"Kakak ipar! Aku minta nasi goreng kambing dong!"
Pagi-pagi, Aldo sudah sibuk mencari Julia dan memintanya memasak nasi goreng. Di rumah itu, Julia tidak pernah memasak makanan berat seperti itu untuk sarapan. Damian dan Iris lebih sering sarapan roti gandum.
"Masak sendiri sana! Berani memerintah kakak iparmu, apa kau sudah lupa ajaran papa?" Damian bertanya dengan sinis. Ia mengoles roti gandum dengan selai kacang.
"Kak Juli tidak keberatan. Kenapa, Kakak, yang sewot? Aku akan memasak sendiri kalau begitu," sungut Aldo sambil berjalan ke meja dapur.
"Duduk saja di sana! Aku akan membuatnya untukmu," usir Julia. Ia membalikkan badan Aldo dan menyuruh laki-laki itu duduk kembali di depan Damian.
Julia memasak nasi goreng kambing untuk adik iparnya. Ia hanya membuat satu porsi. Namun, saat nasi gorengnya matang, suaminya merebut piring berisi nasi goreng di tangan Julia.
"I-itu untuk Aldo, Tuan. Tolong kembalikan!" Julia memintanya kembali.
"Suruh dia masak sendiri! Yang ini untukku. Kau, pergi bereskan kamarku!"
"Bukannya, Tuan, tidak suka nasi goreng?"
"Berani membantah?"
"Tidak, Tuan." Julia melirik Aldo dengan tidak enak hati. Ia memasak nasi goreng untuk Aldo, tetapi direbut oleh suaminya. Bagaimana menjelaskannya pada laki-laki itu?
"Tidak apa-apa, Kakak ipar. Pergi saja. Nanti, Aldo sarapan roti saja," ucap laki-laki itu pengertian.
Ia melirik sang kakak dengan senyum geli. Kedua tangannya dilipat di dada. Dengan tatapan aneh, mendekati tempat duduk Damian.
"Bukannya, Kakak, tidak bisa makan nasi di pagi hari? Kenapa? Cemburu, karena dia memasak untukku?"
"Diam! Aku sudah bilang, jangan berani mendekati kakak iparmu! Apa kau tidak mengindahkan laranganku?"
Keduanya bersitegang. Julia melihat mereka dari lantai atas. Ia bingung mengartikan arti kemarahan suaminya.
Julia bergegas masuk ke kamar saat Damian berjalan menuju ke arah tangga. Ia mengganti sprei dengan yang baru. Selesai mengganti sprei, ia segera melangkah pergi ke kamar mandi untuk mengambil cucian.
Damian bersandar di tiang pintu kamar dengan kedua tangan terlipat. Ia memperhatikan setiap gerakan istrinya. Tatapannya seperti predator kelaparan yang sedang mengintai mangsa.
"Permisi, Tuan."
Julia hendak keluar, tetapi suaminya menghalangi. Tidak peduli berapa kali istrinya mengatakan permisi, ia tetap berdiri dengan senyum menyeringai. Gadis itu menelan saliva, membasahi kerongkongannya yang terasa kering karena terlalu ketakutan.
"Kenapa begitu takut padaku, tapi begitu akrab dengan adikku? Apa kau sudah lupa peringatan dariku semalam?" tanya Damian sambil melangkah maju mendekatinya perlahan-lahan.
Julia melangkah mundur sambil memeluk cucian di tangannya. Laki-laki itu begitu mendominasi, membuat seluruh tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Memandang wajah Damian saja sudah membuat semua bulu kuduknya meremang.
"Saya tidak berani, Tuan. Saya hanya tidak bisa menolak permintaan adik Anda, Tuan," jawab Julia dengan suara bergetar. Tubuhnya gemetar, detak jantung semakin cepat, serta keringat mulai membasahi wajahnya. Tetesan keringat yang membasahi leher Julia, selalu berhasil menaikkan hasrat laki-laki itu.
"Kau memanggil Aldo dengan akrab. Kenapa tidak memanggilku dengan akrab juga?"
Damian memerangkap tubuh wanita itu di antara dinding dan tubuhnya. Deru napas ketakutan yang keluar dari bibir gadis itu menambah hasratnya semakin menggelora. Bak gunung berapi yang ingin meledakkan lahar keluar.
"Saya memanggil Anda, Tuan, sesuai dengan perintah. Kenapa, Tuan, menyalahkan saya … sekarang?" tanya Julia dengan pandangan yang tertuju ke bawah. Menatap kedua kakinya lebih baik daripada melihat wajah dingin suaminya.
"Karena kau sangat penurut. Bagaimana kalau, kau, memanggilku 'Hubby' mulai sekarang?"
