Madi tersenyum melihat Cil yang tidur. Menggunakan pangkuannya sebagai bantal. Kebiasaan tidur di sembarang tempat seperti kucing antara ayah dan anak benar-benar menurun. Santai sekali.
Menyadari hal itu membuat Madi tertawa karena tempat mereka berada saat itu ada di pinggir sungai. Tidur tanpa alas apa-apa, hanya susunan gelondongan kayu di pinggir dermaga.
"Kenapa pak cik tertawa?" Cil jadi terbangun mendengar suara tawa Madi meski pelan.
"Pak cik baru sadar. Selain punya penampilan fisik yang sangat identik, kebiasaan kamu tidur juga sama dengan ayahmu."
"Benarkah pak cik?"
Madi mengangguk diiringi senyuman. "Selain itu ayahmu juga orang yang kuat dan baik."
"Bukankah atuk guru cerita kemarin, ayah orangnya kejam?"
"Sedikit kejam." Madi mengkoreksi. "Hanya kejam terhadap musuhnya saja."
Cil duduk dengan semangat. Lalu menyadari jika Tan tidak bersama mereka. "Mana pak cik Tan?"
"Sudah dari kita sampai di sini, dia sibuk sendiri." Jawab Madi sambil membersihkan baju Cil. "Ayo kita cari masjid. Sebentar lagi masuk maghrib."
"Cil mau mandi dulu pak cik."
Madi bingung sendiri mendengar permintaan Cil. Tidak mungkin membiarkan Cil mandi di sungai dan di lihat banyak orang. "Baiklah. Ayo kita cari tempat untuk kamu bisa mandi."
"Yei... mandi." Anak itu bersorak.
Hanya bersama Cil saja Madi mencari penginapan atau rumah warga sekitar pelabuhan yang bisa mereka pakai kamar mandinya.
Di kampung kecil itu ternyata sangat mustahil ada penginapan. Walau pun ada pelabuhan kecil. Sama sekali tidak ada dan rata-rata warga mandi langsung di sungai. Tidak mempunyai kamar mandi.
"Pak cik, di sana masjid." Cil menunjuk ke belakang mereka ketika Madi sedang berbicara dengan seorang pemilik rumah.
Karena Madi sepertinya tidak mendengar, Cil melepaskan pegangan tangannya dari Madi dan berjalan ke arah masjid.
Masjid itu cukup besar untuk ukuran desa kecil. Masjid itu sengaja di buat besar karena adanya pelabuhan yang sering di singgahi para pedagang. Hal itu agar mudah untuk para pedagang melakukan kewajibannya.
Ke masjid itulah Cil pergi sendiri. Dan tertarik dengan kegiatan anak-anak desa lakukan di halaman belakang masjid. Seorang ustadz terlihat berjalan mondar-mandir memperhatikan gerakan anak-anak berlatih silat.
Duduk bersila di teras belakang masjid dan menopang dagu dengan tangan kiri. Cil memperhatikan jalannya latihan silat anak-anak desa.
Sang ustad melihat kehadiran Cil lalu tersenyum ramah. Anak-anak didiknya berbisik di sela latihan ketika ustadz mereka lengah. Mereka membicarakan Cil dan merencanakan sesuatu.
"Mau ikut belajar?" ustadz menghampiri.
Cil memperhatikan ustadz berwajah ramah. Ustadz itu bertubuh kecil, tidak tinggi dan sekekar Madi mau pun Tan yang sudah melatih tubuh sejak kecil. "Tidak ustadz."
"Kamu sendirian saja?" ustadz bertanya karena menemukan anak kecil yang belum dikenalnya duduk sendiri. Ustadz merasa sepertinya Cil anak yang terpisah dari keluarganya.
"Saya bersama pak ci...k." Cil baru sadar jika dirinya sendirian. Tidak bersama Madi atau Tan. Wajahnya tampak bertanya-tanya, ke mana perginya ke dua orang dewasa yang bersama dirinya.
Sang Ustadz pun menanyai Cil lebih banyak. Siapa saja yang bersamanya. Seperti apa ciri-ciri orang yang bersamanya. Di mana terakhir bersama. Setelah yakin jika Cil terpisah dari keluarganya, Ustadz segera pergi mencari keluarga Cil. Dan meminta anak didiknya untuk menjaga Cil hingga Ustadz kembali.
***
Sementara itu Madi tampak panik. Begitu menyadari Cil tidak ada bersamanya. Cil selalu memegang tangannya atau dirinya yang gantian memegang tangan Cil.
Madi mengutuk dalam hati, bagaimana bisa ia terlambat menyadari Cil tidak bersamanya.
Dengan tenang Madi menarik nafas perlahan. Menutup mata. Berkonsentrasi pada kemampuannya dalam merasakan jejak aura.
Dapat dirasakannya hawa hangat dan membentuk asap tipis berwarna kuning keberadaan Tan. Hanya beberapa puluh meter darinya. Masih mencari informasi dan siap melindungi dari jauh.
Untuk Cil entah kenapa aura dan hawa yang dirasakan Madi sangat tenang. Berbentuk asap putih tipis. Itulah yang membuat Madi sempat tidak menyadari keberadaan Cil. Meski ternyata Cil berada di balik masjid, tepat dihadapannya. Madi menarik nafas lega.
Kemampuannya itu memang sangat efektif digunakan dalam melacak keberadaan lawan atau pun teman. Jika menghadapi musuh, maka dalam sekejap Madi bisa menghabisi musuhnya.
