Chereads / MY SWEET LECTURER / Chapter 33 - MSL - BAB 33

Chapter 33 - MSL - BAB 33

Christopher Hudson Side

"Bagaimana dari sisi psikologisnya?" Tanyaku pada Mss. Hwait, dosen psikologi yang bisa ku ajak bicara terkait dengan kasus Lindsey. Pagi ini aku berangkat sangat pagi dari rumah dan sesampai di kantor pengacaraku datang dan memberitahukan bahwa Lindsey tidak bisa dituntut karena dia memberikan bukti-bukti soal gangguan kejiwaan yang dia alami. Kepolisian membebaskannya dengan alasan terapi medis yang harus dijalani Lindsey secara intensif, akhirnya Lindsey bebas bersyarat.

Saat Hwait sedang menjelaskan banyak hal yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbanganku untuk mengajukan banding tiba-tiba kulihat bayangan Bella dari celah pintu yang terbuka. Oh gadis itu, aku harus melindunginya bahkan jika harus mengorbankan diriku sendiri. Karena setelah ini Lindsey pasti akan menggila dan mengincar gadis itu.

"Bisa tolong tutup pintunya." Kataku dan Hwait berjalan ke arah pintu kemudian kami membahas lebih lanjut tentang Lindsey. Kemungkinan dirinya memiliki motif dendam karena gangguan emosionalnya juga diungkapkan oleh Hwait, dan itu membuatku semakin cemas. Harus kusembunyikan dimana Bella agar tidak ada yang melukainya, entah itu si gila Lindsey atau sibrandalan Justin.

"Baiklah, terimakasih untuk penjelasanmu. Aku akan berkonsultasi dengan pengacaraku untuk kemungkinan banding."

"Semoga berhasil Christ." Kata Hwait tulus. Sebenarnya aku dan Hwait saling mengenal, dia adalah teman Esme meski sejujurnya aku tidak terlalu dekat dengannya.

"Thanks."

***

Bella masuk keruanganku dan terlihat tidak terlalu menyukai kejadian yang dia lihat beberapa waktu tadi, saat aku dan Hwait bicara. Tapi ini rahasiaku, dan aku tidak ingin membuat gadis polos ini cemas.

Aku bahkan membiarkannya pergi ke kedai dengan marah karena ada sesuatu yang lebih penting yang harus ku urus. Menjebloskan Justin dan komplotannya ke penjara adalah prioritas kedua yang harus kupastikan hari ini, jadi aku sudah berjanji dengan pengacaraku untuk memberikan kesaksian pada polisi. Bahkan polisis sudah mendalami cctv yang merekam kebrutalan mereka menyeret Bella dan berkelahi denganku juga supirku.

Setelah aku membereskan pekerjaanku mungkin aku akan menjemput Bella untuk makan malam. Setidaknya itu bisa meredakan amarahnya, karena semalam aku menolak bercinta dengannya dan pagi ini menghukumnya di depan teman-temannya.

***

Kembali ke kantorku setelah mengajar, kemudian melakukan meeting dengan klien dan juga dengan top management hingga pukul duabelas siang. Setelah makan siang aku pergi ke kantor polisi untuk mengurus si brengsek Justin dan komplotannya. Semuanya terasa melelahkan, tapi ini harus kulakukan secepatnya, tidak ku tunda lagi.

Aku baru keluar dari kantor polisi saat hari gelap, tapi sungguh melegakan karena pihak kepolisian memastikan bahwa para brandalan itu sudah dipastikan akan mendekam di balik jeruji besi karena ulahnya.

Saat ini aku dalam perjalanan untuk berkonsultasi dengan tim hukumku terkait kemungkinan untuk banding dalam kasus percobaan pembunuhan oleh Lindsey. Kuambil ponselku dan kucoba hubungi Bella, tapi tidak tersambung. Kenapa dia membiarkan ponselnya kehabisan battery? Gerutuku dalam hati.

"Lewat coffee shop." Perintahku pada supir.

"Kita harus memutar Sir."

"Lakukan saja, tim hukum bisa menunggu." Kataku.

Kami memutar dan memakan waktu lebih dari setengah jam. Aku meminta mobil menepi di depan coffee shop. Melihat Bella sedang sibuk didalam bersama teman-temannya, dia bahkan tersenyum dengan sangat polos membuat hatiku tenang. Rambut ekor kuda yang berantakan, wajah polos tanpa polesan tapi selalu terlihat bersemu merah membuatku ingin turun, mungkin sekedar mencium bibir merah mudanya yang kadang terlihat menggemaskan saat cemberut.

"Apa anda ingin turun?" Tanya supirku.

