Damian menunggu Julia dengan gelisah. Ia mondar-mandir di teras. Sudah dua jam sejak ia pulang, ia tidak melihat Julia di rumah.
Ia semakin gelisah karena tahu mobilnya yang lain tidak ada di garasi. Memikirkan istrinya pergi keluar dengan Aldo, darahnya mendidih. Gadis itu tidak pernah keluar rumah sebelum kedatangan Aldo di rumah itu.
Julia pergi keluar saat ia melarikan diri beberapa minggu yang lalu. Selain hari itu, ia tidak pernah pergi. Kehadiran Aldo membuat gadis itu berani keluar tanpa izin.
Aldo turun dari mobil untuk membuka gerbang lalu masuk kembali ke mobil. Ia melajukan mobilnya perlahan-lahan memasuki garasi. Setelah mobil berhenti, Julia turun.
"Dari mana kamu?!" tanya Damian dengan nada membentak. Membuat gadis itu berjingkat kaget.
"Saya … itu …." Suara Julia seperti tersekat di tenggorokan. Laki-laki di hadapannya ini, selalu membuatnya ketakutan saat marah.
"Di dapur tidak ada apa-apa untuk dimasak. Jadi, Aldo membawanya pergi berbelanja. Jangan hanya bisa marah-marah tanpa tahu apa yang terjadi. Kakak, bahkan tidak pernah memberinya uang untuk belanja, tapi saat kebutuhan dapur sudah habis, Kakak tidak memperhatikannya sama sekali," balas Aldo.
Damian terdiam. Ucapan itu memukul telak sang kakak yang memang tidak tahu jika isi lemari pendingin sudah habis. Ia juga sadar, memang tidak memberikan uang belanja sama sekali pada istrinya.
Selama ini, ia tidak menganggap Julia seperti seorang istri, melainkan seorang pembantu yang tidak pantas mengatur uang miliknya.
"Meskipun begitu, dia juga tidak pantas meminta pada adik iparnya. Ikut aku!" Damian menarik tangan Julia dengan kasar. Namun, Aldo menahan tangan yang lain, membuat Julia berada di tengah-tengah pandangan sengit kedua bersaudara itu. "Lepaskan tangannya!"
"Tidak! Kakak tidak pernah memperlakukan Julia dengan baik. Kenapa tidak berikan saja dia padaku?"
"Jangan melewati batasanmu, Do! Lepaskan tangan istriku!"
"Dia bukan istrimu, tapi pembantumu. Lepaskan saja dia dan biarkan aku membahagiakannya!"
Bug!
"Akh! Aldo!" Julia menjerit karena laki-laki tersungkur ke lantai.
Damian naik pitam dan menghajar adiknya. Ia hampir saja melayangkan tinjunya kembali. Namun, Julia menghalangi.
"Jangan pukul lagi! Aku mohon," ucap gadis itu.
Melihat istrinya memohon untuk laki-laki lain, ia semakin geram. Ia menarik Julia masuk ke kamar, meninggalkan Aldo yang duduk sambil memegangi pipinya. Damian mengunci Julia di kamarnya.
"Tch! Dasar munafik. Cemburu bilang saja. Kenapa harus memukulku. Aw … shh." Aldo mengusap darah yang menetes di sudut bibirnya. Ia bangun dan membawa belanjaan yang masih tersimpan di bagasi. Ia sengaja membuat laki-laki itu emosi untuk membuatnya menyadari perasaannya pada Julia.
***
Aldo memasak makan malamnya sendiri, begitupun juga dengan Damian. Mereka bertemu di dapur dan saling memberikan pandangan tidak suka. Aldo melirik ke kamar Julia.
"Sampai kapan, Kakak, akan mengurung Julia? Ini sudah jam makan malam. Aku sudah membuat nasi campur untuknya. Mana kunci kamar itu?" tanya Aldo dengan tangan menadah kepada kakaknya untuk meminta kunci kamar.
"Istriku, tidak perlu kamu yang mengurusnya. Ini peringatan terakhir! Jangan berani mendekati kakak iparmu lagi!"
Damian pergi membawa hasil masakannya. Segelas susu hangat, menemani nasi dan sayur di atas baki. Ia membawa makanan itu ke kamar Julia.
Pintu dikunci kembali dari dalam. Ia melihat punggung gadis itu turun naik dengan cepat, menandakan ia masih terjaga. Damian menyimpan baki itu di atas nakas.
