"Kalau kamu tak tidur baiknya belajar membaca bintang. Kamu akan tahu arah dan tak kan tersesat bila memahaminya. Kapal ini bisa terus berjalan malam juga karena nahkoda paham ilmu bintang."
"Baik pak cik."
***
Madi menggambarkan rasi bintang di buku catatan milik Cil. Salah satu benda yang selalu di bawa Cil dalam tas serut sandangnya. Dengan membuatkan gambar rasi bintang, Madi berharap lebih mudah untuk diingat serta dipelajari kapan saja.
Setelah membuat gambar rasi bintang penunjuk arah mata angin dan waktu, barulah Madi menunjukkan posisi setiap rasi bintang.
"Ketemu pak cik! Layang-layang, selatan!" Seru Cil dengan berpedoman pada gambar Madi, dirinya lebih mudah memahami dan menemukan beberapa rasi bintang.
"Ah... ya, benar. Itu selatan. Sekarang coba cari kalajengking yang sempat menyengat tangan kamu."
"Sudah mati, pak cik. Kan di bunuh istri Ustadz."
Madi jadi tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban polos Cil. "Ahahaha... ya ya ya... pak cik tahu. Tapi maksud pak cik sebenarnya bukan itu. Rasi bintang yang seperti kalajengking, coba cari."
"Oh..." Cil ikut tertawa karena malu sendiri. Setelah puas tertawa bersama barulah Cil mulai mencari rasi bintang yang berbentuk kalajengking. Penunjuk arah timur atau tenggara.
Cukup lama Cil mencari rasi bintang kalajengking, namun belum menemukan juga akhirnya Cil tertidur sendiri karena sudah lewat pertengahan malam.
Hati-hati sekali, Madi mengangkat tubuh kecil anak itu agar tidak terbangun. Ia sangat sayang pada anak itu seolah anak sendiri.
***
"Huaaa... besar sekali!" seru Cil begitu melihat sebuah kapal perang yang berhenti tidak jauh dari pelabuhan.
Kapal perang itu begitu besar pada masanya, membuat kapal perang yang dimaksud Cil tidak bisa langsung bersandar di pelabuhan.
Tidak jauh dari kapal perang itu ada sebuah kapal yang sedikit lebih kecil berbendera asing. Berwarna hijau-merah dengan sebuah simbol di tengah.
"Ini pertamanya ke kota. Tapi yang dikaguminya malah kapal perang." Tan malah tertawa sendiri.
"Itu perbedaannya antara kamu, saya dan Cil. Walau kamu lahir dan tumbuh besar di kota sebagai anak bangsawan, sifatmu alami kampungan." Sindir Madi.
Tan menghela nafas. Perkataan Madi benar adanya.
"Pak cik, boleh Cil naik kapal itu?" Cil sungguh bersemangat dan lupa tujuannya.
"Kapal yang mana?"
"Yang bendera hitam-putih."
Senyum melebar di wajah Tan yang kembali bersemangat dengan cepat. "Tentu saja boleh."
"Benarkah?"
"Ya. Benar." Jawab Tan sambil menggendong Cil.
"Itu kapal siapa?" Madi menunjuk kapal berbendera asing.
"Kapal bangsa Portugis."
"Portugis?"
"Ya. Bangsa asing di daerah barat. Kamu sudah pernah bertemu mereka. Dulu hanya sedikit setelah dikalahkan pendahulu kita dengan bantuan Belanda, tapi sekarang mereka sudah di mana-mana. Itu hanya kapal dagang."
"Kalau yang itu kapal siapa?" Madi menunjuk sebuh kapal perang.
Tan melirik Madi. Sudah tujuh tahun Madi meninggalkan ibu kota, tentu saja tidak akan tahu perubahan yang terjadi. "Itu kapalnya Laksamana Indra."
"Jadi dia sekarang menjadi Laksamana? Tak patut."
"Eh, kenapa?" Tan bingung sendiri kenapa sepertinya Madi tidak menyukai Laksamana Indra.
