Kemudian Negeri Tresnosari setelah berada di bawah kepemimpinan Raja Arya Diputra sedikit mengalami perubahan, nampak terlihat lebih baik tampilannya apabila dibanding periode sebelumnya yaitu ketika masih dipimpin oleh Prabu Dharma yang bisa dibilang terlalu fulgar dalam memperlihatkan kesewenang-wenangan dan arogansinya kekuasaan.
Namun sayangnya perubahan itu bukannya dengan menghilangkan sikap kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaannya itu akan tetapi cuma dengan membuatnya lebih halus alias tidak mempertontonkannya dengan cara fulgar, dan bisa terjadi demikian lagi-lagi itu karena sikap cerdik dan liciknya Raja Arya Diputra yang memang sangat lihai dalam membungkus sikap kesewenang-wenangan dan arogansinya dengan lebih halus sehingga samua apa yang dia jalankan dikepemimpinannya itu nampak terlihat baik-baik saja.
Kita tinggalkan dulu Raja Arya Diputra dengan segala macam kebusukannya, sekarang mari kita lihat kehidupan Sanjaya putra Wira yang dijuluki para Jin dengan sebutan Pendekar Mayat sakti, setelah hampir lima tahun tinggal di desa kini usia Sanjaya sudah memasuki sepuluh tahun.
Ada yang berubah pada diri Sanjayadari yang sebelumnya memiliki sikap sopan dan ramah kini menjadi lebih galak dan mudah marah, meskipun terbilang anak pendatang tapi bisa dibilang saat ini dia itu telah menjadi ketua anak-anak seusianya yang ada di situ, hampir bisa dikatakan semua anak yang tinggal di kaki Gunung Muktisari itu tunduk dan patuh kepadanya, namun meski begitu pada hakikatnya dia masih memiliki sifat baik, karena dia tidak akan pernah menghajar kalau dia tidak disalahin lebih dulu, tapi kalau misalkan dia dulu yang disalahin maka bisa dipastikan dia akan menghajarnya secara habis-habisan, tidak peduli itu anak seusianya ataupun yang lebih dewasa.
Perubahan sikap Sanjaya itu sebenarnya dampak dari dia melihat tindak kejahatan yang diterima oleh sang Ibunda Putri Mekarsari, karena dengan mata kepalanya sendiri dia melihat ibunya tergeletak dengan tanpa busana karena akibat dari ulah jahat Prabu Dharma dan Arya Diputra, dia sudah mengetahui semuanya akan peristiwa itu juga tentang kematian sang Ayah Wira yang juga disebabkan oleh fitnah oleh Arya Diputra dan gerombolannya.
Oleh karenanya mulai sejak itu dia sangat menaruh dendam kepada para petinggi Kerajaan Tresno Sari dan bertekad akan menuntut balas atas kematian sang Ayahanda dan penderitaan yang dialami oleh sang Bunda Putri Mekarsari.
Sementara itu Putri Mekarsari sendiri setelah kini menjadi orang kampung dia terlihat sudah terbiasa menjalani hidup barunya itu, dari yang sebelumnya selalu mendapat perlakuan istimewa dan kelengkapan fasilitas sekarang kini dia sudah terbiasa berpeluh-peluh di ladang untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Sebenarnya diawal kedatangannya di kampung itu cukup banyak laki-laki yang menginginkannya untuk jadi istri, akan tetapi semuanya itu dia tolak dengan cara yang halus, sang Putri sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan menikah lagi, karena dihatinya sudah tidak ada tempat bagi laki-laki lain selain Wira yang meskipun sudah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Pada suatu pagi nampak Putri Mekarsari telah selesai membuat sarapan untuk dia dan sang Putra Sanjaya, Sanjaya yang semalam habis begadang dengan teman-temannya nampak masih tidur.
"Santana ... bangun Nak ... ayo kita lekas berangkat ke ladang ... nanti keburu siang lho ...!" teriak Putri Mekarsari, dan berkali-kali dipanggil tapi sepertinya Sanjaya belum bangun juga, dan akhirnya Putri Mekarsari pun merasa jengkel, lalu dia pun nampak mengambil sebuah gayung yang terbuat dari batok kelapa dan kemudian langsung mengisinya dengan air.
"Awas ya kalau gak bangun! Ibu siram baru tau rasa kamu!" ujar Putri Mekarsari sambil bergegas menuju ke kamar Putranya itu.
