Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Cinta Berkalang Dusta

Ovie_Sukarno
--
chs / week
--
NOT RATINGS
9.9k
Views
Synopsis
Bee perlahan meraih tas tangan disampingnya dan mengeluarkan hasil tes yang dia peroleh dari rumah sakit. Diserahkan pada Ryan masih dalam kondisi menangis hebat. Dibuka perlahan oleh Ryan dan dibacanya dengan cermat. Ryan tidak mengatakan apapun setelah tahu Bee positif hamil. Anaknya. Seharusnya dia bahagia?! Tapi dia malah bingung. Dia mencintai Bee, menyayanginya sangat. Bagaimanakah nasib anak mereka kelak?! Sungguh takkan sanggup dia katakan kepada Bee, bahwa dia tak ingin memiliki anak dari Bee. Ryan tidak ingin Bee jadi salah sangka, dia takut istrinya menganggap dia tidak ingin bertanggungjawab dan sesungguhnya tidak mencintai Bee?! Bukan itu! Terlalu jauh yang Ryan fikirkan, nasib anak mereka kelak. Dan Ryan tidak pernah ingin kehilangan ketiga anak yang dia peroleh dari istri pertamanya.
VIEW MORE

Chapter 1 - I

"Bangun mba, sebentar lagi kita di jemput!" 

Olis mengguncang-guncang tubuh saya dengan keras. Saya hanya menggeliat malas. 

"Kita liburan kesini, bukan untuk pindah tidur mba...!!!"

Suaranya kembali melengking. Kelelahan membuat pasukan oksigen di otakku defisit. Liburan bagiku, ya tidur. Tidur adalah kenikmatan surga ketujuh. Rutinitas harian yang padat di tempat kerja, sebagai sekretaris, aku mengurusi semua administrasi bidang tanpa terkecuali urusan Kepala Bidangku. Belum lagi kalau si Bapak dinas luar atau padat acara, aku akan merangkap antar jemput anaknya. 

Hidupku hanya berkutat antara rumah - kantor dan kampus. Di rumah pekerjaan rumah sudah menunggu, aku hampir tidak ingat kapan terakhir kali aku punya  "me time" dan kapan konsep bahagiaku bukan seperti "konsep bahagia saat ini?!" 

Kebahagiaan ku saat ini adalah, "saat pulang ke rumah dan tidak ada antrian pekerjaan rumah, hari bermalas-malasan sedunia" Semua kebahagiaan itu membuat aku semakin betah di rumah. Memang sebenarnya aku orang rumahan sekali. Sedari kecil aku lebih suka menghabiskan waktu dikamar untuk membaca bertumpuk-tumpuk buku. 

Dari celah bantal kulirik pergelangan tangan kanan, waktu menunjukan pukul delapan malam waktu Indonesia bagian barat, ini di Bali, itu artinya sudah pukul  sembilan malam. 

"Ih! Seperti miss kunti aja kelayapan tengah malam!" bathinku. 

Jujur aku tidak tahu jika ketempat-tempat dugem itu baru buka dimana saat malam semakin tua. Jam empat sore tadi, aku sudah bersiap-siap, mandi dan mematut diri sepantasnya. Karena profesi, membuatku di luar jam kerja lebih suka berpenampilan santai, bahkan tanpa riasan pemulas bibir sekalipun. Satu jam telah berlalu, Olis masih tergeletak diatas tempat tidur hotel yang empuk, merapatkan matanya, walau aku tahu dia tidak tidur. 

Berulang kali aku bertanya, "kapan kita pergi Lis?" 

Jawabannya hanyalah, "Nanti mba, tidak sekarang." 

Sebenarnya aku jengkel, kenapa sih harus nanti, nanti?! Kenapa tidak sekarang aja?! Mumpung masih sore?! Tapi semua itu hanya bisa aku pendam di dalam hati. Sampai menjelang magrib, barulah mata Olis terbuka dan dia meloncat dari tempat tidur, bergegas menuju kamar mandi, sambil berkata, "Ngga ada dugem yang buka jam segini mba... Dugem itu baru mulai buka ntar hampir tengah malam!" 

