Chereads / MY SWEET LECTURER / Chapter 30 - MSL - BAB 30

Chapter 30 - MSL - BAB 30

Back To The Track

Aku tidak bisa terjatuh dalam tidur meski aku sudah mendengar dengkuran lembut Christ. Entahlah, haruskah aku tetap ada di kamar ini dalam pelukannya atau meninggalkan dia dan pergi ke kamarku.

Tapi sepanjang malam aku berpikir, sudah begitu banyak kejadian buruk yang terjadi baik padaku maupun pada Christ sejak kami bersama.

Apakah aku membawa kesialan dalam hidupnya atau apa, tapi akhir-akhir ini hari-hari yang kami lewati benar-benar buruk. Aku menoleh ke arah Christ dan dia benar-benar pulas, kurasa dia tidak akan tahu jika aku diam-diam meninggalkannya dan kembali ke kamarku.

Aku menurunkan tangan Christ yang melilit perutku kemudian beringsut perlahan dan berjinjit menuju pintu. Kutarik handel pintu dan setelah aku membuka pintu, kusempatkan untuk memandangnya sekali lagi. Melihat pria itu tertidur pulas merupakan pemandangan berharga yang jarang terjadi dihadapanku, dan kali ini aku melihatnya dengan sangat puas.

Aku menutup pintu kamar Christ dan pergi ke kamarku. Kusambar laptop dan kubuka emailku, setumpuk pekerjaan rumah untukku dari beberapa mata kuliah yang sempat terlewat olehku karena harus terbaring di rumah sakit beberapa lama. Aku segera mengambil beberapa buku yang sempat kuambil dari perpustakaan Christ dan mulai mengerjakan tugasku.

Ini gila, begitu banyak hal yang kulewatkan selama lima belas hari terakhir dan sekarang waktunya aku mengejar ketertinggalanku, aku tidak mau kuliahku berantakan, karena ini adalah mimpiku meski ada mimpi-mimpi lain yang tak kalah indah yang datang menyertainya.

Pukul tiga, itu terakhir aku memperhatikan jam dan aku masih menyelesaikan makalah terakhirku. Baru sampai bab dua dan rasanya tulang-tulangku sudah sakit semua karena harus duduk dengan posisi yang tidak nyaman. Mataku bahkan mulai berair karena terlalu banyak menatap layar laptopku.

***

Aku terhenyak bangun dan segera melihat ke arah jam. Oh tidak aku akan terlambat untuk kuliah pagiku, dan hari ini Christ akan mengisi kuliah pertama.

Aku terbirit-birit ke kamar mandi dan bergegas untuk mandi dan berganti pakaian. Saat aku keluar dari kamar dan berjalan melewati lorong dengan tumpukan buku ditanganku juga tas rangselku aku berpapasan dengan seorang pelayan.

"Tuan meminta anda sarapan sebelum pergi."

"Aku sangat buru-buru."

"Tapi . . ."

"Aku akan sarapan setelah aku sampai di kampus." Aku segera berlari meninggalkannya dan menuju lantai satu, sudah ada seorang pria yang berdiri menungguku.

"Saya akan mengantar anda ke kampus Mss. Dimitri." Pria itu membungkuk sopan.

"Aku bisa pergi sendiri." Aku mengrenyitkan alisku dan melambatkan jalanku.

"Ini sudah pukul delapan kurang lima belas menit, anda akan terlambat satu jam jika mengendarai sepeda."

"Oh sial." Gumamku dalam hati. "Ok" Aku pasrah pada akhirnya.

"Saya Oscar Dunk."

"Ok, Mr. Dunk, antarkan aku ke kampus secepat yang kau bisa." Aku membuka berkas di dalam tasku, Christ memang kejam, dia bisa bercinta denganku tapi dia juga menghukumku dengan setumpukan tugas yang bahkan tidak pernah dia singgung saat kami bersama.

***

Aku masuk ke dalam kelas dan Christ sedang mengajar.

"Maaf Sir, saya terlambat." Aku berdiri di ambang pintu.

"Mss. Dimitri?" Alis Christ naik satu. "Aku tidak biasa memaklumi keterlambatan mahasiswiku." Dia melirik alojinya, oh sial, dia benar-benar bisa bersikap seperti ini padaku dihadapan orang lain?

"Tapi karena ini baru sepuluh menit akan kumaklumi." Katanya lagi sambil menatapku. "Silahkan masuk."

"Terimakasih Sir." Aku masuk kedalam kelas dand uduk di samping Stef.

"Kau kemana saja, kenapa baru terlihat lagi sekarang?" Tanya Stef. Aku bahkan membaca semua headline itu tapi tidak ada orang yang menyadari bahwa gadis didalam headline adalah aku?

"Aku . . . aku ada keperluan membesuk saudaraku di Newzeland." Bohongku.

"Oh, kau sangat payah. Kau bahkan tidak memberikanku kabar."

Aku tersenyum. "Maaf Stef, situasinya rumit."

"Mss. Dimitri, aku sudah memberimu kesempatan masuk kedalam kelasku meskipun kau terlambat dan sekarang kau sibuk mengobrol dengan temanmu?"

