"Apa pun yang terjadi. Tetap tenang dan jangan takut. Pegang pak cik yang erat."
Cil mengangguk dalam diam.
Tanpa aba-aba si rambut botak melayangkan tinjunya. Madi mengelak dengan menghindar ke samping lalu menangkap tangan si botak dari belakang dan menendang lipatan lutut kaki kanan si botak.
Si botak jatuh berlutut, tangan kanannya yang masih di tahan Madi di tarik ke belakang. Sengaja membuat si botak meringis sebelum Madi menendang punggung si botak hingga jatuh tersungkur di pasir pantai.
Sekarang gantian si kekar maju menyerang dengan dua pukulan yang amat cepat dan terarah. Madi kembali menghindar. Melompat sekali ke samping. Dari samping, Madi mengirimkan tendangan langsung ke rusuk si kekar. Masuk!
Si kekar meringis. Berdiri tegap lagi setelah merenggangkan ototnya dengan gerakan aneh. Si kekar kembali menyerang, sebuah kombinasi tendangan dan pukulan. Madi mengelakkan tendangan si kekar, kemudian ketika pukulannya datang, dengan cepat Madi mendahului dengan tendangan. Si kekar mundur. Dan ini adalah kesalahan fatalnya. Karena Madi menyerang dua kali. Kesalahannya itu harus di bayar masuknya tendangan terakhir Madi tepat diperutnya. Si kekar pun jatuh terjengkang di pasir.
"Apa Cil takut?"
Cil menggeleng pelan diiringi senyuman kagum akan kehebatan Madi.
Si kekar membalik badan. Memperhatikan Madi mendekatinya dengan tetap berbaring di pasir. Lalu tersenyum. "Sudah tujuh tahun. Masih juga tak ada ampun!"
Si botak tadi segera duduk berlutut di samping si kekar. Mendengar perkataan rekannya.
"Sudah tujuh tahun, masih juga tak berubah." Madi menghela nafas.
Kali ini si kekar duduk berlutut bersama si botak. Tertawa seolah tak bersalah melakukan apa-apa. "Anak yang manis. Pasti bukan anakmu?"
"Kalau bukan, kenapa?" Madi menatap bengis si kekar dan si botak. Dua orang itu sebenarnya teman masa kecil dan juga informan Madi.
"Kulitnya saja begitu putih. Apalagi wajahnya yang imut, sama sekali tak mirip dengan engkau pas kecil." Si botak berkata jujur sambil tertawa.
"Tampang mengantuk dan suram itu jauh berbanding dengan anak bujang ganteng itu." Tambah si kekar semakin menjadi mengejek.
"Benar-benar." Dukung si botak.
Lalu ke dua sahabat itu tertawa terbahak-bahak hingga berguling-guling di pasir. Tanpa peduli Madi akan menghajar mereka lagi.
"Tak bisakah kalian tenang? Kalian bisa menarik perhatian."
Si kekar segera diam. Berdiri sambil membersihkan tubuhnya dari pasir. "Baiklah! Ada misi apa?"
"Antar saya ke tempat Datuk Laksamana!"
"Siap kapan saja!" si botak segera menjawab. "Tapi ada urusan apa? Bukannya tugasmu menjaga Puan Pong?"
"Ibu tak ikut pak cik." Sahut Cil yang masih dalam gendongan Madi, membuat si botak dan si kekar membeku seketika.
Memperhatikan Cil dengan seksama. Kulit putih, mata berwarna coklat terang seperti madu dan rambut bergelombang. Menyadari sesuatu, akhirnya ke dua orang itu segera berlutut.
"Kalian menyadarinya?"
"Tentu saja!" jawab si kekar dan si botak bersamaan.
"Terlebih ini pas tujuh tahun sejak kejadian itu." Jelas si botak pelan.
"Jangan terlalu formal. Biasa saja. Kalian bisa menarik perhatian."