"Yang jam segini kedugem, cleaning service!" Lalu tawa Olis pecah berderai-derai, berserakan dan rasanya masih aku dengar setiap mengingat kalimat terakhirnya. 

Selesai sholat isya, aku membersihkan diri, dan berniat untuk tidur. Olis membiarkan aku meringkuk di tempat tidur. 

"Pokoknya nanti Olis tidak mau tahu, begitu kita ditelfon mau dijemput, mba sudah harus siap!"

Aku tahu keegoisan temanku yang satu ini, "Kalimatnya adalah Perintah" Ah, sebodo lah! Mending aku tidur daripada menyiksa diri melakukan aktifitas yang aku tidak sukai. 

Kemarin kami bertiga baru tiba di Bali. Mira menyampaikan angin surga kepada Olis, relasinya akan memberikan liburan gratis ke Bali. Mira dan Olis bekerja di Perusahaan yang sama, Sebuah Lembaga Keuangan Ternama di Indonesia. Maka Olis yang memang sangat dekat denganku, berinisiatif mengajakku turut serta bersama mereka. 

"Ayo mba ikut kami liburan ke Bali?! Sesekali lah refreshing! Hidup tuh jangan monoton mba, setres!" 

Setres?! Apakah aku selama ini terlihat seperti orang setres? Rasanya aku tidak setres, aku baik-baik saja dan aku bahagia. Hingga akhirnya kami bertiga berada di perut burung besi biru, mengudara selama hampir dua jam dari Jakarta. 

Bali. 

Peristiwa bom Bali di penghujung tahun lalu masih meninggalkan luka bagi siapapun, terutama masyarakat Bali. Entahlah, apakah tepat saat ini kami memutuskan ke Bali?! Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai masih tetap ramai. Kedua sahabatku tegelak-gelak diatara obrolan mereka. Sementara aku masih terhanyut sisa-sisa kelelahan bekerja seharian tadi, tak sabar ingin segera memejamkan mata di kamar hotel, diatas kasur yang empuk, wangi dan bersih setelah mandi air hangat. Huffffttt... Kesabaranku diuji menunggu lamanya mulut Conveyor mengeluarkan koper-koper kami. 

Tubuhku terguncang hebat, aku kesulitan untuk bernafas dan berharap bisa berdiri. Lamat-lamat suara yang sangat ku kenali memenuhi gendang telinga. 

"Mba... Bangun!!!" 

"Bangun mb...!!!"

"Lima menit lagi kita dijemput!" 

Astaghfirullah... 

Hanya mimpi buruk. Tubuh Olis yang lebih tinggi sepuluh senti menguasai tubuhku. Pantaslah aku hampir tak bisa bernafas. Tubuhnya kudorong dengan kedua lengan dengan kesadaran yang masih belum sempurna.

"Ucapannya adalah titah" rungutku dalam hati. 

Jemariku mengait handle kanan Mitsubishi Lancer hitam yang masih anyar. Seketika tungkai kiri menjejak lantai cabin, dinginnya mengalahkan freezer dua pintu di rumah. Seluruh kaca semi ray ban berembun. Seketika aku menyesali pilihan kostumku. You can see merah dan jeans pipa 3/4 yang aku rasa mampu menghangatkan malam Minggu di Bali yang panas, tak bisa menghalau dingin cabin Lancer. 

"Kenalkan bang, kawan Mira." seru Mira dari sisi kiri pengemudi. 

"Oya, Ryan."

Jawab sosok pria dibalik kemudi, datar, sambil memalingkan sebagian tubuhnya kekiri dan menyodorkan tangan kanannya kearahku yang duduk tepat dibelakangnya. 