"Aku membawakan makan malam untukmu. Bangun dan makanlah!"
"Tidak. Bawa pergi saja makanan itu! Aku tidak lapar," balas Julia. Ia tidak ingin melihat wajah laki-laki itu. Bahkan kedua matanya pun tidak ingin dibuka, meski ia tidak tidur.
"Aku tidak menawarkan, tetapi ini perintah. Bangun atau aku akan~"
"Akan apa?! Menambah hukumanku? Silakan!" bentak Julia dengan posisi masih berbaring memunggungi suaminya. Ia sudah belajar ikhlas menjalani rumah tangga bersama Damian. Namun, sikap lembut dan penurut Julia tidak juga membuat laki-laki itu berubah.
"Heh! Kenapa kau bisa bersikap lembut dan terbuka pada adikku, tapi tidak bisa padaku?"
"Aku sudah mencoba menjadi penurut, bersikap lembut, dan tidak membantah. Apa yang aku dapat? Tidak ada! Kamu tetap saja menganggapku gadis belian yang tidak layak menjadi istrimu."
Julia bangkit dari pembaringan. Melangkah pergi menuju pintu. Namun, Damian segera mengejar dan menggendong gadis itu.
"Akh! Lepaskan aku! Turunkan aku!" Julia memberontak, tetapi usahanya berakhir sia-sia saat Damian melemparnya ke tengah tempat tidur.
Damian merangkak di atas tubuh istrinya. Dengan emosi yang meluap, ia menyatukan kedua tangan gadis itu di atas kepala. Ia mengecup bibir Julia dengan paksa.
"Lep …. Lepaskan a-aku! Hiks …." Gadis itu mulai menangis. Tangannya terasa sakit. Belum lagi, bibir Damian yang menggigit bibir dan lehernya dengan beringas seperti seekor predator kelaparan yang sedang mencabik mangsanya.
"Kamu istriku. Sudah tugasmu untuk melayani suamimu. Ch! Entah untuk siapa kau mempertahankan keperawananmu," ejek Damian sambil beranjak bangun dari tubuh Julia.
"Memangnya kamu yakin kalau aku masih perawan? Bukankah, kau yang bilang kalau aku adalah wanita murahan yang sudah sering dijual?" Julia menjawab sarkas. Kata-kata itu melukai harga dirinya sendiri dan kata-kata itu ia sendiri yang mengucapkannya.
"Benar juga. Kau hanya gadis murahan, tidak pantas aku sentuh sama sekali," jawab Damian sambil berlalu pergi dari kamar itu. Ia mengunci pintu kamar dari luar.
"Hikss …. Hikss …."
Aldo hanya bisa bersimpati tanpa bisa membantu Julia. Kunci kamar itu dipegang oleh kakaknya. Meskipun ia merasa sangat ingin membantunya, tapi ia tidak berdaya.
Di kamarnya, Damian mengamuk. Ia membanting semua barang-barang yang ada di atas nakas. Hatinya terluka mendengar cibiran gadis itu.
Ia yang mengatakan hal itu dahulu, tapi saat kata-kata itu keluar dari mulut istrinya, ia merasa terluka. Julia tidak bersedia disentuh olehnya, bahkan mengembalikan kata-kata yang diucapkan oleh Damian dulu. Ia mulai menyadari, hatinya telah dimiliki gadis itu.
"Sial! Brengsek! Aku memang brengsek! Kebenciannya padaku, pasti karena kata-kata kasar yang sering aku ucapkan padanya dulu. Sekarang, bagaimana bisa, aku … menginginkan hatinya? Hahaha …."
Damian tertawa diiringi tangis. Setelah ia melukai hati istrinya begitu dalam, ia justru mulai jatuh cinta. Ia terlambat menyadari perasaannya.
Penyesalan selalu datang belakangan. Entah apakah ia mampu mengubah keadaan mereka saat ini. Ia ingin gadis itu menjadi miliknya seutuhnya.
Julia menangis di kamarnya. Ia sudah mulai memiliki perasaan pada suaminya sejak ia pulang dari kampung. Setelah ia tahu, keluarga Sanjaya tidaklah seburuk yang diceritakan orang-orang selama ini.
'Pada akhirnya, semua tetap sia-sia. Seberapa keras pun aku mencoba meluluhkan hatimu, kau tetap tidak melihat perasaanku.' Julia membatin di sela isakan lirih dalam hati.
*BERSAMBUNG*