"Baiklah." Si kekar segera berdiri diikuti si botak.
"Perahu siap kapan saja hendak berangkat."
"Lebih cepat, lebih baik."
***
Cil berdiri sendiri di pinggir pantai, memperhatikan perahu yang cukup besar di dorong ke air oleh Si Kekar, si Botak dan dibantu Madi.
Rutin menarik dan mendorong perahulah yang membuat otot tubuh ke dua orang itu terbentuk sempurna. Terutama si Kekar.
Dari belakang Cil muncul Tan yang baru datang. Membawa sebuah kain songket cantik. Berwarna hitam dengan sulaman benang emas. Tan membuka lipatan kain lalu menyungkupkannya mulai dari atas kepala Cil. Menjepitkan semacam peniti pada kain di sekitar leher Cil agar tak mudah lepas. "Biar tak tersengat matahari. Datuk bisa marah kalau pak cik berdua tak menjagamu dengan baik."
Cil memegang benda seperti kupu-kupu yang dijepitkan pada kain, membuatnya jadi seperti jubah. Terkibar sempurna tertiup angin laut yang kencang.
"Jangan ke mana-mana, ya? Pak cik mau ikut bantu dorong perahu. Kalau ada apa-apa cepat panggil pak cik."
"Iya, pak cik."
Dengan tambahan tenaga seorang lagi, perahu itu meluncur semakin cepat di pasir pantai. Begitu perahu sudah bisa terapung di air, Madi buru-buru kembali ke pantai menjemput Cil.
"Kain dari mana ini?" Madi menyentuh kain yang menutupi tubuh Cil mulai dari atas kepala.
"Pak cik Tan yang beri. Katanya biar tak tersengat matahari."
Madi mengangguk sekali. Ada benarnya juga. 'Kenapa tak terpikirkan sebelumnya.' Tanpa berlama, Madi segera menggendong Cil untuk naik ke perahu.
"Ayo keluarkan tenaga kalian." Sindir si Kekar melihat Madi kewalahan mendayung perahu melawan ombak, meski mendayung bersama-sama agar perahu bisa keluar dari hempasan ombak pantai.
Si Botak tertawa keras mendengar ucapan si Kekar. "Mereka berdua bisanya bertarung. Tak bisa diandalkan untuk kerja mendayung mencari ikan."
"Saya lebih suka kerja jadi juru masak. Tapi apalah daya... tak ada pilihan lain sekarang. Harus mendayung perahu..." jawab Tan menanggapi dengan santai.
Sementara Madi menjawab. "Bukan tak sanggup, tapi belum terbiasa."
Cil yang duduk di tengah perahu merasakan ombak yang mengguncang perahu, justru berdiri meski di larang. Berdiri sambil merentangkan ke dua tangan, kain yang di pakai untuk melindungi diri dari sengat matahari berkibar seolah sayap.
Anak itu sangat menyukai lautan. Dan tidak takut walau sedikit pun.
"Tampaknya darah pelaut dari Datuk Laksamana ikut menurun." ucap Tan yang pasti membebaskan Cil berbuat apa saja, serta mendukungnya.
"Ya memang. Tapi bahaya kalau sampai jatuh!" Madi justru sangat khawatir.
"Tak apa. Hitung-hitung pengalaman." Sahut si Botak.
"Dia pasti bisa bertahan." Kata si Kekar lalu tambahnya. "Dia tampak cocok memakai kain itu."
Tan berdehem. "Tentu saja. Saya membeli kain itu pasti cocok untuknya."
***
Beberapa saat sebelumnya.
Tan berjalan sendiri karena ditinggalkan Madi. Untungnya Tan mempunyai pembawaan santai dan tidak mudah marah. Hanya saja Tan sedikit bingung, lewat mana Madi membawa Cil ke tempat Datuk Laksamana. Akan melewati jalur darat atau melewati laut?
