Chereads / Sahabatku Cintaku / Chapter 16 - Mengatur Bahasa Untuk Melamar

Chapter 16 - Mengatur Bahasa Untuk Melamar

Setelah Indana merasa tenang dan pulas. Fai dan Tania keluar dari kamar, keduanya berjalan berbeda arah.

Tania ke arah kanan dan Fai berjalan ke arah kiri.

'Aku sangat dilema, aku sudah mengatur bahasa, apa aku benar sudah meyakininya? Apa aku ini ... heh,' batinnya dengan langkah semakin pelan.

"Tania ...." teriak Rifai.

"Ada apa?" tanya Tania, berbalik arah.

"Tidak jadi," ujar Fai berjalan cepat. Tania merasa aneh ketika Fai melarikan diri.

"Heh ... bagaimana ini," gumamnya, meneguk ludah tangannya sangat dingin dia mulai berkeringat.

"Aku yakin dan ingin memberi kesempatan, namun kenapa aku tidak mampu. Aku ingin hidup bersama susah senang bersama, berbagi batin dan berharap bisa, ah ... merananya aku," dia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang.

"Apa aku harus latihan? Apa aku harus kembali mengungkapkan? Heh ...." teriak yang tertahan lalu melempar bantal entah kemana. Dia kembali duduk mendirikan bantal lalu memandang wajah Tania di ponselnya.

"Hah ... belum berkata-kata sudah lemas dan rasa nyeri menyerang semua badanku," gumamnya kembali berbaring lalu menatap foyo Tania.

"Tania ... aduh ... huh ... maukah kamu menikah denganku? Aku tidak tahu sisa umurku, tapi yang penting aku ingin bersamamu sepanjang umurku. Kenapa mudah kalau tidak di hadapannya ... ha," ujarnya mengatur napas dan berdiri dia melangkah dan memutuskan.

"Ok ... lamar dia," gumamnya lalu berjalan, melihat Tania membawa botol dan melintasi kamarnya, dia kembali masuk dan segera menutup pintu.

'Heh ... eh ... aduh ... dia bukan hantu, huh ... tenang, latihan, dinginkan pikiranmu, huh ... Aku mencintaimu sepanjang waktu dalam hidupku. Maukah menikah denganku? Apa itu terlalu simpel? Hah ...."

Tok

Tok

"Pak Bos ... Pak Bos kenapa?" tanya Tania dari balik pintu, Rifai malah mengunci pintu.

"Aku tidak papa. Sudah tidur sana. Aku bilang tidur cepat!" titah Rifai dengan sikap aneh, dia mendengar suara langkah kaki menjauh, pelan-pelan dia akan membuka pintu.

"Lihat tidak ya? Huh ...." gumamnya tidak jadi membuka pintu.

"Tania ... Aku mungkin bukan kekasih pertamamu, ciuman pertamamu, atau cinta pertamamu, tetapi aku ingin menjadi yang terakhir. Maukah kamu menikah denganku? Hah ... bahkan aku belum pernah mencium seseorang," gumamnya sambil melonjak-lonjakkan kaki kebingungan.

"Pikirkan kata-kata lain ... ayo otak bekerja. Huh ... Kalaulah ... aku kumpulkan saat-saat gembira dalam hidupku, semuanya tidak akan dapat menyamai indahnya waktu yang aku habiskan denganmu. Maukah kamu menikah denganku? Tapi selama ini aku bicaranya sangat kasar. Hadeh ... makanya Fai kalau bicara dipikirkan dulu," gumamnya lalu mengambil bantal guling.

"Merananya aku ... Maukah kamu menikah denganku? Untuk menghilangkan kemeranaan ini. Aku akan selalu mencintaimu walaupun penantian itu begitu lama jika engkau memang bukan takdirku, maka aku bahagia telah memilihmu, ah ... kenapa dari tadi begitu ... keluarkan kata-kata yang istimewa Fai ...." ujarnya sendiri lalu berbaring dia meraih ponsel, namun dia meletakkan lagi ponselnya.

"Matahari dimusim panas. Bunga dimusim semi. Dan kamu hal terindah hidupku. Maukah kamu menikah denganku? Terlalu singkat ...." Fai berusaha untuk tidur, namun rangkaian kata muncul dan menjelma sebagai bayangan.

"Ekhem, kamu yang adalah sesuatu paling menakjubkan yang dapat menyentuh hatiku ... aku resah, hah entahlah, tidur tidak bisa malah ngomong sendiri, ha ... nyatain sekarang. Kamu berani," ujarnya lalu bangun, berdiri merapikan baju, berjalan membuka kunci pintu, membuka pintu.

