Julia bangun seperti biasanya di pagi hari. Setelah mandi dan mengganti baju tidurnya, ia duduk di tepi ranjang. Menatap pintu kamar yang semalam dikunci dari luar oleh Damian.
"Masih dikunci atau sudah dibuka ya?"
Sudah waktunya ia membuat sarapan, tetapi ia masih bingung karena tidak mendengar Damian membuka kunci. Gadis itu melangkah dengan ragu. Tangannya terulur ke depan, memegang daun pintu.
Lalu, ia mendekatkan telinganya. Mencoba mendengarkan suara yang terdengar dari luar. Namun, ia tidak mendengar apapun.
Tidak ada suara Aldo ataupun Damian. Entah mereka masih tertidur atau mungkin sudah pergi bekerja? Julia memegang gagang pintu dan memutarnya perlahan.
Senyum kecil terbit di bibir tipisnya saat pintu terbuka. Ia bergegas pergi ke dapur dan memasak. Ketika ia sedang sibuk memasak, Aldo keluar dari kamar dan menyapanya.
"Selamat pagi, Kakak ipar."
Wanita itu menoleh. Dengan senyum tulus, ia menjawab sapaan hangat dari adik iparnya. "Selamat pagi, Al."
Aldo menarik kursi, lalu duduk dengan kedua tangan bersedekap di atas meja. Melihat Julia dan Aldo sedang di dapur, Damian diam-diam masuk ke kamar Julia. Ia menyimpan sebuah catatan kecil dan 2 kartu ATM di atas meja rias.
Setelah itu, ia pergi ke kantor tanpa sarapan terlebih dulu. Laki-laki itu masih takut untuk bertemu Julia setelah apa yang dilakukannya kemarin malam. Ia takut mereka kembali bertengkar seperti semalam.
Julia tersenyum getir ketika telinganya mendengar suara deru mesin mobil yang keluar dari Garasi.
'Dia bahkan tidak mau melihatku. Sebenci itukah dia padaku?' batin Julia bergumam lirih. Hatinya terasa sakit, bak disayat-sayat silet yang tipis dan tajam.
Entah sejak kapan Julia menyadari, iya mulai menaruh harapan pada laki-laki itu untuk bisa mencintainya. Mungkinkah …. Ia juga telah jatuh cinta pada laki-laki itu? Laki-laki yang telah menyandang status suami di atas kertas bersamanya.
Ia tidak akan merasa sakit, jika ia masih Julia yang dulu. Ia yang tidak peduli laki-laki itu menganggapnya sebagai istri atau tidak. Tidak peduli laki-laki itu akan mencintainya atau tidak.
Keadaannya berbeda sekarang. Ia begitu peduli dengan perasaan laki-laki itu. Ia ingin, Damian bisa mencintainya, menerimanya sebagai istri dan memperlakukannya selayaknya istri yang dicintai suaminya.
"Bagaimana perasaan, Kakak ipar, hari ini? "
"Perasaan apa? Sejak awal, pernikahanku dengan kakakmu hanya sebatas transaksi jual beli. Keluargaku menjualku dan keluarga kalian membelinya. Sudah seharusnya, jika diantara kami tidak ada perasaan apa-apa."
Suara Julia bergetar saat mengatakan itu. Hal itu bertentangan dengan apa yang dirasakan hatinya saat ini. Bagaimanapun juga, ia tetap manusia, tetap ingin merasa dicintai oleh seseorang yang juga dicintainya.
"Kau berbohong, Julia! Aku melihat jelas dari kedua matamu. Ada perasaan yang begitu dalam untuknya. Kakakku itu memang bodoh! Tidak bisa melihat perasaanmu dengan jelas.
"Andai saja, aku pulang ke kampung lebih dulu dari Damian. Mungkin, kau akan dinikahkan denganku bukan dengannya. Jujur, sejak pertama aku melihatmu …. Aku telah jatuh cinta padamu, tapi aku segera sadar diri saat kakakku memperkenalkan kamu sebagai istrinya.
"Jika kau benar-benar menderita, berlarilah padaku, Julia! Aku bersedia melewati batasan, jika kau datang padaku. Aku akan membuatmu bahagia dan tidak akan pernah melukai hatimu, selamanya."
Kedua manik netra bening sang kakak ipar membulat. Kata-kata yang diucapkan Aldo membuat Julia semakin sedih.
