Chereads / MY SWEET LECTURER / Chapter 31 - MSL - BAB 31

Chapter 31 - MSL - BAB 31

Love Your Self

Aku keluar dari kedai saat sudah cukup larut dan sengaja mampir kerumah Ze. Mungkin aku bisa bernafas dan hidup normal sebagai diriku di apartment kecil milik Ze.

"Kau mau makan?" Tanya Ze.

"Tidak." Gelengku.

"Kenapa kau tidak pulang kerumah Christ."

Aku menatap Ze, "Apa kau berpikir aku jadi bukan seperti diriku sekarang?" Tanyaku.

"Em . . . segala hal didunia ini pasti berubah, dan kurasa perubahanmu masih dalam taraf yang wajar."

Aku menghela nafas dalam. "Terkadang aku merasa kehilangan jati diriku Ze, aku merasa bukan jadi diriku saat berada dirumah itu." Ujarku.

"Aku ingin tinggal di sini lagi." Gumamku.

"Christ akan dengan sangat mudah menemukanmu jika kau berada di sini, dan dia pasti akan menyeretmu pulang."

"Pulang?" Alisku bertaut menatap Ze. "Itu bahkan bukan rumahku." Jawabku lemas.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Ze naik ke atas sofa dan melipat satu kakinya diatas sementara satu kakinya menjuntai, sama seperti posisiku duduk, kami saling berhadapan.

"Aku hanya berpikir, mungkin dia menganggapku anak ingusan." Kataku dengan kepala tertunduk.

"Mengapa kau bisa tiba-tiba berpikir seperti itu?" Tanya Ze, "Kau lupa kalau baru kemarin dia memberikanmu sebuah coffee shop? Bekerja keras seumur hiduppun belum tentu kita bisa memiliki usaha semacam itu." Ze mencoba membuka mataku untuk apa yang sudah diberikan Christ padaku, tapi itu tidak membantu sama sekali.

"Justru itu, aku merasa sangat kecil dan bukan apa-apa baginya. Dia mungkin bisa memberikan hal yang sama pada wanita-wanita lain."

Ze beringsut mendekat, kemudian menatapku dari jarak yang sangat dekat.

"Biar kutebak, kau sedang cemburu pada Christ?" Tebak Ze, dan sialnya tebakan itu benar.

"Tidak." Gelengku cepat, aku harus menyangkalnya, bukan hanya soal cemburu, tapi aku benar-benar berpikir Christ bisa melakukan semuanya, semua yang dia inginkan dengan yang dia miliki, memang pemicunya adalah siang tadi saat aku melihat Mss. Hwait masuk ke ruangannya. Mereka bahkan harus bicara dengan pintu tertutup rapat, dan tatapannya saat melihatku juga perintahnya agar aku segera mengambil tugas dan pergi.

Brrttt Brtttt

"Chrtist." Ze menunjukan layar ponselnya padaku. Ya jelas Christ menghubunginya, karena ponselku kumatikan.

"Aku harus bilang apa?" Tanya Ze.

"Jangan katakana aku ada di sini."

Ze mengangkatnya dan membiarkan aku mendengar percakapan mereka karena dia mengaktifkan load speaker di ponselnya "Halo."

"Dia ada di sana?" Tanya Christ, dan dia bahkan tidak menyebut namaku.

"Tidak." Bohong Ze, matanya membulat menatapku.

"Katakan padanya aku ingin bicara." Christ bersikeras.

"Tapi dia benar-benar tidak datang kerumahku Mr. Hudson."

"Kemana lagi dia bisa pergi selarut ini?" Tanya Christ.

"Aku justru berpikir dia ada di rumahmu." Ze terus menatapku lekat.

"Aku sudah dirumah dan tidak menemukannya dimanapun."

"Apa yang terjadi diantara kalian?" Ze mencoba mencari tahu dari Christ. "Maaf, tidak seharusnya aku bertanya." Ze mengkoreksi, dia jelas tahu kalau Christ bisa saja menjentikkan jarinya dan membuat Zevanya kehilangan pekerjaannya.

"Kabari aku jika dia menghubungimu." Tutup Christ, dia bukan pria yang suka mengumbar masalah pribadinya pada orang lain, bertolak belakang denganku, dan sikapnya itu membuatku frustasi, dia mungkin saja menyembunyikan banyak hal dariku.

"Ok Mr. Hudson."

Panggilannya berakhir dan aku tetap bergeming.

"Pulanglah atau aku akan kehilangan pekerjaanku besok pagi saat dia tahu aku menyembunyikanmu di sini." Ze menatapku jengkel.

"Aku bosmu." Kataku kesal.

"Secara teknis Christ adalah bos dari bosku, bosmu."

"Oh sial." Aku memutar mataku. "Aku akan pulang."

"Biar ku antar." Kata Ze.

"Kau ingin bunuh diri? Kau ingin Christ melihat kita dan memecatmu?" Tukasku kesal.

"Arrrrggghhh." Geram Ze.

"Kau bahkan lebih sayang pada pekerjaanmu dibandingkan aku." Gerutuku sambil mengemas tas dan buku-bukuku. Aku berjalan keluar dari apartment Zed an pulang kerumah besar Christ dengan sebuah taksi.

***

Aku bahkan belum memikirkan alasan apa yang akan ku katakana jika Christ bertanya soal sikapku seharian ini. Taksi menepi di pintu gerbang dan aku memintanya masuk kedalam. Setelah membayar taksi itu pergi dan petugas penjaga gerbang tahu jika aku yang berada didalam dan tetap membiarkanku masuk, kurasa Christ tidak memberikan mereka instruksi untuk menembakku di tempat.