Lalu rupanya Sanjaya yang sebenarnya sudah bangun dan hanya karena lagi merasa malas itu langsung segera berdiri dan beranjak keluar dari kamarnya, dan akhirnya berpapasan dengan sang Ibunda tepat di depan pintu kamarnya itu.
"Ayo buruan! Hari ini tugas kita banyak, menyirami sayuran kita yang sudah mulai layu itu," seru Putri Mekarsari.
"Iya-iya Bunda ..." jawab bocah berumur sepuluh tahun itu.
"Makanya kalau malam itu jangan banyak begadang! Jadi ngantuk gini to akhirnya ...?" ucap Putri Mekarsari nampak mencela kebiasaan Putranya tersebut.
Lalu dengan gelagat masih terlihat malas Sanjaya melangkah menuju ke arah dapur.
"Lho, lho, lho ...! Ayo berangkat ... ini lho sarapannya sudah Ibu bawakan, nanti kamu makan di ladang saja," seru bunda. Lalu mereka berdua pun segera bergegas melangkah menuju ke ladang.
untuk sekedar diketahui bahwa saat ini ladang yang digarap oleh Putri Mekarsari dan Sanjaya itu mereka dapatkan dari menyewa, karena sewaktu keluar dari Istana Tresnosari dulu sang Putri memang membawa beberapa keping uang yang hanya cukup untuk menyewa tidak untuk membeli, dan adapun lahan Wira yang dulu di titipkan pada tetangganya yang bernama Kang Sembur itu saat ini sudah diklaim oleh anaknya, karena memang Kang Semburnya saat ini sudah mati.
Lalu begitu tiba di ladang, Sanjaya pun langsung sarapan dan setelah selesai sarapan dia pun segera mulai bekerja dengan mengambil air dari sungai dengan menggunakan wadah yang terbuat dari tanah liat, namun sayang ada hal yang terjadi di luar dugaan ditengah-tengah dia mondar-mandir naik dan turun sungai dan belum juga dapat separuh menyirami tanaman sayurnya itu tiba-tiba secara tidak sengaja dia terpeleset.
"Ooe ...!" dan tak ayal lagi wadahnya itu pun langsung jatuh dan mengakibatkan semua air yang dia pikul dari sungai itu pun tumpah ruah semuanya ke tanah.
Byaar ...!
Akhirnya bocah berumur sepuluh tahun itu pun langsung marah dan menendang wadah yang sudah terbelah menjadi empat bagian itu.
"Hiyak ... hiyyak ... hiyyak ... hiyyak ...!" pecahan wadah itu pun langsung melesat berterbangan ke udara. Sang Bunda yang melihat tingkah laku Putranya itu pun langsung menggelengkan kepala dan segera bergegas mendekati.
"Ada apa Sanjaya?" tanya Bunda Mekar.
"Ini lho Bu sudah capek-capek Periuknya malah pecah," ujar bocah sakti itu.
"Hehh, ya sudah memang itu bukan wadah yang tepat untuk ngambil air dari sungai, besok kalau sudah ada uang kita beli yang terbuat dari kulit. Tadi kamu terpleset ya?" tanya Bunda sambil tersenyum manis pada Putranya itu.
"Iya, mana belum selesai juga nyiramnya," balas Sanjaya terlihat mengeluh. Sebenarnya sebagai bocah yang memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, mengambil air dari sungai bukanlah sesuatu yang sulit untuk dia lakukan, namun kalau keadaan memang belum terlalu memaksa Sanjaya memang tidak akan menggunakan kesaktiannya itu, dan setelah satu-satunya wadah yang dia miliki itu pecah akhirnya mulai terpikir olehnya untuk menggunakan kesaktiannya untuk menyelesaikan pekerjaan menyirami tanaman sayurannya itu.
'Aku akan memindahkan air itu dari sini saja," ujar Sanjaya sambil matanya melihat sungai yang memang cukup curam itu.
Namun begitu dia hendak bersiap untuk mengeluarkan ilmu kesaktiannya tiba-tiba Bunda memanggilnya.
"Sanjaya coba kamu pinjam wadah pada Pak Suripto, sepertinya dia sudah selesai menyirami tanamannya," ujar Bunda Mekar sambil menunjuk pada laki-laki yang terlihat sedang merokok sambil leyeh-leyeh disebuah gubuk. Dan perlu diketahui bahwa orang yang bernama Suripto itu adalah Putra menantu dari mendiang Kang Sembur, orang yang dulu di titipin lahan pertanian oleh Wira.