Madi menatap Tan. Hanya menatap cukup lama.
"Kenapa? Ada apa?"
"Kapal Datuk Laksamana jauh lebih baik!"
***
Akhirnya Cil menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Kota Tinggi, ibu kota Kesultanan Johor-Riau. Wajahnya yang jadi berbintik-bintik akibat tersengat matahari terlihat sangat ceria. Selayaknya anak-anak, Cil mudah penasaran dengan apa yang dilihatnya.
Sebelum meninggalkan pelabuhan Cil melihat pedagang makanan. Penasaran dan tentu ingin mencoba. "Pak cik orang itu jual apa?"
Madi dan Tan melihat bersamaan ke arah tunjukan Cil. Orang asing lainnya yang berjualan makanan. Madi lalu bertanya. "Pak cik tak tau. Kita ke sana?"
Cil mengangguk cepat, mendekati perempuan asing penjual sotong bakar yang di tusuk dengan rautan bambu.
Perempuan asing berbaju sopan yang panjang berwarna biru, bermotif bunga yang indah. Dengan ikat pinggang besar, bersimpul di punggung dan memakai sandal jepit kayu. Tersenyum ramah, perempuan asing itu berkata. "Irasshaimase."
Tan dan Madi saling pandang. Tidak mengerti. Walau tidak mengerti sama sekali apa yang diucapkan perempuan asing itu, Tan tetap bertanya. "Berapa harganya?"
Perempuan asing itu sedikit bingung juga hendak menjawab apa. Bahasa yang diketahuinya masih terbatas. Perempuan itu mengangkat tangan kanan dengan jari yang dikembangkan.
Tan dan Madi kembali saling pandang. "5 sen?"
"Ah... ya, 5 sen." Perempuan itu menjawab dengan tersipu malu. Wajahnya ternyata cukup cantik dihiasi senyum.
Madi ikut tersenyum melihat senyum perempuan itu.
"Senyum apa itu?" Tan menyikut rusuk Madi disertai lirikan menggoda temannya itu. Namun Madi hanya berdehem agar Tan menutup mulutnya.
Merasa diperhatikan, perempuan asing itu jadi tertunduk malu. Tiga tusuk sotong bakar disiapkan perempuan itu. Memberikan yang pertama pada Cil lalu Tan dan Madi.
Dengan iseng Tan menarik cepat tangan Cil. Sengaja meninggalkan Madi bersama perempuan asing itu.
"Terima kasih." Ucap Madi menerima sotong bakarnya lalu memberikan uang.
Perempuan asing itu menerima uang dengan senyuman kemudian mengikuti perkataan Madi sambil menundukkan badan. "Terimakasih."
Dari kejauhan Tan dan Cil memperhatikan Madi yang masih berbincang dengan orang asing tadi. Entah apa yang dibicarakan, tapi Tan sedikit menyesal meninggalkan Madi. Dan sekarang dirinya jadi penasaran.
"Enak pak cik!" Ungkap Cil menikmati sotong bakar yang sebesar telapak tangan orang dewasa.
"Ya, tentu saja enak." Jawab Tan memperhatikan Cil yang sangat menikmati makanannya. Wajah Cil sedikit belepotan bumbu sotong bakarnya, membuat Tan tersenyum sebelum membersihkan wajah Cil.
"Kenapa pak cik Madi lama?"
"Dia ada sedikit keperluan dengan penjual tadi."
Tak berapa lama sebelum makanannya habis Madi mendekati Tan dan Cil.
"Bagaimana?" tanya Tan diiringi senyuman usil. Karena melihat Madi yang tampak tertarik dengan perempuan asing tadi.
"Namanya Hana. Katanya dia dari negara para Samurai."
"Samurai?"
"Samurai itu apa pak cik?"
"Sebenarnya, pak cik juga tak tahu." Jawab Madi sambil berlutut membersihkan dagu Cil yang terkena bumbu. Dalam hati Madi berpikir bagaimana menghilangkan bintik-bintik di wajah Cil.
