15 tahun Kemudian.
Waktu berlalu sangat cepat. Zahra Indana tumbuh menjadi gadis remaja. Kini usianya menginjak 15 tahun.
Indana meminta Rifai untuk menceritakan kenangan dari kedua orang tuanya.
18 tahun lalu. Indana Mendengarkan Ayah angkatnya.
Langit mendung petang, entah mentari pagi bersembunyi di mana. Pasti bersembunyi di balik awan mendung, suasana hujan mengguyur kota Surabaya di pagi hari, dengan keadaan seperti itu membuat hati tak nyaman.
Indana gadis 20 tahun ini, adalah gadis perantauan, ia menimba ilmu Sastra Bahasa Indonesia di Surabaya Universitas Air langga, ia sudah tiga tahun hidup sederhana umumnya gadis kuliahan. Gadis ini memang masih sangat imut tanpa make Up dia juga sangat manis.
Niatnya ingin jadi novelis tetapi fikirannya sering tak menentu, ia memang terlihat aneh, gadis berjilbab yang cantik, manis ini dengan sikap tomboy nya dan ia bergaul denga dua pria. Ahmad Rif'an Sofian, fakulitas mesin dan teknologi umur 22 tahun dan menempuh S2. Dan Rifa'i maflevi 22 tahun fakulitas kedokteran ia akan segera lulus.
Mereka menjalani hubungan teman sejak awal kuliah Indana di Surabaya.
Rif'an dari Makassar dan Rifa'i dari Manado. Walau mereka beda jurusan dan umur tapi mereka sangat kompak. Dalam melakukan kebiasaan donasi gerakan muda bersama.
Mereka bertemu di bandara Makassar, itulah awal pertemuan yang tak di sangka hingga menjadi hubungan sahabat. Sampai saat ini.
Rif'an duduk di samping Indana.
"Jadi ingat awal kita bertemu,"
"Itu memalukan.. Tolong jangan bahas, bagaimana hubunganmu?" Indana mengalihkan pembicaraan.
"Ini adalah hubungan semu, aku mudah bosan." Rif'an menjawab dengan remeh dan santay, Indana tersenyum remeh.
"Rifa'i di jodohkan." Terang Rif'an tiba-tiba.
"Apa? sama siapa? jaman sekarang di jodohkan." Indana sangat terkejut, rasa penasaran menjadi-jadi.
"Santay Mbok. Sama Nadia Aljufri itu lhooo, Dosen jufri," Rif'an menjelaskan.
"Kok bisa? aneh banget, ah bohong iya 'kan?" Indana sangat rempong.
"Kau terlalu rempong, memang ya kau Hawa itu mudah ghibah, terserahlah."
"Kan, kamu dulu yang cerita, aku jadi kepo. Tolong beri tau cerita selengkapnya."
"Awal mulanya Rifa'i menyelamatkan Nadia dari preman. Dari situ pak Jufri, menjodohkannya." Terang Rif'an.
"Aduh ketinggalan bahan sensasional nih aku," Indana terlihat sangat menyesal dengan hal yang tidak penting. Rif'an tertawa melihat wajah Indana yang tak bisa di gambarkan konyolnya.
"Terus, Rifa'i mau?" Tanya Indana hanya di jawab dengan bibir melebar kebawah
"Apa itu artinya? kalau bicara aku faham kalau dengan bibir seperti itu aku tidak dong(mudeng). Hu." Indana mematrekkan bibir Rif'an. Rif'an tertawa.
"Ha ha ha Aku tak sekonyol kamu.ha, ha ha.." Tegur Rif'an yang masih sedikit menahan tawa.
"Kita lanjut nanti, akan ku introgasi tuh, Rifa'i, aku pulang nanti jam 1: 23 menit, aku sampai kossan 12 menit, solat duhur 10 menit paling lama" Indana masih menghitung, Rif'an tersenyum dan bergeleng-geleng,
"Lama dopoknya (ngerumpi) ketimbang berdzikirnya." Tegur Rif'an.
"Hallah, kamu juga. Semoga saja hujan reda." Indana kesal ia ketinggalan berita. Rif'an tersenyum
'Semoga saja cintamu terbalas, aku kasihan padamu gadis waktu.' Isi hati Rif'an.
Ia turun Rif'an melepas jaketnya memanyungi Indana. Mereka berlari ke Kampus.
"Dasar mesin waktu, setiap apapun kau hitung, kau cemburu?"
"Sangat, bagaimana pun aku sangat kagum sama Fa'i." Jelas Indana, Rif'an tersenyum miring.
"Ya semoga saja, tidak jadi berjodoh." Doa jelek Rif'an untuk Fa'i.
"Amiin ya Allah..." Indana sangat bahagia di dukung Rif'an. Mereka sudah di tempat teduh yang di bangun sangat kokoh dari beton.
"Trimakasih Kak Rif'an."