"Kamu paling indah, dadimu aku suka, suaramu membisikiku walau kamu tidak di sampingku, dan hal termanis dalam hidupku adalah mencintaimu. Maukah kamu menikah denganku? Aku dari tadi terus berbicara sendiri dan mulut ini perlu olah raga," Fai terus menggerakkan mulut sambil berjalan merilekskan jari.

"Aku sudah hampir dua puluh langkah. Apa yang akan aku katakan? Beh ... gokil ... Kalau saja bintang-bintang bisa bicara, maka aku akan kirimkan lewat semua bintang, dan meminta mereka untuk mrngatakan, aku cinta kamu. Terlalu alay tidak sih ... Maukah kamu menikah denganku? Orang-orang bertanya padaku kenapa aku mencintaimu. Siapa yang bertanya, aku kan masih menyimpan cintaku ini. Aku itu sangat bodoh, karena aku merasa seakan-akan, aku bertanya padaku untuk apa aku bernapas, napasku juga napasmu. Maukah kamu menikah denganku?

Maukah kamu menikah denganku? Hati ini tidak akan melirik selain pada kekasihnya, janji suwer," gumamnya dari tadi tidak berhenti. Detak jantung sedang berhadapan dengan peperangan cinta.

Tok

Tok

Tok

"Aku selalu menghawatirkanmu dari setiap kesedihan yang akan mencuri senyummu. Maukah kamu menikah denganku? Aku tidak mau sesuatu dari dunia ini, karena aku sudah merasa mengambil semua kebahagiaanku saat aku mencintaimu. Maukah kamu menikah denganku? karena kamu juga kebahagiaanku. Aku ingin menjadi sesuatu yang indah dalam hidupmu yang dapat melukiskan senyum di atas kedua bibirmu tatkala engkau mengingatku. Mari sama-sama menjadi penghibur lara. Maukah kamu menikah denganku? Ketika kita mencintai, perasaan kita akan merasakan ketakutan, takut kehilangan, takut perpisahan dan takut berbagi. Maukah kamu menikah denganku? Hal terindah memang ketika engkau jatuh cinta, akan tetapi lebih indah jika orang yang kau cintai menyadari cintamu. Maukah kamu menikah denganku? Tania ... aku sudah mengungkapkan segelanya, hatiku gundah dadi tadi aku terus berbicara," ujarnya mengatur napas.

Krekk

"Terima kasih den ...." suara dari balik pintu, mata Rifai sangat terlejut ketika melihat wanita penuh dengan koyok, Fai mengela napas dan kesal dengan sendirinya.

"Bik Jah, Ha ... heh, capek-capek, mana Tania?"

"Sedang di tempat solat," jawab pembantu itu, Rifai sangat kesal dia melangkah cepat, dia berniat tidak akan melamar Tania.

"Jika benar begitu aku akan menerima," suara yang tidak asing, wanita cantik dengan mukena putihnya.

Rifai menghentikan langkah kemudian menoleh.

"Apa makaudmu?" suara gengsi dari Rifai.

"O ... maaf Pak Bos, aku kira tadi Pak Bos melamarku, namun ternyata aku salah dengar. Mana mungkin orang keren dan istimewa mencintai gadis sepertiku," ujar Tania sadar diri dan bergegas pergi, namun dia menoleh. "E ... maaf Pak Bos, kayaknya ... aku sangat malu, jadi ... aku tau diri, aku akan mengundurkan diri dari pekerjaan," ujar Tania lalu melangkah, Rifai menatapnya yang semakin jauh, dia rukuk lalu menghela napas dan berlari.

"Tunggu, maafkan aku yang terus berusaha ingkar, aku ... aku ... aku mules, tapi tolong jangan pergi dari sini. Aduh ... sudah tidak tahan," jelasnya lalu lari. "Tania ... aku mencintaimu ...." teriak Rifai saat berlari.

"Pak Bos itu sulit dimengerti, tadi aku dengar lalu saat memastikan dia mengelak, akukan jadi malu ... Ih ... tidak bisa ditebak," gumam Tania, galau.

Sedang Rifai berada di kamar mandi.

"Apa dia mendengar, semoga dia mendengar, karna sangat sulit mengakui perasaan ini ... aduh ... Fai ... Fai, semoga dia dengar kan aku sudah bersusah payah! Kalau tidak dengar bagaimana? Hah ... kenapa aku merasa takut. Setidaknya aku harus berusaha lagi," gumamnya.

Bersambung.