Tubuh kekarnya mengeliat kasar di atas ranjang king size tengah ruangan. Perlahan mata bulatnya terbuka mencoba untuk menyesuaikan cahaya sang surya yang merambah masuk melalui celah tirai emas yang terbuka separuhnya. Tubuhnya bangkit. Menurunkan kasar selimut tebal yang membalut tubuhnya hingga dunia bisa mengekspos perut kotak-kotak dan dada bidang miliknya saat ini.
Tangannya sigap mengucek kasar sepasang lensa cokelat yang kini mulai terbuka sepenuhnya. Menatap punggung sang kekasih yang sudah rapi berbalut pakaian kemeja biru muda sedikit kedodoran dengan rok pendek yang menutupi paha hingga jatuh tepat di atas sepasang lutut miliknya dan sepasang sepatu heels tak terlalu tinggi dengan satu pita di tengahnya. Gadis yang sama yang masih menyisir helai demi helai rambut pendek sedikit ikal miliknya kemudian sesekali menepuk ringan kedua pipi tirusnya untuk memastikan bahwa make up yang diaplikasikannya sudah pas tak berlebih juga tak kurang hingga membuat wajah tak mempesona.
William Brandy, laki-laki dewasa yang sudah cukup lama menjabat sebagai kekasih hati Luna Theresia Skye. Paras William? Ah, bagaimana menjelaskannya?
Begini, singkatnya William itu hanya mempesona! Bukan pasal wajahnya yang tampan bak seorang model papan atas, namun pasal senyum dan kharisma serta caranya menatap. Sepasang lensa bulat dengan tatapan tajam meluluhkan itu lah yang membuat Luna jatuh hati padanya. Kumis tipis yang merata di bawah hidung serta jajaran jenggot yang tak kalah tipisnya ada menghias di atas dagu lancip miliknya. Hidungnya? Tentu saja lancip khas orang daratan Eropa. Kulitnya putih bersih dengan sepasang lengan berotot yang menghias tubuhnya. Tingginya menjulang. Jikalau Luna berdiri di sisi sang kekasih, gadis bermata tajam naik dengan sepasang alis tipis melengkung bulan sabit itu hanya setinggi dada bidang William.
Jika ditanya berapa nilai paras William kalau direpresentasikan dengan angka, 8 adalah nilai yang dirasa tepat. Tak dilebihkan juga tak dikurangkan.
Dengan Barend? Jika membandingkan mereka, William satu tingkat di atasnya. Sedikit lebih tampan, namun jauh lebih mempesona!
"Kau akan pergi ke kampus akhir pekan ini?" William menyela. Bangkit dari ranjang dengan menyibakkan kasar selimut tebal hingga jatuh di atas lantai. Berjalan ringan ke arah sang kekasih yang hanya mengerang ringan untuk memberi respon.
"Ada pertemuan penting dengan Dosen? Maksudku, akhir pekan adalah hari libur untuk kita 'kan?" tanya William merangkul tubuh sang kekasih dari belakang. Meletakkan dagu lancip berjenggot tipis miliknya tepat di atas pundak milik Luna.
Luna tersenyum ringan. Meletakkan sisir yang ada di dalam genggaman tangannya kemudian memutar tubuh ramping miliknya. Menatap sang kekasih yang baru saja mengubah raut wajahnya kecut.
Dalam bayangan William kemarin malam selepas 'bermain' bersama sang kekasih dalam sebuah adegan panas penuh gairah, ia akan kembali melakukan hal yang sama di pagi hari menyambut indahnya akhir pekan selepas lelah seminggu penuh beraktivitas. Mengeluti dunia perkuliahan dengan ribuan tugas dan perintah dari manusia tua menyebalkan yang menyebut diri mereka sebagai pembimbing, juga masuk ke dalam dunia kerja paruh waktu membuat William tak bisa banyak menikmati harinya sebagai seorang laki-laki muda yang ingin mencinta. Jadi dua hari di akhir pekan adalah waktu yang pas untuk melakukannya.
"Ada sesuatu yang harus ku ambil hari ini, Honey. Aku akan pulang nanti nanti siang, mungkin sore jika ada urusan mendadak lagi." Luna mengimbuhkan. Mengusap pipi tirus sang kekasih dengan lembut.