"Dasar ada maunya baru kak, udah sampai semangat, jangan halu." Mereka saling melempar senyuman,
"Aku gagal fokus ingin buat novel malah fikiran kacau, apa mungkin aku belum ada bakat untuk jadi novelis" Indana meragukan kemampuannya, Rif'an tersenyum lalu berjalan berbeda arah.
"Sekolah sastra tapi kalau tidak bakat ya tidak jadi. Eh galau" gumamnya yang laluasuk kelas.
Aku adalah gadis mesin waktu yang kesepian, kenapa tidak ada yang mau berteman denganku, apa aku terlalu aneh, atau, memang mereka sungguh terlalu. Semangat Dana! Kamu pasti bisa, menggapai cita dan cinta bukanlah muda, kenapa ada cinta? Dasar Aneh!
Ngomelnya di dalam hati
Hidup hanya sekali, dan waktu terus berganti yang bisa memperbaiki diri, hanyalah diri sendiri. Terus berusaha mencari kekurangan lalu memperbaiki secara perlahan. Semua butuh proses. By Aditi Indana Fariha.
Indana mulai membuka kata-kata puitis dari Guru maupun Guru dari buku. Ia sangat mengidolakan Khalil Gibran.
"Orang-orang optimis melihat bunga mawar, bukan durinya, orang-orang pesimis terpaku pada duri dan melupakan mawarnya [Khalil Gibran ] Sangat memotifasi, kala rasa tak percaya diri menerjang, kala mereka meremehkan, aku nyaman dengan diriku. Dan aku berusaha tidak mendengarkan." Gumamnya setelah membaca buku tebal kumpulan, Puisi, Pantun, dan lainya.
Indana sering di pojokkan karna ia bergaul dengan Rif'an Dan Rifa'i, ia di anggap gadis tidak bermoral.
"Hay, aku Fatin," Gadis manis berambut panjang yang hitam, dengan mata yang indah, memperkenalkan diri ke Indana, dengan mengulurkan tangan, Indana menaikan wajahnya, memberi senyum hangat untuk teman barunya. Indana menjabat tangannya.
'Kalau model seperti ini kesukaan Rif'an.' Batin Indana.
Fatin menarik bangku ia duduk di sebelah kanan Indana.
"Hay jangan mau berteman dengan dia, dia murahan." Ucap cepat gadis berambut sebahu.
"Dasar Maimunah" gumam Indana dengan raut wajah kesal.
"Maaf, aku terbiasa tidak mendengar kata orang." Jawaban tegas Fatin, Indana tersenyum lebar, ia merasa di hargai.
"Dasar." Keluh gadis itu.
"Kamu dari mana?" Indana mencoba lebih akrab, Fatin sibuk menata buku-bukunya.
"Aku dari Malang, orang tuaku pindah ke Surabaya, jadi terpaksa kuliah juga harus pindah. Aku belum tahu namamu?"
"Aku Indana, panggil aja Dana. Aku dari Palu."
Jelas Indana ia mencoba akrab.
"Yang gempa dan stunami itu?" Ingatan Fatin soal kejadian musibah besar di Palu,membuat Indana terdiam sejenak.
"Iya." Indana mencoba tegar.
"Apa aku salah bicara?" Fatin faham dengan raut wajah Indana yang tiba-tiba mendung.
"Kedua orang tuaku sudah meninggal saat gempa, sekarang aku hidup dengan Paman dan Bibik, tapi mereka di Palu. Syut guru masuk." Ucap indana tiba-tiba menyuruh diam.
"Mana?" Fatin langsung menghadap pintu.
"Tik Tok Tik Tok." Benar saja kata Indana.
Dosen dengan badan besar dan berkumis tebal itu namanya pak Hari. Dia terlihat galak tapi kata-katanya sangat puitis.
"Salam semua, bagaimana hari kalian?"
"Baik pak..." Jawab bosan para Siswa dan Siswi.
Pak Hari duduk.
"Bosan? apa perlu di beri lagu disco agar tidak bosan, kalian itu kalau belajar malas, tapi kalau pacaran atau main HP 45 semangatnya. Indana..."
"Iya pak?"
"Saya akan mengisi sastra puisi di pelajaran ini, tapi ingatkan saya setelah 40 menit, mulai dari sekarang jam 09: 20 menit, oke Indana? saya tidak bawa ponsel dan jam, jadi ketika jam 10:20 menit, ingatkan ya..." Suruh dosennya sambil membuka buku, tebal Bahasa Indonesia.
"Baik pak," 'Aku hanya di butuhkan sebagai mesin waktu, sangat menyedihkan, mereka mau bertanya hanya karna soal waktu. Ini juga hadiah dari Allah Indana, tidak boleh mengeluh, padahal yang lain punya jam, kenapa tanya padaku. Sabar!!! .' Lanjut di dalam hatinya.