"Bee" Jawabku singkat. 

Mobil membelah jalanan Kuta, Mira bercengkrama dengan pria dibelakang kemudi, entah siapa namanya?! Aku tak terlalu mendengarnya tadi. Sementara Olis seperti biasa sibuk dengan handphone nya, tiada detik tanpa chatting. Hmmm... Sementara aku, tatapanku berkutat menyusuri jalanan yang dilalui. 

Club yang kami datangi tidak terlalu ramai, apa karena bom yang masih meninggalkan trauma bagi banyak wisatawan?! Atau masih belum banyak yang datang?! Aqua botol tersaji dihadapanku, kuamati dengan teliti apakah masih tersegel rapih?! Satu meter disebelah kiriku duduk rekanan Mira si pemilik freeze Lancer, dia asyik dengan kreteknya dan segelas coca cola dingin, pilihan minuman yang tidak biasa. Sementara Mira dan Olis, sudah asyik melantai menikmati alunan musik yang hingar bingar beberapa meter didepan kanan saya. 

Iki opo toh?! Lagu krompyangan!!! gawe mumet. Uenak bobok, wes isuk kok yo tambah rame, aku misu-misu sendiri, sambil berusaha membuka tutup air mineral. 

"Minuman siapa yang mau kamu minum?!"

Suara menuduh itu berasal dari samping kiriku, dengan tatapan serius. 

"Minuman saya dong!" Jawabku, tanpa sengaja ketus. 

Ups... 

Ya sudahlah, tidak perlu berbaik-baik pada orang asing, apalagi orang asing yang membawamu ke club. Dan aku kembali menyibukkan diri. 

Tiba-tiba terjadi kegaduhan yang luar biasa. Pengunjung club ada yang mulai melakukan gerakan panik, sebagian besar tetap terbius alunan musik hingar bingar. 

"Apa ini?! Ada bom lagi kah?!"

"Ya Allah aku belum ingin mati, apalagi mati ditempat maksiat seperti ini! Jauh dari keluarga. Kasihan keluargaku menanggung malu."

Aku pucat dan lemas, reflek kusambar tasku dan tas Olis yang tergeletak disamping. Aku berlari secepat yang aku mampu menuju pintu keluar, begitu kata yang ada dibenak memerintahkan. Tapi langkahku tertahan, kurasakan tangan kiriku tersangkut sesuatu. 

"Mau kemana kamu?!"

Suara itu?! Oh... Dia lah biang kerok lariku tertahan, mataku tertuju ke tangan kiri yang ternyata ditahan dan ditarik si freeze Lancer. 

"Ada bom?!"

"Atau ada keributan anarkis?!" tanyaku dengan ekspresi wajah ketakutan. 

"Ngga ada apa-apa, beginilah club. Duduk saja." jawabnya dengan tawa tertahan. 

"Heh Lo! Sini Lo!" 

"Dasar tukang rebut suami orang!!!"

"$##*!!!€£¥¥₹!!!!!!!"

Hingar bingar penuh teriakan, cacian dan makian dua suara perempuan yang memperebutkan satu pria, terjadilah pertempuran fisik ala perempuan. Tak kalah heboh, banyak pengunjung yang ikutan ngomporin, sengaja membuat suasana makin panas. 

Ini rupanya biang dari kegaduhan?! Hingga aku ditertawakan dan jadi terlihat bodoh dengan apa yang aku lakukan. 

Dini hari, kedua karibku memutuskan untuk kembali ke hotel, keputusan yang sangat aku syukuri. Mereka bertiga asyik berbincang-bincang menapaki lahan parkir club. Aku males banget kan dengan si freeze Lancer, jadi aku sedikit menjauh dan berjalan agak ketengah. 

"Jalan jangan ditengah, bisa tertabrak mobil!" 

Astaghfirullah... Dia lagi! 

-Ovie Sukarno-