"Kehilangan yang paling berat adalah kenyataan bahwa aku terlambat membahagiakanmu."
…
"Hujannya deras ya?" Zaqi mengusap-usap lengannya sendiri.
"Ngapain disini?"
"Neduh. Salah ya?"
"Aku tau kamu butuh ini." Zaqi melepas hoodie birunya. "Di pakai ya, Aii."
Tak ada respon dari Aii, gadis itu tetap tenang mengamati air hujan yang kian lama semakin deras.
Zaqi berdehem. "Hujan-hujan gini, kayaknya enak nih dengerin aku nyanyi."
Aii menoleh cepat. "GAK! SUARA ZAQI KAN JELEK BANGET!"
Zaqi terkekeh melihat gadis itu mulai berani mengeluarkan suaranya.
"Kata siapa?" Zaqi tersenyum menatap dalam pupil Aii.
"Ya, kata aku lah!"
"Yakin, nggak mau denger?"
Aii tampak berfikir. "Um, yaudah deh, tolong nyanyiin lagu--"
"Sheila On 7- Seberapa pantas," selak Zaqi. "Lagu favorit kamu."
Aii mengangguk kecil. "YANG ENAK, JANGAN FALS!"
Zaqi tersenyum kecil. "Iya, bawel."
Tak lama berselang, suara Zaqi mengulum seirama dengan suara hujan. Aii terpana, suara Zaqi benar-benar jauh lebih bagus setelah lama berpisah. Kenyataan ini membuat Aii tersenyum samar.
Zaqi memberhentikan nyanyiannya. Iris birunya terus menatap bibir pink Aii. "Kalau habis makan itu dibersihin lagi dong." Jari Zaqi menyentuh bibir Aii dengan sentuhan halus.
Aii diam membisu. Ia tekejut, cowok disebelahnya itu berani menyentuh bibirnya.
"Ada nasi, Aii." Zaqi menunjukkan nasi yang tadi menempel di sekitar bibir Aii.
Gadis itu tersenyum enggan. Ia segera mengeluarkan cermin kecilnya di kantong.
"Terima kasih jangan?" tanya Zaqi.
"Makasih."
"Sama-sama"
Aii kembali melihat layar handphonenya, lalu ia membuka apk WhatsaAp. 10 panggilan tak terjawab dari ayah membuat matanya melotot. Dengan cepat, ia menelpon balik Ayahnya.
"Ayah, Kenapa yah?"
"Nak, pulang sekarang!"
"Ayah, ada apa ayah?"
"Bundamu—"
Panggilan terputus.
Aii menoleh ke arah Zaqi. Pikirannya kacau. Deru napasnya sudah tidak beraturan, dan air matanya terjatuh.
"Eh, kenapa?" Tanya Zaqi terkejut mendapat tatapan seperti itu.
"Tolong aku ya!"
"I-iya, tapi apa?"
Aii melihat sepeda motor Zaqi yang terparkir di samping sepeda tua Aii. "Anterin aku!"
"Ah, iya. Aku paham, ayo naik!"
…
Aii meneteskan air mata melihat orang-orang berbaju hitam sudah berkumpul di rumahnya. Cewek itu berlari menghampiri Bundanya yang kini sudah berbaring tak bernyawa.
"BUNDA!" teriak Aii yang segera turun dari tumpangan Zaqi.
Teriakan Aii mengundang Zaqi untuk ikut masuk kedalam. Zaqi menyelinap, melewati banyak orang. Hingga akhirnya, Zaqi, dapat melihat seorang wanita cantik yang sudah tertidur dengan lapisan kain kafan. Wanita itu, Nadien, bunda kandung Aii.
"BUNDA!" teriak Zaqi turut berduka. Tangisnya begitu kejar, kesedihannya cukup mendalam.
Dulu, Zaqi sangat akrab dengan Nadien. Wanita paruh baya itu adalah seorang ibu yang baik dan mengerti pertumbuhan remaja. Sehingga ia memperbolehkan anak perempuannya untuk dekat dengan lawan jenis.
Sebelum Zaqi datang ke Jakarta, ia sudah lebih dulu menanyakan di mana Aii bersekolah kepada Nadien. Lalu, wanita itu membeberkan semua informasi anaknya kepada Zaqi.
Zaqi berjalan mendekat, ia ikut berlutut di samping Aii. memegang lembut tangan Nadien.
…
"Aku sayang kamu." Zaqi memeluk gadis disebelahnya itu.
Pemakaman berjalan hikmat. Semua tangis menyergap ditelinga Aii. Sedangkan gadis berambut curly itu hanya menangis dalam dekapan Zaqi.
"Zaqi enggak boleh ninggalin Aii! Jangan kayak bunda!"
Zaqi hanya bisa menangis mendengar ucapan Aii. Bagaimana pun, batinnya dengan Aii terhubung seperti kakak dan adik. Zaqi dapat merasakan bagaimana sedihnya Aii saat ini, betapa sayangnya ia dengan gadis yang tengah memeluknya sekarang.
Zaqi menatap wajah Aii. Dia mengangkat kedua tangannya lalu menyeka air mata yang terjatuh di pipi Aii. "Hmm. Zaqi sayang kamu."
Aii hanya bisa diam menahan air matanya yang kini kembali memenuhi sudut mata. Gadis itu memejamkan matanya sejenak, menyenderkan kepalanya di bahu Zaqi. Pria beriris biru itu meraih bahu Aii, menyuruhnya berbaring di pahanya.
Tak banyak kata penenang keluar dari mulutnya, Zaqi hanya terdiam.
Angin terasa lebih dingin malam itu. Zaqi memutuskan untuk tetap menemani gadis kecil yang sedang menangis dalam pangkuannya.
Aii seperti tersambar petir malam itu. Ia ingin sekali menyayat- nyayat pergelangan tangannya, lalu berteriak sekencang-kencangnya. Sementara Zaqi, ia berusaha menahan Aii untuk tidak melakukan hal-hal bodoh seperti itu.