"Sejatinya manusia hanyalah hiasan sementara. Saling dukung, saling menghargai, seperti mendung yang di hiasi pelangi, gelap kelabu sangat suram namun warna pelangi akan membawa cahaya. Kita manusia punya banyak kelebihan dan kekurangan, namun semua tergantung pada diri sindiri. Mau mewujudkan cita-cita atau berhenti dan tak maju. Oke itu hanya basa basi. Kita lanjut ke pelajaran, Sastra Bahasa Indonesia, terlihat mudah tapi juga sulit."
Bla
Bla
Bla.
"Pak, maaf kelewat dua menit sekarang jam 10: 22 menit 33 detik." Indana mengangkat tangannya.
"Oke, makasih Indana. Oke semua ini sangat membosankan, bahkan dosen sendiri bosen melihat kalian yang lesuh. Sama-sama bosan jadi saya pamit. Assalamu'alaikum." Dosen melangkah keluar.
"Wa'alaikumsalam" serempak semua, setelah dosen keluar Indana hanya membaca bukunya.
Fatin membuka ponselnya, ia menoleh ke Indana, ia kagum seketika dengan Indana.
"Bagaimana kau bisa?" Fatin sangat tertarik dan ingin memelajari dari Indana.
"Bisa apa? masalah waktu?" Indana melihat Fatin
"Iya, itu ajaib. Aku ingin tau caranya." Fatin mendekatkan kursi ke Indana, Indana tersenyum.
"Itu mengalir begitu saja, waktu kecil aku sangat suka melihat matahari, walau tepat jam 12 teriknya tak bisa di lihat oleh mata, tapi aku di beri kelebihan lebih dari situ, dari situ awal mula nya, ini bukan hal spesial. Istimewa jika kita bisa meraih cita-cita walau rintangan menghadang. Aku lapar aku mau makan." Indana menarik kursi ke belakang lalu ke kantin.
'Rindu ini menjelma ke bagian isi tubuhku, Mak, Pak, aku rindu, aku hanya gadis mesin waktu yang kesepian. Mereka bertanya bagaimana bisa, ya bisa karna izin Sang Pencipta. Jantungku bahkan detakkanya lebih cepat dari detik, kadang lamban kadang lebih cepat. Kekuasaan Allah, SubhanaAllah' Langkah Indana di iringi kata-kata kerinduan.
Ia makan, Rif'an dan Rifa'i mendekatinya. Senyum Indana melebar. Namun setelah Nadia datang Rifa'i tidak jadi duduk di sebelah Indana, dan memilih dekat dengan Nadia, senyum di pipi Indana luntur.
"Aku jatuh cinta, kepada dirinya, sungguh, sungguh, cinta...ooo apa adanya." Rif'an bernyanyi, lagu Band Raulette tahun 2011.
Indana mencubit Rif'an.
"Apa sih."
"Aku senang akhirnya aku bisa menciptakan barang berguna."
"Apa?"
"Gadis mesin waktu," Mata Indana membulat kesal. " Maksudku jam tangan namun ada alarmnya, aku mulai membuat boneka kayu bisa bergerak sendiri, dengan alat, kau ingin tahu." Panjang lebar ternyata garing.
"Rempeyek. Garing mas brow, baiklah untuk sahabatku, nanti setelah solat magrib, aku ingin lihat karya anda, aku laper banget, nanti tidak dapat fokus buat novelnya." Indana memasukkan bakso ke dalam mulutnya.
"Kau membuat novel, keren tuh, aku akan jadi pembaca pertama. Ngomong-ngomong apa judulnya?" Rif'an bertanya beruntut. Indana memandang Rif'an.
"Aku sedang makan Rif'an, perutku perlu di isi, udah rame banget nih..., bunyinya mereka teriak-teriak terus tanpa henti. Dan menyiksaku ini sangat mengerikan." jelas Indana, "Trimakasih kau sudah mendukungku" lanjutnya.
Rif'an mulai menyantab makanannya.
"Ham" Dengan keras di depan Indana.
"Apa kau ingin dengar apa yang baru ku hafal selama 3 detik."
"Hmmm" Rif'an mengunyah, lalu melotot karna Indana tidak cepat bicara "Silahkan..."
"Moncrat, ih jorok." Indana mengambil tisu lalu mengelap wajahnya.
"Untuk memahami hati dan fikiran seseorang, jangan lihat apa yang sudah ia capai, tapi lihat pada apa yang dia cita-citakan. Khalil Gibran, aku jatuh cinta..."
"Kepadaku?"
"Pada Khalil Gibran, dan masih banyak lagi, aku selalu terpesona dengan bait-bait puisi. Sahdu, mesra, menyadarkan diri."
"Dasar, nih minum, aku segera masuk." Rif'an berdiri, ia mengambil tisu.
"Kenapa masuk, bukannya biasanya? kurang 8 menit." Indana mencoba menaha.
"RHS, mau tau aja. Kepo." Rif'an pergi dengan berjalan cepat. Indana menoleh ke Rifa'i yang asik ngobrol.
Indana kembali ke kelas dengan manyun.
Bersambung.