"Hu-Hubby?" Julia mengulang kata itu dengan aneh. Di kampungnya, seorang istri hanya memanggil suaminya dengan panggilan 'Akang atau Aa'. Sementara yang sering merantau, mereka memanggil mama papa atau sayang.
"Iya. Hubby, panggilan untuk suami."
"Su-suami," ulang Julia dengan gemetar.
"Katakan sekarang!" perintah Damian dengan nada ditekan.
'Kenapa dia tiba-tiba menyuruhku memanggilnya seperti itu? Dia tidak mencintaiku, bahkan membenciku. Kenapa harus memakai kata panggilan sayang? Aku lebih nyaman memanggilnya 'Tuan' seperti biasa. Tapi, hubby itu apa artinya?'
"Ayo katakan!" Damian menangkup dagu gadis itu, menengadahkan wajahnya.
"Hu … Hubby."
"Oke, Wifey. Siapkan baju untuk ke kantor. Jangan lupa, siapkan dasi yang cocok!" Damian memerintah sambil membuka t-shirt putih yang membungkus tubuh kekarnya.
Julia berbalik membelakangi suaminya. Detak jantungnya naik secepat musik disco yang mengentak di dadanya. Seakan-akan, jantungnya hendak melompat keluar menembus tulang rusuk.
"Mana bajunya?"
"Hah? Se-sebentar, Tuan."
"Hubby!"
"Iya, Hu-bby." Julia membuka lemari, mengambil kemeja biru muda dan jas berwarna navy. Ia menaruh pakaian itu di atas ranjang. Saat memilih dasi, ia kebingungan sendiri.
'Dasinya banyak sekali. Mana yang harus aku pilih?' Gadis itu bertanya-tanya dalam hati dengan wajah frustrasi. Seumur-umur, ia tidak pernah memilih dasi karena tidak ada yang memakai benda seperti itu di kampung. Julia pun asal mengambil yang warnanya sama dengan jas yang dipilihnya tadi.
"Pakaian dan dasinya sudah saya pilihkan. Saya permisi," ucap Julia sambil membelakangi suaminya. "Akh!"
Damian menarik tangan istrinya, membuat wanita itu menabrak dada bidangnya yang polos. Julia segera menutup mata. Wajahnya memanas seperti terbakar, membuat warna kulitnya yang putih itu berubah merah seperti kepiting rebus.
"Siapa yang menyuruhmu pergi?"
"I-itu …." Julia tergagap menjawab pertanyaan laki-laki itu. Kedua tangan Damian melingkar di pinggangnya, sementara tangan halus Julia menempel di dada bidang suaminya. Suasana yang benar-benar canggung itu dipecahkan oleh suara Aldo.
"Ekhem! Kak, ada telepon dari manajer. Katanya, ada tamu yang menunggu sejak jam delapan tadi," ucap Aldo.
Julia mendorong tubuh Damian, saat Aldo masuk ke kamar yang tidak ditutup. Laki-laki itu pergi setelah melapor pada kakaknya. Setelah membuyarkan suasana romantis yang jarang terjadi.
"Pakaikan bajuku!"
"Apa? Kamu 'kan biasa pakai baju sendiri. Kenapa harus aku yang memakaikan?"
"Karena, kau, istriku. Itu tugasmu untuk melayani suamimu," jawabnya dengan senyuman jahil.
'Suami? Bisa-bisanya mengatakan tentang tugas seorang istri denganku, tapi kau tidak pernah melakukan tugasmu sebagai suami. Dasar aneh!'
"Kenapa diam? Aku sudah harus berangkat. Kau, tidak dengar, Aldo bilang apa barusan?"
Julia mengalah. Ia mengambil kemeja panjang biru muda dan memakaikan ke tubuh laki-laki yang seolah sedang menjadi orang lain. Sikapnya yang sedikit lembut, jahil, serta nakal di waktu yang sama.
Saat Damian memintanya mengikatkan dasi, Julia hanya bisa memegang dasi panjang itu. Ia tidak pernah belajar mengikat dasi sebelumnya. Saat ia sekolah, dasi yang dipakai bentuknya dasi instan.
"Sa-saya tidak bisa," ujar wanita itu.
"Belajar. Kalau besok masih tidak bisa, aku akan menghukummu!" Damian mengambil dasi di tangan Julia dan mengikatnya sendiri.
Julia pergi sambil membawa cucian kotor. Ia tersenyum tipis. Hubungannya dengan Damian mengalami kemajuan.
Laki-laki yang dingin itu perlahan-lahan berubah menjadi lebih agresif saat bersama Julia. Sampai ia tiba di samping dapur, debaran di dadanya masih bertalu-talu. Seperti irama musik yang saling bersambut antara alat musik yang satu dan yang lainnya.
*BERSAMBUNG*