"Bagaimana denganku?" protes laki-laki setengah telanjang yang kini mengubah posisinya berjongkok di depan Luna. Meletakkan jari jemari panjang miliknya di atas paha gadis yang tak tertutup rok pendek yang dikenakannya saat ini. Mengusap perlahan permukaan kulit Luna dengan menggunakan ujung jari jemari miliknya.
"Kau menggodaku sekarang?"
William menggeleng. "Kau akan kedinginan dengan rok pendek ini," ucapnya menyanggah.
Luna tertawa kecil. "Aku akan menggunakan mantel pemberianmu tahun lalu."
"Kau tak ambil kerja paruh waktu hari ini?" Luna melanjutkan. Menarik dagu sang kekasih yang sedari tadi hanya menunduk sembari menyentralkan fokus lensa cokelatnya menatap sela-sela paha milik Luna yang saling berhimpit.
William lagi-lagi menggeleng. "Aku ambil cuti sampai besok," terangnya menjelaskan singkat.
"Kalau begitu pergilah bersama temanmu. Kau boleh ke bar siang ini."
Gadis berambut pendek yang begitu terlihat anggun dengan paduan pakaian yang dipilihnya untuk menghadapi akhir pekan itu bangkit dari tempat duduknya. Mengambil tas slempang berukuran sedang untuk menemaninya dalam menempuh padatnya jalanan Kota Amsterdam.
"Luna," panggil William lirih. Ikut bangkit dari tempatnya berjongkok dan duduk di sisi ranjang besar tempatnya 'bergulat' bersama sang kekasih kemarin malam.
"Mau menikah denganku?" tanya William melanjutkan.
Pertanyaan itu lagi! Dalam satu tahun terakhir ini, William Brandy selalu saja menanyakan hal yang sama. Dengan ekspresi wajah yang tak lain dan nada bicara yang juga tak terdengar asing untuk Luna Skye.
Gadis itu menghela napasnya kasar. Selepas tangannya sigap menarik mantel cokelat tua pemberian sang kekasih musim dingin lalu dengan gaji pertama yang ia kumpulkan, Luna berjalan mendekat. Duduk di sisi William kemudian meraih tangan sang kekasih. Mengusapnya perlahan sembari menurunkan padangannya untuk menatap jari jemari panjang milik William.
"Carilah pekerjaan dulu. Bukan paruh waktu dengan gaji yang hanya bisa memberi makan kita berdua selama dua minggu. Tapi, gaji yang bisa membeli rumah mewah dan mobil dengan sisa banyak untuk ditabung." Luna mulai menjelaskan situasi yang terjadi padanya kala William kembali menyinggung pasal membangun hubungan yang lebih serius dengannya.
"Menikah bukan hanya tentang tidur bersama, Willi. Kalau hanya tentang itu, kita sudah sering melakukannya 'kan?" tutur sang gadis dengan nada melirih.
William diam. Menatap sang kekasih yang kini kembali menghela napasnya berat.
"Aku akan menerimamu jika kau sudah punya pekerjaan tetap, kau paham maksudku 'kan?" Luna memungkaskan kalimatnya dengan senyum tipis nan manis. Meluluhkan hati William yang kini mulai menganggukkan kepalanya samar.
"Kau membenciku karena aku seorang pengangguran?" tanya William membuka suaranya.
Luna sigap menggelengkan kepalanya. "Jika aku membencimu karena itu, untuk apa kemarin malam aku tidur bersamamu, Honey?"
"Carilah pekerjaan sebab sebentar lagi kau akan lulus." Luna memungkas kalimatnya. Mengecup bibir indah milik sang kekasih dan melumatnya lembut.
"Bagaimana jika aku tak kunjung dapat pekerjaan?" William kembali menyela kala sang kekasih melepas ciumannya. Membuat Luna kini samar mengerutkan dahinya sebab kalimat itu kembali muncul di sela percakapan ringan mereka.
"Kau pasti dapat. Cari dan berusahalah dulu," ucap Luna kembali memberi senyuman manis untuk sang kekasih.
"Kau boleh menginap lagi jika mau. Mandilah dan ambil pakaianmu di dalam almari. Dua hari lalu kau meninggalkan pakaian dalammu di sini juga."
William menggangguk.
"Masukkan baju kotornya di keranjang. Aku akan mencucinya kalau kembali," sambung gadis itu bangkit. Meraih mantel tebal yang ada di sisinya kemudian memakainya.
"Aku pergi dulu."
"Be carefull, Honey!"
... To be Continued ...