Chereads / IMPERFECT CEO / Chapter 23 - 23. Time Will Tell

Chapter 23 - 23. Time Will Tell

Malam mulai larut. Hawa dingin menghadang bersama kerikan jangkrik khas yang hanya datang kalau sunyi malam menyapa. Lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan, jarum jam yang tadinya berada di angka muda kini mulai menua. Suasana sepi, sunyi bagi rumah yang tak berpenghuni juga tenang untuk kediaman yang hanya berisikan dua pasangan sedang saling mencinta. Luna Theresia Skye dengan William Brandy, sang kekasih hati. Tidur di bawah selimut tebal dengan busana yang sudah lepas dari tubuh mereka adalah hal biasa untuk Luna juga William. Hawa dingin kota Amsterdam seakan tak pernah diacuhkan menusuk masuk ke dalam tulang belulang keduanya. Gadis itu mengusap perlahan dada bidang sang kekasih, masih terasa panas dan lengket sebab keringat belum benar luntur dari tubuhnya.

Ia tersenyum sesekali. Melirik William yang terus menatapnya penuh gairah. Selimut seakan memanggang keduanya di tengah hawa dingin yang menusuk, mengabaikan fakta bahwa keringat masih membasahi tubuh mereka adalah alasan keduanya memakai selimut malam ini. William memuaskan hasratnya, lagi! Menjadikan sang kekasih dimabuk kepayang selepas dua botol bir dihabiskan oleh Luna. Rayuan dan sentuhan menggunggah gejolak yang dipendam gadis itu, membuatnya jatuh dan terhanyut dalam sebuah permainan indah penuh adegan panas.

Luna mendongakkan kepalanya. Bersama dengan pandangan yang naik ke atas, jari jemari gadis itu pun mengiringi. Kini membelai helai demi helai rambut William dan menatanya. Tak berantakan sebenarnya, namun Luna suka melakukan itu. Tak ada alasan khusus, hanya suka dan nyaman.

"Aku lebih suka jarimu bermain di atas dadaku," tutur William lembut. Suara beratnya masih terkadang tersela dengan helaan napasnya. Meskipun permainan telah usai, namun Luna rasa William sangat berlebihan malam ini.

"Kenapa?" tanya Luna berbasa-basi. Tatapan gadis itu menggoda. Seakan ingin kembali beradu dalam cumbu yang menggairahkan.

"Karena sentuhan itu membuatku nyaman." William mempersingkat. Merengkuh tubuh sang kekasih untuk kembali jatuh ke dalam pelukannya. Luna bersandar. Aroma tubuh khas seorang lelaki jantan kini masuk ke dalam lubang hidungnya. Benar kata orang, kalau sudah dimabuk cinta hanya pasal aroma tubuh saja bisa langsung bergairah.

"Tentang datang ke bar tadi siang ...." Luna mulai membahasnya lagi. Percakapan itu hilang kala Luna memutuskan bungkam tak bersuara sedikitpun. Hingga akhirnya sang kekasih memutuskan untuk menghabiskan senja bersama dua botol bir yang melegakan pikiran dan beban beratnya. Suasana seakan mengalir begitu saja. Luna menikmati begitu juga William. Semua ingatan dan kenangan buruk yang melekat seakan tertutup oleh rasa manisnya bir yang masuk ke dalam tenggorokan mereka. Katakan saja, mereka menghabiskan waktu untuk berpesta pribadi di dalam ruang kamar.

"Kau memutuskan untuk tidak membahasnya, kenapa tiba-tiba kembali membahas itu?"

Luna mendongakkan kepala. Ditatapnya William dengan penuh pengharapan. "Aku bertemu salah satu temanmu di sana."

William menarik wajahnya. Menjauh dari sang kekasih untuk membaca arti tatapan Luna malam ini.

"Namanya Nona Odile," sambungnya tersenyum aneh.

William perlahan melepas genggaman tangannya yang kuat mencengkram bahu milik gadis yang tidur di sisinya.

"Dia mengatakan alasanmu dipecat dari sana," paparnya mengabaikan perubahan ekspresi William.