Madi membuka matanya dan dapat dilihatnya seorang ustadz berjalan ke depan masjid. Ustadz itu melihat kiri dan kanan sesaat. Sedang memutuskan hendak melangkah ke mana.
Setelah melihat kiri dan kanan. Pandangan ustadz tertuju pada seorang laki-laki di seberang masjid. Seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan rambut lurus sebahu, memakai baju serba hitam dengan kain samping pas lutut, memakai tanjak dan sebuah keris terselip di sisi kiri pinggang. Persis seperti seorang panglima kerajaan.
Ustadz mengenali sosok itu yang sering mengirimkan bantuan untuk masjid. "Encik Madi." Panggil ustadz menghampiri.
"Ah... Ustadz. Kebetulan. Apa keponakan saya di masjid?"
"Oh... jadi anak kecil itu keponakan Encik."
"Iya Ustadz." Terlihat jelas perbedaan tinggi badan dua orang laki-laki itu begitu berhadapan langsung. Sang ustadz hanya setinggi bahu Madi.
"Saya pikir tadinya anak tersesat."
Madi mencoba tertawa untuk menutupi kecerobohannya.
"Mari encik. Dia saya suruh tunggu bersama anak-anak yang sedang latihan silat di belakang masjid."
***
"Hei, engkau bukan anak sini, ye?" anak laki-laki paling tua menanyai Cil.
Cil mengangguk sekali.
"Mau ikut latihan bersama kami?"
Dua anak lain menyeruduk ke depan, membelakangi anak laki-laki paling besar. "Anak manja macam die tak kan bisa apa-apa. Bodoh sangat kan, sampai terpisah dari keluarganya?" provokasi salah satunya bergigi ompong.
"Pastilah di manja, makanya bodoh." Anak berbadan besar dan sedikit gemuk ikut mengejek.
"Jangan buat gaduh kalian!" Kata anak paling tua melarang temannya mengejek Cil.
"Saya bukan bodoh." Sahut Cil.
"Kalau tak bodoh, coba lawan kami!" anak bertubuh sedikit gemuk mendorong Cil.
Cil yang di dorong anak bertubuh sedikit gemuk, hanya bergerak mundur selangkah dari dorongan anak tadi. Dirinya hanya sendirian. Tidak ada Yunus yang biasa membelanya. Yunus selalu membelanya bukan hanya tak ingin Cil terluka, tapi lebih ke takut Cil akan menghajar anak-anak desa.
"Apa? Mau marah?!" anak tadi semakin
memprovokasi dan anak bergigi ompong pun ikut mendorong Cil bergantian dengan bertubuh sedikit gemuk.
"Kalau gaduh terus saya panggil Ustadz!" anak laki-laki paling tua tanpa menunggu langsung saja pergi mencari ustadz.
Pada dorongan ke tiga, Cil tidak lagi sabar. Tidak pernah dirinya diperlakukan seperti itu. Cil menangkap tangan anak bergigi ompong ketika akan mendorongnya lagi. Dengan memutar tangan anak bergigi ompong, Cil membalik tubuh anak tadi lalu mendorong anak bergigi ompong pada si gemuk.
Ke dua anak itu jatuh bersama, dengan si gemuk tertimpa si gigi ompong.
"Masih mau lanjut?" Cil sudah terlanjur kesal.
Ke dua anak yang baru saja terjatuh bergerak cepat untuk berdiri. Mereka tidak terima terjatuh bersama hanya dengan sekali dorongan.
Anak laki-laki paling tua yang belum terlalu jauh hendak memanggil ustad, bergegas kembali melihat dua temannya sudah membuat keributan.
Baru saja anak yang lebih tua akan kembali untuk melerai. Anak bergigi ompong bergerak cepat menyergap Cil agar temannya bisa menghajar Cil. Namun Cil dengan santainya menghindar ke samping, kemudian menjegal kaki anak bergigi ompong sehingga anak itu kembali tersungkur. Meringis, menahan tangis.
Anak bertubuh gemuk menyusul menyerang. Tampaknya sudah cukup menguasai gerakan-gerakan silat. Sebuah pukulan diarahkan langsung pada Cil yang harus menahan serangan itu.
Satu pukulan lagi. Cil menghindar kali ini. Melompat ke samping, tapi...
"HEI! JANGAN BEGADUH!" seru anak yang lebih tua mengejutkan si gemuk dan Cil.
Si gemuk yang hendak melayangkan tinjuan jadi terkejut. Kehilangan keseimbangan dan menabrak Cil.
BRUKKK!!! Cil dan si gemuk jatuh bersama. Bertumpukan dan menghimpit tubuh si ompong.
"Aduuuuuh..." Cil yang jatuh tertelungkup mengeluh karena tertimpa tubuh si gemuk.
"Ampuuuunnn..." si ompong berseru kesakitan.
Sementara si gemuk nyengir melihat keberhasilannya menangkap Cil. "Tak bisa lari lagi engkau ye!"
"Mau sampai kapan kalian tiduran seperti itu?!" anak laki-laki paling tua berkecak pinggang melihat kebodohan tiga anak itu.
"Ada apa ini?" ustadz muncul bersama dengan Madi yang tampak panik.
Madi menghela nafas menemukan Cil baik-baik saja dan terlihat sedang bersenang-senang. Ia sempat khawatir Cil tiba-tiba tidak bersamanya.
"Kami hanya bergulat ustadz." Jawab si gemuk sambil tertawa. Tampaknya juga masih belum mau bangun dari atas tubuh Cil dan si ompong.
"Benar ustadz..." dukung Cil dan si ompong bersamaan.