Saat duduk menikmati kemeranaan dan kekecewaan. Rifai menghela napas, dia berdiri lalu menginjak sesuatu.
[Aku hanya bisa berkata maaf. Semoga kamu bisa memaafkan aku. Aku hanyalah wanita yang seperti ini, jika kamu menolak ku aku juga tidak papa, kemarin kan aku sudah aku tidak pantas. Terima kasih selama ini kamu sudah baik sama aku dan maaf aku sudah menumbuhkan rasa cinta di hatimu. Asal kamu tahu ... mungkin aku memang tidak pantas bahagia dan layak. Aku serakah, aku mempunyai watak koruptor. Aku tidak pantas. Rasanya aku sangat malu karena sudah mengecewakanmu. Semoga nanti kamu bisa menemukan wanita yang benar-benar tulus mencintaimu, tanpa harta dan tahta. Aku tidak akan membela diriku dan tidak akan meminta lebih. Terima kasih dan maaf. Aku harap kamu akan menemukan seseorang yang dicintai Indana. Aku juga berharap jika ada seseorang wanita yang mau mendampingimu dia juga harus menerima Indana dengan tulus. Sekali lagi aku minta maaf karena sudah mencintaimu karena kekayaan.]
Tulisan tangan dari Tania membuat Rifai kacau. Pria itu tertegun dan memijat keningnya.
Hari demi hari berlalu begitu saja. Pria itu setiap hari manyibukkan diri. Sampai dia lupa jika ada Indana di sampingnya.
Indana merasa kesepian setiap hari. Namun gadis itu tetap berusaha tidak mengeluh dan menerima kenyataan karena takut Rifai akan marah.
Pikirannya tetap kepada wanita yang bisa mencintai Indana secara tulus. Indana juga sangat menyayangi Tania.
Rifai datang ke kamar Tania karena hendak mengambil berkas yang memang ada di kamar itu sejak dua tahun.
Dia melihat buku putih yang gambar daun.
Rifai berpikir lalu mengambilnya, dia duduk.
[Aku ini hanyalah wanita seperti ini. Anak dari koruptor dan anak dari ibu yang lumpuh. Aku tidak menduga jika aku bertemu dengan pria sebaik Pak Bos. Namun aku sadar diri ketika aku merasa sudah jatuh cinta kepadanya. Aku ingat aku siapa dan aku ingat aku tidak pantas dicintai karena ayahku yang seperti itu. Aku dan dia sama seperti awan dan bumi. Tidak mungkin juga aku bersanding dengannya, karena selama ini aku menginginkan orang yang kaya. Aku tahu cita-citaku salah jika aku ingin mendapatkan pendamping hidup yang sukses. Sesungguhnya aku tahu, hidup bersama orang kaya tapi tidak tulus itu lebih menyakitkan, mending hidup dengan sederhana namun mendapat cinta dan ketulusan. Mungkin aku memang ingin dicintai dan tidak bekerja lagi, aku ingin fokus menjadi ibu rumah tangga yang baik. Masak dan melayani suami serta menjaga anak. Aku menemukan sosok Pak Bos yang sangat baik kepada aku. Apakah aku salah jika mencintainya. Aku rasa aku tulus dan tidak mengincar harta. Heh ... tapi malu juga, aku tau diri. Status Ayah sudah menjelma dan tidak mungkin ada pria yang mencintaiku apa adanya.]
membaca itu mata Rifai meneteskan air mata di diary itu. Dia menghela nafas kemudian melemparkan buku itu kemudian bergegas.
"Dana, ayo ikut Ayah, ayah akan mencari tante Tania," ajakan dari sang ayah membuat Indana tersenyum sumringah kemudian berlari.
Keduanya bergegas menaiki mobil, Rifai melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah kecil milik Tania.
Karena jarak yang tidak jauh, mereka sampai namun rumah itu terlihat sangat sepi. Rifai turun Dana mengikutinya.
"Assalamualaikum Tania ... Assalamualaikum," teriak Rifai sambil menggedor-gedor pintu.
"Ayah aku melihat ibu tante Tania sudah meninggal, kemudian tante Tania akan pergi jauh. Sekarang menuju Bandara," ucap gadis mesin waktu. "Ayah masih punya waktu 43 menit lagi," imbuhnya.
"Ayo sayang kalau begitu," Rifai dan Indana bergegas, sangat cemas dan gelisah takut tidak bertemu takut kehilangan. Takut Tania pergi untuk selamanya. Rifai memberikan ponselnya ke Indana.
"Sayang ... kamu hubungi tante Tania, kamu cegah tahan agar Tante Tania tidak jadi pergi," pinta Fai, Indana berusaha menghubungi Tania.