'Kenapa kata-kata indah itu keluar dari bibirmu, Al? Seandainya saja, kata indah itu diucapkan oleh Damian ... aku akan berlari padanya tanpa ragu. Tapi, kamu bukan dia Al.
'Aku tidak bisa berlari padamu, tidak bisa menyambut cintamu. Karena aku telah berjanji kepada Tuhan. Aku akan menemaninya seumur hidupku, dalam keadaan apapun dan aku akan memegang janji itu. Meskipun, janji suci pernikahan itu tidak ada artinya di mata Damian.'
***
Sampai tengah hari, Julia masih sibuk dengan pekerjaan rumahnya. Ia juga memindahkan beberapa tanaman bunga di dalam pot dan menanamnya ke tanah. Pohon bunga itu sudah terlalu besar, kasihan rasanya jika terus di dalam pot yang kecil.
Karena itu, Julia memindahkannya. Selesai berkebun, ia memasak untuk makan siang. Tepat jam dua belas, Damian pulang untuk makan siang.
Ia pikir, Julia sudah melihat catatan dan ATM yang ditinggalkannya di kamar. Namun, wanita itu tidak mengatakan apa-apa saat mereka makan siang bersama di meja makan. Bahkan, Aldo terus melirik ke arah sang kakak.
'Sepertinya … ada yang ingin ditanyakan oleh kakak, tapi apa ya?'
Damian terus mengaduk nasi di dalam piringnya. Bibirnya terbuka, ingin mengucapkan kata-kata yang ada di dalam hati. Namun, suaranya seakan tersekat di tenggorokan.
Kata-kata itu sulit untuk keluar. Sampai akhirnya, ia tidak menghabiskan makanannya dan memilih pergi ke kamar.
"Sepertinya, Kak Damian ingin mengatakan sesuatu. Kenapa, Kakak ipar, tidak pergi bertanya kepadanya? Ini kesempatan bagus untuk merebut hatinya. Kakak ipar, masih berniat melanjutkan tujuan kita, kan?"
"Aku tidak yakin dia akan menjawab jika aku bertanya."
"Apa salahnya dicoba dulu. Kalau tidak dijawab, ya, tinggal pergi saja. Ayolah … Kakak ipar! Pergi, tanyakan pada kakakku!"
Aldo mendorong Julia naik ke tangga, memaksa gadis itu untuk bertanya pada Damian. Meskipun, Julia merasa enggan. Ia pun akhirnya pergi ke kamar suaminya.
Ia menarik nafas dalam-dalam, menghembuskan pelan lalu mengetuk pintu kamar.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!"
Julia membuka pintu perlahan-lahan. Setelah bertemu suaminya, ia tidak tahu harus memulai dari mana. Mereka hanya saling memandang dengan perasaan sama-sama bingung.
Di dalam hati keduanya, tersimpan beberapa pertanyaan. Akan tetapi, sulit untuk diungkapkan. Hingga akhirnya, Julia memberanikan diri untuk memulai percakapan.
"Mau minum kopi?"
'Aduh! Aku ngomong apa sih?' Julia memaki dirinya sendiri dalam hati.
"Boleh," jawab Damian dengan Canggung.
"Hah? Oh, aku akan membuat kopinya dulu. Mau dibawa ke sini atau~"
"Disini saja."
Julia kembali ke dapur untuk membuat kopi. Aldo penasaran karena Julia terlalu cepat kembali. "Kenapa sudah kembali? Diusir ya?"
"Tidak. Aku kembali untuk membuat kopi."
"Oh." Aldo tersenyum. Setidaknya kakaknya tidak mengusir Julia. Ia berharap, mereka berdua bisa segera berbaikan.
Aldo mengambil kunci mobil dan pergi berjalan-jalan. Ia ingin memberikan waktu kepada mereka untuk bicara berdua dengan bebas. Lebih bagus lagi jika mereka bisa melakukan sesuatu yang lebih intim.
Mereka sama-sama mulai memiliki ketertarikan. Namun, keduanya masih terus memendamnya dalam hati. Julia yang dulu sangat membenci sikap Damian, merasa malu jika perasaannya diketahui oleh laki-laki itu.
Sementara Damian, ia tidak berani mengatakan perasaannya karena takut ditolak. Ia sangat kasar terhadap istrinya selama ini. Ia yakin, wanita itu pasti sangat membencinya.
*BERSAMBUNG*