Luna menoleh. Kembali menatap langit-langit kamarnya sembari menyandarkan kepala di atas dada bidang sang kekasih. Jari jemarinya kembali bermain manja. Membuat lingkaran kecil di atas perut kotak-kotak milik William. Luna tak merasakan detak jantung yang sedang meronta sekarang ini. Semuanya terlihat dan terkesan begitu tenang juga menguasai. William bukan pria yang mudah ditebak. Dirinya pandai menyembunyikan apapun keluh kesal yang dirasakannya dari sang kekasih, meskipun dalam pinta penuh permohonan dari Luna agar William mulai terbuka dengannya secara bebas. Tak ada yang dibatasi sebab Luna adalah kekasihnya sekarang ini.

"Apa yang dia katakan?" tanya William mulai mengintrogasi.

Luna mendongakkan wajahnya. Samar ia menatap lensa indah sang kekasih. William terlihat sangat tenang sekarang ini. Bukan seperti layaknya orang yang sedang terbongkar kedok buruknya.

"Kau melecehkan pelanggan di sana?"

"Dia mengatakan itu?" William menyahut. Kini jadi jemarinya kembali mengusap pundak sang kekasih. Hangat Luna rasakan kala telapak tangan besar itu membelai permukaan kulit tubuhnya.

"Aku tak ingin percaya, tapi dia mengimbuhkan bahwa kau sedang dalam keadaan mabuk saat itu." Tidak dusta memang, namun Luna menyembunyikan sedikit fakta yang didapat dari Nona Odile perihal sang kekasih. William berselingkuh darinya, menjadikan Luna seperti layaknya gadis bodoh yang tak tahu apapun sekarang ini. Luna tak ingin membahas itu sekarang, sebab tak lucu jikalau mereka bertengkar dalam keadaan telanjang bulat begini.

"Kau pasti marah 'kan?"

Gadis itu mengangguk ragu. Mengerang ringan untuk memberi respon. "Sangat marah. Bukan karena melecehkan pelanggan, tapi karena kau selalu mabuk tanpa alasan yang jelas."

William kini mencium puncak kepala gadis yang ada di dalam dekapannya. Menata helai demi helai rambut pekat milik Luna Skye. Nyaman, dirinya sangat nyaman berposisi seperti ini. Seakan Luna adalah pengganti obat penenang yang menghilangkan segala bebannya untuk sesaat. Gadis itu sangat polos. Mencintai William apa adanya tanpa banyak bertanya perihal 'siapa itu William Brandy?'

Jikalau diingat dengan baik, William yang mendekat Luna pertama kali. Terus mengejar dan mencoba meluluhkan hati gadis itu apapun dan bagaimanapun caranya. William tak menyerah, hingga akhirnya Luna luluh padanya. Menjalin hubungan dengan William tentu bukan hal mudah untuk gadis itu, mengingat William adalah laki-laki yang dicap sebagai buaya darat penuh tipu daya pada wanita-wanita yang ada di sekitarnya.

Luna menyadari hal itu, namun bukan menghilang dan memudarkan rasa cintanya semakin hari Luna merasa bahwa cintanya untuk William sangat besar dan tulus. Murni suci tak ada kedustaan ia berikan segala hidup dan harga dirinya untuk sang kekasih. Bodoh memang, namun mau diapakan lagi? Cinta memang terkadang membuat kita terlihat tampak bodoh dan payah.

"Aku hanya lelah." William menyahut. Alasan yang klasik untuk Luna. Acap kali ia bertanya, William selalu saja menjawab dengan jawaban yang hampir sama. Aku hanya lelah!

"Kenapa tak mencari ku dan mengatakan bahwa kau lelah? Alih-alih minum sampai mabuk begitu?" tanya Luna mengintrogasi. Laki-laki di sisinya kini terkekeh kecil. Menganggukkan kepalanya mengerti.

"Kau akan terbebani dengan keluhanku."

"Bagaimana kau bisa mengatakan itu pada kekasihmu?!" Luna memprotes. Menyentak pria yang kini kasar mencubit perutnya. Luna sangat menggemaskan jikalau sudah begini keadaannya. Amarah gadis itu bukan menyeramkan, namun lucu dan menggemaskan.

"Mau bermain denganku lagi?" William menyela. Ditatapnya Luna yang mendongak sembari memanyunkan bibirnya tajam.

"Kau tak lelah?" tanya Luna menolak.

William kian tegas mendekap tubuh gadis yang ada di sisinya. "Kita lakukan sekali lagi."

... To be Continued ....