Mengingat jika Madi mempunyai beberapa teman nelayan. Maka tanpa ragu lagi Tan berjalan ke arah pelabuhan para nelayan.
Di jalan menuju pelabuhan, Tan melihat banyak orang asing berkulit putih berbelanja di pasar. Di antara orang asing itu ada sesuatu yang menarik perhatian Tan.
Seorang anak perempuan berumur sekitar lima tahun dengan mata biru, berambut jerami, bergaun merah lengkap serta tudung kepala berwarna senada melindungi dari sengatan matahari. Terlihat begitu lucu. Seperti boneka.
Sambil berjalan Tan membayangkan Cil mengenakan tudung kepala, seperti anak perempuan itu untuk menghindari sengatan matahari. 'Lucu sekali, tapi itu tidak mungkin terjadi. Madi pasti marah.' Tan menghela nafas.
Ketika melintas di depan pedagang kain. Tan tergoda. Berhenti sambil mengusap dagu, berpikir bagaimana caranya bisa dijadikan seperti tudung kepala anak perempuan tadi.
"Mak cik, bagaimana caranya memasang kerudung biar tak mudah tanggal?" tanya Tan pada perempuan penjual kain.
"Saya biasa pakai peniti, tuan."
"Peniti itu macam mana?"
Perempuan pedagang kain itu memperlihatkan penitinya.
"Punya mak cik masih ada? Saya beli kalau ada lagi."
"Saya tak punya tuan. Kalau tuan mau, belinya di tukang perhiasan tuan. Orang asing kulit kuning, yang biasa di panggil babah ada jual. Macam-macam modelnya tuan."
"Saya beli ini kalau begitu." Tan mengambil sebuah songket, dengan panjang tiga meter dan lebar satu meter setengah. Setelah membayar barulah Tan bergegas ke penjual perhiasan di ujung jalan masuk pasar.
Seorang laki-laki tua kulit kuning dengan perut buncit dan rambut panjang yang di jalin, menyambut Tan dengan senyum lebar. "Selamat datang tuan. Mau cari cincin, kalung atau gelang?" sambut laki tua asal Tiongkok itu.
"Saya sebenarnya tidak mencari perhiasan. Saya mau mencari peniti untuk kain ini."
"Ah... songket yang cantik!" pujinya tulus sambil mengusap kain yang diperlihatkan Tan. "Saya ada yang pas." Penjual perhiasan itu langsung sibuk membuka laci-laci kecil tempat penyimpanan perhiasannya. Tak berlama-lama, laki-laki tua penjual perhiasan itu kembali dengan membawa sebuah kotak kecil.
Dihadapan Tan, kotak kecil itu di buka. Sebuah perhiasan berbentuk sayap kupu-kupu dengan sebuah mutiara, pada bagian tengah yang menjadi badan kupu-kupu.
"Ini peniti?"
"Bukan. Perhiasan ini biasa di sebut bros."
"Bros kupu-kupu." Tan memperhatikan bros itu. Cukup lucu. Sebenarnya sangat lucu. Karena benda itu berbentuk hewan, sepertinya tidak apa-apa dikenakan oleh Cil.
***
"Jadi itu sebab engkau sangat lama menyusul tadi?" tanya Madi melirik Tan yang mendayung di sampingnya.
Tan hanya tertawa kecil menanggapi Madi.
"Syukur benda itu cocok untuk Tuan Cil. Kalau tak, habislah. Tak ada alasan engkau terlambat. Pasti ditinggalkan!" sahut si Botak.
Si Kekar tak banyak bicara karena terharu. Tak pernah mengira jika dirinya akan bertemu sang pewaris.
Perahu itu terus melaju menjauhi pantai. Saat laut mulai tenang, ke empat laki-laki itu bergantian mendayung setiap setengah jam.
Saat angin bertiup mengarah ke tujuan, layar segera dikembangkan. Perahu melaju lebih cepat lagi dan mereka bisa istirahat.