"Tidak, putar balik lagi." Perintahku. Mobil berjalan lagi, hanya melihat Bella dalam keadaan baik-baik saja dari jauh sudah membuatku tenang. Aku menghubungi tim hukumku dan mereka ternyata masih menungguku. Harus kutuntaskan malam ini juga agar aku bisa bercinta dengan tenang tanpa memikirkan berbagai mimpi buruk yang kadang-kadang datang menghampiriku soal Bella.

***

Kami menemui jalan buntu, kuasa hukum mengatakan padaku bahwa kemungkinan kami menang saat banding sangat kecil, tapi aku tetap meminta untuk banding, seberat apapun itu. Aku tidak ingin Lindsey berkeliaran bebas dan mungkin saja akan datang dan menyerang Bella dengan persiapan yang lebih matang.

"Kita akan langsung pulang Sir?"

"Sebentar." Kataku sambil menarik ponselku dan mencoba menghubungi Bella, tapi tidak bisa terhubung.

"Shit." Umpatku. Ini jelas bukan batterynya yang habis, gadis itu pasti dengan sengaja mematikan ponselnya.

"Kita mampir kerumah Granny." Kebetulan aku melewati arah rumah Granny, meski jarang tapi jika sempat aku akan mampir untuk melihat kondisinya. Wanita tua itu selalu keras kepala jika aku mengajaknya tinggal denganku agar bisa merawatnya.

"Kau akan selalu sibuk bekerja, meskipun aku tinggal didalam istanamu, pelayan yang akan mengurusku, lagipula sama saja, disini aku juga diurus pelayan. Kecuali jika kau menikahi wanita baik-baik, mungkin aku sedikit punya harapan bahwa aku akan diurus oleh cucu menantuku." Selalu itu yang dia katakana setiap kali aku membujuknya.

Aku datang kerumahnya, mungkin Granny punya kedekatan dengan Bella dan meminta gadis itu datang. Selain menjenguk Granny aku juga ingin memastikan apakah Bella ada di sana atau tidak.

"Apa andan ingin lewat coffee shop?" Supirku bertanya dan aku berpikir mungkin sebaiknya aku memastikan apakah coffee shop masih buka atau sudah tutup.

"Ok, lewat sana."

Butuh waktu setengah jam untuk akhirnya mobil yang kutumpangi melintasi jalanan di pinggir coffee shop, semua lampu sudah dipandamkan dan pintunya sudah terkunci rapat. Aku bahkan memastikan dengan turun dan mencoba membuka pintunya dari luar.

Sekali lagi kuhubungi ponsel Bella sembari sesekali aku mengirimnya pesan singkat. Bahkan sepanjang perjalananku menuju rumah Granny aku terus berusaha menghubunginya dan tetap tidak tersambung.

Mobilku terparkir di halaman rumah Granny dan aku masuk kedalam rumahnya.

"Granny." Dia tampak sedang menonton tv diruang tengah bersama seorang pelayannya yang hampir sama tua dengannya.

"Oh telenovela lagi." Aku menciummnya dan dia memberiku pelukan hangat.

"Kenapa kau mampir kemari?" Tanya Granny.

"Aku merindukanmu." Bohongku.

"Aku tahu betul kapan kau berbohong padaku." Dia mengusap rambutku, dan si pelayan meninggalkan kami untuk membuatkan teh hangat untukku sesuai permintaan Granny.

"Kau terlihat kurus dan tidak terawat." Ungkapnya.

"Aku merasa baik-baik saja."

"Jika gadis muda itu menyusahkanmu, tinggalkan saja dia. Cari yang lebih matang." Ungkapnya.

"Apa kita sedang membahas buah-buahan?" Tanyaku bercanda.

"Anak bodoh!" Granny menepuk punggungku. "Kemari, aku ingin memelukmu." Katanya dan aku meringkuk di pangkuannya. Dia benar-benar seperti ibu bagiku.

"Apa Granny mengatakan sesuatu padanya?"

"Tentang apa?" Tanya Granny.

"Mungkin Granny memintanya menjauhiku." Aku mencoba mencari informasi dengan cara sehalus mungkin.

"Kau pikir aku orang tua kuno yang mencampuri urusan asmara anak-anaknya?" Grannya bersuara keras. "Aku hanya tidak ingin kau terluka, kau sudah terlalu sering terluka." Ujarnya.

"Kau memang tampan, tapi kau sangat bodoh soal asmara." Gerutu Granny, itulah nenekku, dia selalu sangat blak-blakan soal apapun, termasuk mengataiku bodoh padahal lebih dari duapuluh ribu orang bekerja dibawah perintahku di berbagai perusahaan dan pabrik yang kumiliki.