Aku mulai meracau dalam pikrianku saat ini. Satu-satunya yang kuharapkan adalah Christ sudah tidur saat aku masuk kedalam rumahnya.

Aku lolos masuk melalui pintu besar di ruang utama, tidak ada lagi pelayan yang berkeliaran. Dengan mengendap-endap aku naik ke lantai dua dan langsung masuk ke kamarku. Kutekan saklar lampu di belakang pintu dan aku terlonjak melihat Christ duduk di ranjangku dengan tatapan seperti ingin membunuhkau saat itu juga.

Aku menelan ludah, menatapnya dengan sangat gugup karena dia berdiri dan menghampiriku.

"Darimana saja kau?" Tanyanya dengan suara beratnya. Aku tidak berani menatapnya, kutundukkan kepalaku.

"Dari kedai . . ." Bohongku.

Christ melirik arlojinya, "Kedai sudah tutup pukul sembilan, dan aku baru sampai rumah sekitar sepuluh menit yang lalu setelah dua jam menunggu didepan kedai." Ujarnya, skakmat, aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.

"Apa masalahnya bagimu, aku sudah ada di sini sekarang." Aku benar-benar merasa bahwa diriku semakin kurang ajar. Mungkin jika aku mengatakan ini dihadapan orang tuaku (seandainya aku tahu siapa mereka) pasti aku sudah mendapat tamparan keras.

"Kau marah padaku?" Tanya Christ, hah? Mengapa dia justru bertanya apakah aku marah padanya? Bukankah dia yang memilik hak veto untuk memarahiku saat ini karena ulahku yang menjengkelkan.

"Tidak." Jawabku lirih.

"Aku hampir mati cemas karenamu." Katanya sambil keluar dari kamarku. "Makan dan istirahatlah." Katanya sebelum benar-benar pergi.

Hah??

Dia mencemaskanku?

Dia bahkan tidak marah padaku sama sekali, dia hanya menyuruhku makan dan istirahat? Aku merasa sangat bersalah padanya. Aku menjatuhkan tasku dilantai dan merosot ke lantai memeluk tubuhku.

***

Aku meletakkan buku yang kutenteng dan berjalan keluar dari kamarku dengan cepat menuju kamar Christ, tapi dua kali aku mengetuk pintunya tidak dijawab. Aku merangsek dengan paksa dan dia sedang membaca buku didalam kamarnya.

Saat aku masuk dia menoleh ke arahku.

"Aku tidak mempersilahkanmu masuk." Katanya sambil menatapku.

"Aku ingin bicara." Kataku.

"Tapi aku tidak." Tolaknya.

"Kenapa kau seperti ini?!" Teriakku frustasi.

"Bertanyalah pada dirimu sendiri, kenapa kau seperti itu." Dia menutup bukunya dan meletakkannya di atas meja kemudian berjalan ke arahku.

"Kau membuatku frustasi Mr. Hudson." Aku menatapnya dengan amarah besar yang menjejali tenggorokanku.

"Aku memintamu membersihkan diri, makan dan istirahat, bukan datang kedalam kamarku dengan keadaan seperti ini." Katanya dengan dua tangan tersarung di saku celana tidurnya.

Dadaku naik turun menahan diri untuk tidak meledak didalam kamarnya, tapi mataku jelas menatap tajam padanya penuh dengan kekesalan.

"Love your self." Itu kalimat yang dia katakana sebelum berjalan ke arah pintu, membuka pintu dan membiarkannya tetap terbuka sementara dia berjalan ke arah sebaliknya, naik ke atas ranjang kemudan berbaring, menyalakan televisi.

"Kau menyedihkan, egois, kau tidak pernah memikirkan perasaan orang lain." Aku meneriakinya dan dia mematikan televisinya kemudian menatapku.

"Tidak ada yang meminta pendapatmu nona muda." Katanya singkat. "Keluar dari kamarku, aku ingin istirahat." Katanya.

Aku segera keluar dari kamarnya dan membanting pintu dengan keras, kemudian berjalan deras ke arah kamarku. Aku melakukan hal yang sama dengan pintu kamarku.

Aku langsung ke kamar mandi dan menyalakan shower tanpa melepas pakaianku. Kurasa kepalaku saat ini mengepul dengan asap tebal karena begitu panas dan langsung tersiram air dari shower.

Kenapa dia mengatakan padaku untuk mencintai diriku sendiri? Apa karena dia tidak pernah mencintaiku? Apa selama ini hanya aku yang menaruh perasaan padanya sementara tidak sebaliknya? Mengapa dia menjadi begitu dingin padaku? Apa yang salah hanya aku? Atau dia sudah terpikat oleh Mss. Hwait dan melupakanku hanya dalam hitungan jam? Apa yang ada dikepalanya? Mengapa aku merasa begitu rendah dan bodoh dihadapannya? Dia bahkan mengusirku dari kamarnya?

Jika dia memperlakukanku seperti ini lalu untuk apa dia menungguku pulang? Atau dia ingin menunjukan padaku siapa dia dan bagaimana dia bisa memperlakukanku? Menujukan dimana posisinya dan dimana posisiku? Aku bahkan merasa tidak lebih baik dari pelayan-pelayan dirumahnya yang bisa dia perlakukan semaunya sendiri.

Sial, aku benar-benar kacau.