebi atau Edi?"
"Anggi Sekar Arum."
"Hah? Ulang tahun gue udah lewat juga. Udah kadaluwarsa kejutannya." omel gue kesal. Sudah satu pekan berlalu sejak tanggal 17 Agustus.
"Telat dikit nggak apa dong. Kemarin kan lo sibuk mau lomba." terang Jono memberi alasan.
Jono beranjak dari samping gue duduk, mengambil sesuatu di dekat pemanggang. Kue ulang tahun dengan lilin angka 16, biasa saja sebenarnya, hanya baru kali inilah ada teman yang mau repot menyiapkan kue ulang tahun buat gue.
Gue terharu, tapi tidak sampai menangis juga.
Anak-anak serempak menyanyikan lagu ulang tahun dan meminta gue meniup lilin yang gue tolak hingga membuat Ana kesal lalu meniupnya karena sudah tidak tahan ingin memakan kue yang menggoda selera. Gue bergidik geli. Cake berwarna cokelat gelap tanpa hiasan krim kocok buat gue terlihat jauh lebih elegan. Kue ulang tahun pertama gue selama 16 tahun.
"Ann, tunggu dong. Gue foto dulu buat kenang-kenangan." cegah gue sambil mengeluarkan HP dari saku celana. Memotretnya beberapa kali dari sudut berbeda.
"Udah?" giliran Ebi yang jarang bicara menginterupsi aksi fotografer amatir ala gue.
"Udah-udah. Silahkan dihabiskan." ujar gue masih terpaku dengan hasil foto yang gue ambil di layar HP. Entah karena kameranya yang bagus atau karena kehebatan gue dalam memotret menghasilkan foto sebuah kue yang luar biasa cantik. Menurut gue tentu saja.
Hingga sebuah tangan menjulur, menyodorkan garpu berisi potongan kue ke mulut gue yang reflek gue sambar. Mengunyahnya pelan, menikmati setiap detik sensasi rasa cokelat manis bercampur pahit. Kemudian menelan dengan cepat saat sadar bukan Ana yang tadi menyuapkannya.
"Lagi?" tanya Jono melihat gue seperti menatap anak kecil yang kelaparan. Senyum tanpa cela itu hampir memaksa gue memuntahkan kue yang baru saja ditelan.
"Makasih ya Jon. Tapi cukup. Gue nggak terlalu suka cokelat." padahal gue bohong. Malu saja kalau sampai gue kalap makan kue luar biasa enak itu yang sedang diperebutkan oleh tiga orang barbar dihadapan gue.
"Gue belikan lagi mau?"
"Nggak usah repot-repot kayak orang tua ajah."
"Habisnya...lo mirip baget kelakuannya seperti Jerome, adik gue."
"Kenapa lo nggak tinggal bareng adik lo itu?"
"Panjang ceritanya Nggi. Yang jelas, Jerome butuh perhatian lebih ketimbang gue." cerita Jono singkat. Gue sedikit paham. Mirip sedikit lah dengan Anggoro, adik gue yang manja level kuadrat pangkat sepuluh.
"Gue juga punya adik lagi yang super manja kok. Jadi gue sedikit ngerti." imbuh gue.
"Setidaknya kalian masih satu negara. Beda dengan gue yang dipisahkan benua dan samudera. Hanya komunikasi video call saja." tambah Jono dengan tatapan sendu jauh ke ujung langit.
Gue bisa tahu kalau Jono itu kesepian. Jauh dari keluarga yang ia sayang. Hanya ditemani dua biji sepupu yang berbeda kepribadian tentu tidak mudah. Ditambah lagi budaya daerah yang baru seperti Prembun juga memaksa Jono untuk bisa menyesuaikan diri.
Ketimbang larut dalam suasana merindu saudara yang jauh, gue inisiatif berdiri beranjak kearah panggangan dimana sebagian daging sudah ditusuk-tusuk sedemikian rupa dan siap dieksekusi. Karena gue tidak tahu cara menghidupkan panggangan jad gue memilih melanjutkan seni merangkai aneka daging dan sea food.
Akhirnya Ana da Ebi menyusul gue setelah kalah bersaing dari Edi dalam rangka merebutkan potongan kue terakhir. Mereka berdoa sibuk mengoceh dengan bahasa yang tidak gue pahami.
"Ore wa $$#$$$$?! ¥€%#@ & $$$$$!? $$$$$...." decit Ana dengan nada kesal.
"Ie, kono ni wa $#@&£€¥₩!? & /$#@ ???? !! $$$$$..." sahut Ebi yang bisa gue tangkap sebagai bahasa Jepang. Gue pernah mendengar dialog itu dari anime yang tidak sengaja gue tonton bersama Ana di jam kosong.
Semakin lama gue dengarkan percakapan dua bocah itu hanya membuat kepala gue nyut-nyutan, tidak paham dengan dialek bahasa Jepang yang mereka pakai hingga lebih mirip seperti bahasa alien di film india yang fenomenal itu.
Gue jadi tertarik dengan sebungkus kentang goreng dan saus teriyaki disebelahnya. Gue cicipi kok enak. Maka gue putuskan untuk menghabiskannya dengan back sound bahasa entah berantah disamping gue.
Menikmati moment bersama tiga bocah berbeda spesies nan langka di sebuah pantai di pesisir selatan pulau Jawa. Sebuah moment yang tidak akan gue dapatkan diacara peringatan ulang tahun gue namun berubah menjadi ajang berebut makanan ala orang primitif.
Bagaimana pun kami masih remaja, 16 tahun. Perilaku seperti ini masih dalam kategori wajar dalam kamus pembendaharaan pengalaman gue. Setidaknya hanya sampai adu mulut untuk memutuskan siapa yang berhak mendapatkan bagian terakhir atau siapa yang ketiban sial membereskan peralatan masak yang kotor, memasukkannya ke dalam bagasi mobil Fortuner Jono.
…
-TBC-
cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705
Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?
Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.
Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/