"Kupikir dia kemari." Aku membuka suara lagi setelah kami cukup lama terdiam.

"Jika dia meninggalkanmu lupakan saja, gadis tidak tahu di untung." Geramnya ketus.

"Granny . . ." Aku mendongak menatap wanita tua itu, bibirnya yang keriput mengerucut.

"Aku jatuh cinta." Ujarku.

"Anak bodoh." Dia mencubit ujung hidungku. "Tidak bisakah matamu memilih dengan jeli, mengapa gadis ingusan seperti itu kau pilih?"

"Dia berbeda."

"Kau harusnya memilih wanita dengan dada dan bokong besar yang usianya sekitar tiga puluh tahun, tidak terlalu jauh darimu."

"Apa masalahnya dengan dada dan bokong besar?" Tanyaku seperti bocah lima tahun yang bertanya dari mana dia dilahirkan.

"Dada dan bokong besar menandakan bahwa wanita itu subur, siap memberimu keturunan."

"Dia juga bisa melahirkan anak-anak untukku."

"Kau menidurinya kemarin malam?" Tanya Grand berbisik-bisik.

"Ouggghhh . . . bisakah kita tidak membahas hal ini." Protesku dan segera bangun dari pangkuan Granny.

"Anak nakal!!" Dia memukul bokongku seperti anak-anak.

"Harusnya kau menghamilinya, jadi dia tidak akan lari darimu. Kau bahkan tidak belajar dari kakekmu." Granny menggerutu.

"Ok, aku hanya mampir untuk mendapatkan pukulan di bokongku dan sudah kudapatkan. Aku akan pulang." Ujarku sambil memeluknya sekilas, kemudian mengecup kepalanya dan meninggalkan wanita tua itu. Aku selalu nyaman berada dalam pelukannya, mendengar omelannya setiap saat juga mulut pedasnya yang selalu tidak bisa menyaring apapun yang ingin dia katakan. Tapi kadang realita kehidupan menuntut jauh lebih banyak waktu untuk kuhabiskan dengan pekerjaanku.

Aku masuk kedalam mobil, menatap rumah itu cukup lama sebelum meminta supir menjalankan mobilnya.

Kucoba menghubungi Zevanya, dia satu-satunya sahabat dekat Bella kurasa. Jika gadis itu bersekongkol dengan Bella aku tidak akan mengampuninya. Oh rasanya aku sudah hilang akal sekarang. Aku bahkan menelepon gadis itu tepat didepan apartmentnya dan hasilnya nihil. Dia bilang Isabella tidak ada disana.

"Kemana lagi kita Sir?" Tanya supirku.

"Pulang." Jawabku cepat. Otakku penuh dengan berbagai kemungkinan buruk, bahkan jika Lindsey menyuruh orangnya untuk menculik Bella atau banyak hal lainnya.

***

Selesai mandi aku masuk ke kamar Bella, melihat ke sekeliling dan entah mengapa aku masih bisa mencium wangi tubuhnya. Aku juga merasa seolah aku mendengar tawa renyahnya mentertawakan berbagai hal konyol yang kadang menurutku kekanak-kanakan.

Aku duduk di tepi ranjang dan melihat dia sibuk mengulis ringkasan yang kuberikan padanya, meski aku sadar betul ini hanya halusinasi, tapi bisa melihat wajahnya sedikit meredakan kepanikanku.

Entah berapa lama aku duduk di tempat itu tanpa melakukan apa-apa. Kumatikan lampu, lalu aku kembali duduk dan kupejamkan mataku, berusaha mengundang Isabella masuk kedalam alam pikiranku, dengan gaun tidurnya semalam. Melihatnya berbaring dengan wajah cemberut karena aku menolak bercinta dengannya. Aku berencana membawanya bertemu dokter untuk merencanakan kontrasepsi yang aman baginya, jadi aku tidak perlu memakai sarung karet yang menyiksa itu. Dan seharusnya semua terjadi hari ini, tapi dia malah pergi entah kemana.

Tiba-tiba lamunanku buyar saat gadis itu masuk kedalam kamarnya dan menyalakan lampu. Sebenarnya aku terhenyak kaget, tapi kemudian kemarahan menyeruak dari dalam dadaku. Aku ingin berlari ke arahnya lalu menciumnya kasar karena disatu sisi aku merindukannya dan disisi lain aku sangat marah padanya.

Tapi itu tidak bisa kulakukan, yang bisa kukatakan hanya memintanya mandi, kemudian makan, dan pergi tidur. Itu saja, aku butuh waktu untuk menyendiri sampai amarahku mereda.