'Ya Allah ... beri aku kesempatan agar aku bisa bertemu dengan Tania dan menjelaskan lalu memintanya untuk mau hidup bersamaku. Ya Allah ... aku sangat menyesal, bantu Hamba Ya Allah ... bantu Hamba,' batin Rifai dengan deraian air mata. Lampu merah, melihat waktu yang terus berjalan Rifai, menjadukkan kepalanya ke setir.
"Ayah tidak di angkat. Tante Tania sudah pergi," mendengar itu. Rifai hanya menghela napas. Penyesalan yang begitu menyiksanya, Rifai menyerah dan memutar mobil untuk kembali.
Drettt
Drettt
"Halo ... ayah ada pasien," ujar Dana, Rifai mengangguk dan segera ke Rumah sakit tempat kerjanya. Tidak lama mobil sampai.
"Sayang ... kamu sama suster dulu ya," pinta Rifai, Indana mengangguk memangis lalu tersenyum.
Rifai masuk ke ruangan segera mengambil jas dan keruangan pasien.
Dia melihat wanita yang berbaring dengan penuh luka.
"Tania ... ini kenapa Sus?" tanya Rifai segera memeriksa Tania. Tubuh lemas dengan penuh luka. Rifai membersihkan luka dan tidak kuasa untuk menahan air matanya.
"Kecelakaan karena menyelamatkan seorang anak," jelas Suster.
"Tania ... kamu harus bertahan, aku akan membahagiakanmu dengan tulus. Tania maafkan aku yang sudah menyia-nyiakanmu. Maaf Tania ... Maaf," ucap Rifau deraian air mata jatuh di dahi Tania. Peralatan impus saluran napas sudah terpasang. Keadaan semakin kritis.
"Tania kamu berhak bahagia, aku akan membahagiakanmu. Aku berjanji Tania, aku tidak akan membuatmu menangis, aku tidak akan membuatmu lelah ... Tania ... hekhekhek. Tania ...." panggil Rifai dengan suara pecah dan menggenggam tangan Tania.
"Maafkan aku yang meragu dan tidak mau mengerti keadaanmu. Maafkan aku ... Tania ... maafkan ...." Rifai tidak sanggup lagi menahan semua sesal dan sesak.
"Heh ...." deru napas yang berat terhembus, Rifai menaikan wajah, Tania membuka mata dengan pelan, memperhatikan sosok yang berada di sampingnya.
"Alhamdulillah ...." Rifai mengecup
punggung tangan Tania.
"Hiduplah bersamaku," ucapan Rifai dengan memandang wanita itu.
"Aku ... heh ... tidak ... ehhe ... bisa hi_hidup dengan orang ya_yang, meragukanku," jawab Tania sangat lirih. Rifai mengangguk dan menangis.
"Esh ... heh ... tidak papa. Aku tidak pantas dicintai. Heh ... terima kasih sudah membuat aku mengerti akan ketulusan. Kamu harus cepat sehat, ya ...." ujar Rifai melepaskan genggaman tangannya kemudia satu langkah akan pergi. Dengan memejamkan mata Tania meraih tangannya. Rifai berbalik badan.
"Apa ... tidak a_ada perjuangan darimu, yakinkan a_ku jika kamu tidak lagi meragukanku," ucapan Tania dengan suara tidak berdaya dan mendesis kesakitan.
Rifai tersenyum lalu mengecup punggung tangan Tania. "Aku tidak peduli dengan cita-citamu. Karena kamu berhak bahagia setelah lama berjuang dalam kepahitan. Mari kita menikah," ajak Rifai memandangnya, Tania menatap dengan mata sipit dengan tersenyum.
****
Waktu berlalu Tania sudah membaik dan di izinkan pulang. Saat pulang ke rumah Rifai, Tania disambut akan adanya Ayahnya. Tania sangat bahagia ketika Ayahnya hadir menjadi wali nikahnya saat hari itu pula.
Indana memakai gaun putih dengan hijab dengan bunga mawar. Tania dan Rifai duduk di pelaminan. Rifai memandang Tania dengan penuh cinta lalu menjabat tangan Ayah Tania.
Dia mengucapkan ikrar suci kemudian setelah sah. Rifai membawa Tania ke taman.
Mereka mengucap Hamdalah saling menatap, Rifai menarik kekasih halalnya lalu memberi kecupan hangat di bibir istrinya, Tania merangkulnya.
Indana masih berada di tempat makan, dia makan brownies sambil menatap langit cerah.
"Alhamdulillah ... Ayah, Bunda aku punya Ayah dan Bunda. Terima kasih Ya Allah ...." Indana tersenyum bahagia.