"Sepertinya akan susah hilang." Gumam Madi yang lebih ke mengeluh.
"Oh ya, bagaimana cara menghilangkan bintik-bintik di wajah Cil?"
Madi memalingkan kepala menghadap Tan yang berdiri di belakangnya dengan menyilangkan ke dua tangan di dada. Merasa kesal. Kenapa dia baru memikirkan hal itu setelah terjadi.
"Kenapa diam? Apa kamu juga tak tau?"
Madi berdiri dengan menarik nafas dalam-dalam. Mencoba sabar. [Bangsawan bodoh yang sangat menjengkelkan.]
Madi menggendong Cil dan mulai berjalan dengan langkah panjang. Mengabaikan Tan.
"Jangan tinggalkan saya." Tan mengejar.
"Kenapa pak cik Tan ditinggalkan?"
"Tak apa. Dia tau jalan ke tempat atuk."
"Rumah atuk jauh kah dari sini pak cik?"
"Ya. Jauh, sekira dua atau tiga hari jalan kaki!"
"Sejauh itu kah?! Kita akan jalan kaki ke sana pak cik?"
Madi tertawa mendengar ucapan Cil. "Ahahaa... tidak. Kita tidak akan jalan kaki. Kita akan naik perahu."
"Naik perahu?"
"Iya, benar. Naik perahu lagi."
Madi melangkahkan kakinya tetap dengan langkah panjang. Ia ingin secepatnya keluar dari kota itu. Keselamatan Cil nomor satu.
Begitu keluar dari pelabuhan, Madi melangkah cepat ke sisi barat kota. Sekira setengah jam berjalan kaki, menapaki daerah pasar yang cukup ramai oleh pedagang yang baru turun dari kapal.
Jalan-jalan di sekitar pasar juga banyak terlihat orang-orang asing. Orang asing bertubuh tinggi, berkulit putih, bermata biru, hijau, atau coklat muda. Rambut mereka juga beragam, ada yang berwarna seperti jerami, kemerahan, coklat bahkan hitam.
Keluar dari jalanan pasar, terlihat dikejauhan pelabuhan besar milik angkatan laut. Melihat itu Cil jadi tertarik. "Kita mau ke tempat itu pak cik?"
"Oh tidak. Kita akan ke sana." Madi menunjuk pelabuhan kecil untuk para nelayan.
"Banyaknya perahu!" Cil terkagum melihat barisan perahu-perahu nelayan di pantai.
"Nelayan biasanya menangkap ikan sore hari dan kembali pagi-pagi sekali. Itu sebabnya sekarang ada banyak perahu."
Cil mengangguk mengerti. "Nelayan istirahat."
"Betul." Jawab Madi. Melangkah terus memasuki pelabuhan nelayan.
Beberapa nelayan yang sedang memperbaiki jaring di bawah pohon memperhatikan kehadiran Madi bersama Cil.
Di antara nelayan itu terlihat seorang laki-laki berbadan kekar. Terlihat jelas karena lelaki itu bertelanjang dada. Sengaja memamerkan tubuh tingginya dengan otot yang kokoh sempurna.
Para lelaki pasti iri dan beberapa perempuan genit akan tergila-gila melihat tubuhnya.
Laki-laki bertubuh kekar itu berdiri, memberi isyarat pada seorang rekannya yang berambut botak, sedang berjalan mendekat membawa kopi.
Ketika Madi sudah sangat dekat, laki-laki bertubuh kekar tadi menghadang langkah Madi. Rekan lelaki itu si rambut botak ikut menghadang setelah meninggalkan kopi pada nelayan yang sedang memperbaiki jaring.
Cil yang sebelumnya di gendong di belakang punggung, kali ini Madi pindahkan menggendong Cil ke dekapannya. Bagi Madi lebih tenang melihat Cil di hadapannya kali ini.
"Apa pun yang terjadi. Tetap tenang dan jangan takut. Pegang pak cik yang erat."
Cil mengangguk dalam diam.