Aku menatap Christ, tidak percaya dia melakukan ini padaku.

"Keruanganku begitu kelas selesai, kau harus mendapat konsekwensi untuk perbuatanmu hari ini." Katanya dan aku tertunduk.

"Yes Sir."

Stef tertunduk juga sepertiku, dan kelas kembali serius untuk satu jam berikutnya.

***

"Sial, dia galak sekali hari ini." Umpat Stef.

"Siapa?" Tanyaku.

"Mr. Hudson, kupikir dia tidak akan sekeras itu." Kata Stef.

"Tidak masalah, aku akan keruangannya dan meerima konsekwensi dari dosen galak itu." Aku benar-benar pandai bersandiwara kurasa, karena Stef percaya bahwa Christ akan menghukumku sungguhan.

"Tapi ini salahku, aku yang mengajakmu mengobrol di kelas tadi."

"Tidak masalah Stef, kurasa dia sudah marah padaku sejak aku terlambat mengikuti kelasnya hari ini."

"Ya kurasa begitu, tapi aku akan datang bersamamu keruangannya. Mungkin kau butuh pembelaan."

Aku tersenyum. "Percayalah, tidak akan sulit bagiku menerima hukumannya."

"Ok." Stef terlihat menyesal dan aku meninggalkannya, melangkahkan kakiku dengan pasti menuju ruangan dosen galak itu. Dalam hatiku tersenyum, ini benar-benar konyol ketika kami berakting setiap waktu demi menutupi hubungan ini.

Aku sampai di depan pintu ruangannya dan mengetuk pintu, tapi kulihat dari sela pintu yang sedikit terbuka ada Mss. Elie Hwait tengah berada didalam.

Mereka berdua menatap ke arah pintu tapi kulihat Mss. Hwait berjalan ke arah pintu dan menutup pintu itu rapat.

WHAT? Mengapa mereka harus berbicara dengan pintu tertutup rapat?

Aku menunggu dengan gelisah, apa yang mungkin mereka lakukan didalam terbayang di kepalaku. Bagaimana wanita dengan dada ukuran premium, bibir penuh dengan lipstick merah menyala dan rok pensil yang memperlihatkan bokong bulatnya itu menggoda Christ. Sial, mengapa mereka lama sekali?

Aku hampir putus asa dan menerobos masuk andai saja wanita itu tidak tiba-tiba membuka pintu dan berjalan keluar ruangan. Dia bahkan sempat menatapku.

"Kau mahasiswi tingkat satu kan?" Tanyanya.

"Yes mam." Anggukku.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanyanya.

"Mr. Hudson memintaku ke ruangannya untuk memberiku tugas." Jawabku formal.

"Ok, ambil tugasnya dan cepat pergi."

Aku mengrenyitkan alisku tapi kemudian kututup dengan senyuman, tanpa harus menjawab. Setelah wanita itu benar-benar pergi dari hadapanku, aku mengetuk pintu ruangan Christ kembali dan dia mempersilahkan aku masuk.

Aku masuk tanpa senyum sama sekali yang menghiasi wajahku.

"Kau tidak memakan sarapanmu hari ini?" Tanyanya.

Aku menghela nafas dalam, rasanya ada batu besar yang mengganjal tenggorokanku. "Berikan saja aku hukuman dan aku akan segera pergi." Kataku ketus.

"Hei, apa yang terjadi denganmu? Kau marah karena aku menghukummu di depan teman-temanmu?" Tanyanya.

Aku menelan ludah. "Aku bahkan tidak masalah jika kau menghukumku didepan semua orang." Kataku singkat tanpa menatapnya.

"Lalu kenapa dengan wajahmu, ada masalah? Kau tidak menyukai supir yang mengantarmu?"

"Perlakukan aku seperti mahasiswa, jika anda ingin memberikanku hukuman, berikan saja dan aku akan cepat pergi." Kataku.

Christ berdiri dari kursinya dan berjalan menghampiriku. Dia meraih wajahku dan aku menepis tangannya.

"Don't touch me." Kataku pelan, meski aku tidak benar-benar ingin mengatakannya tapi Christ sudah mendengarnya kurasa.

"You mad at me?" Tanyanya sambil menatapku dalam.

"Berikan saja aku email untuk hukumanku. Aku akan pergi sekarang." Aku keluar dari ruangannya dengan dada yang terbakar cemburu. Entahlah wajah Mss. Hwait benar-benar membuatku ingin mengamuk pada semua orang yang mengajakku bicara. Aku bahkan meninggalkan supir itu didalam mobil dan pergi diam-diam keluar dari kampus, berjalan kaki menuju kedai. Hari ini hanya ada kuliah pagi dan sisanya bisa kuhabiskan di kedai kopi dengan perasaan yang lain, karena atmosfernya pasti berbeda.

Soal Christ, aku akan melupakannya sekilas. Itu yang kubutuhkan, meninggalkan semua tentang Christ untuk sementara waktu dan menarik nafas untuk diriku sendiri. Belakangann ini duniaku terpusat pada Christ hingga aku hampir kehilangan diriku yang sebenarnya.