Chereads / Cinta Berkalang Dusta / Chapter 2 - II

Chapter 2 - II

Lima menit sekali aku harus menghitung tiga lantai anak tangga, padahal belum genap satu jam, jam kerja dimulai. Divisi ku adalah bagian tersibuk dan ujung tombak. Apalagi jika banyaknya surat tugas keluar kota para pemeriksa, rasanya bernafaspun tidak sempat. Ditambah lagi, telfon genggamku berteriak berkali-kali. Nomer asing?!

"Aih... Kenapa ngga waktu aku nganggur sih?!"

Tidaklah perlu aku tanggapi, jika si penelfon merasa sangat penting, dia akan mengirimi aku text. Pastinya bukan urusan pekerjaan, karena jika itu urusan pekerjaan sudah bisa dipastikan dia akan menelfon ke telfon kantor.

"Surat tugas Bapak sudah selesai, semua dokumen pelengkap sudah saya siapkan."

"Baik Bu, saya menghadap Pak Wahyu terlebih dahulu."

"Silahkan masuk sekitar setengah jam lagi ya Pak, Pak Wahyu sedang menerima panggilan masuk?!"

Baru saja kaki ku melangkah menuruni anak tangga, si nomer asing kembali menelfon, "Ah! Sak karepmu!"

Hari-hari berlalu, dan setiap harinya telefon genggamku selalu berdering, dari siapa lagi jika bukan dari secret admirer. Belum berjodoh, hingga saat dia menelfon, aku selalu di kondisi tersibuk. Bagiku pantang menelfon balik, jika itu memang sangat penting dia akan meninggalkan pesan agar aku meresponnya. Sungguh luar biasa secret admirer meracuniku. Aku menolak mengakui setelah genap satu minggu, aku selalu mendambakan deringannya.

Sepuluh hari sudah, hari ini tak sesibuk hari biasanya. Setelah absen pagi, baca koran dulu sambil ngopi.

"Bee, sarapan yok?"

Aku yang sedang khusuk melahap tiap baris berita, mengangkat wajah. Bu Made sudah berdiri tepat di hadapanku. Tetiba saja telfon genggamku berteriak.

Jantungku meloncat, membuat aku sesak nafas dan keringat dingin menjalari setiap jengkal tubuhku.

"Bismillah ya Allah... Semoga dia?!" Menyadari doaku, membuat aku tersipu sendiri.

"Bu Made, maaf ya, saya terima telfon dulu, insya Allah nanti saya ke ruangan ibu"

Nomer itu, jelas sekali terpampang di layar telfon.

"Selamat Pagi."

Suara itu, aku mengingat-ingat, apakah aku mengenalnya?!

"Selamat Pagi juga Bapak."

"Apa Bapak tidak salah sambung?"

"Tidak, saya tidak salah sambung. Ini dengan Bee kan?!"

"Oh, iya betul Bapak."

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Ini saya mas Ryan"

"Mas Ryan?!"

Keningku berkerut dan berfikir keras.

"Maaf mas Ryan siapa ya? Tolong saya diingatkan dimana saya mengenal mas?"

"Kita berjumpa di Bali"

"Saya teman Mira"

Seketika bayangan freeze Lancer berkelebat dan perputar cepat bak slide film.

Duh, ngapain sih dia ngebet menghubungi aku?! Bisa celaka jika teman-temanku tahu. Apalagi Olis, walaupun aku tidak faham aturan tanpa kesepakatan yang dibuat Olis, "bahwa tidak boleh saling merebut bunuhan teman"

Ck ck ck... Aku tidak pernah mau terlibat dengan permainan teman-temanku. Jangankan berniat merebut, berminatpun tidak!.

"Halo... Bee? Masih disitu?"

"Oh iya mas saya ingat"

Demi kesopanan, aku tetap harus menerima telfon dengan baik, walaupun aku males banget meladeninya.

"Maaf ya, saya meminta nomer mu kepada Mira?"

Dia minta maaf? Subhanallah dia sudah berniat baik.

"Saya juga mohon maaf ya mas, selama ini saya sibuk, banyak pekerjaan, sehingga tidak sempat menerima telfon dari mas, maklumlah saya disini bukan siapa-siapa."

"Ngga masalah Bee, saya maklum"

"Jumat malam saya ke Jakarta, bolehkah saya menjemputmu di tempat kerja? Mungkin kita makan malam terlebih dahulu, sebelum kamu saya antar pulang"

Aku termenung, harus ku jawab apa?! Aku hanya penasaran dengan nomer asing yang setiap hari menelfon. Setelah tahu siapa dibaliknya, tidak ada lagi gairah. Pulang kerja, ya langsung pulang ke rumah. Lelah dan tidak suka keluyuran lebih tepatnya.

"Halo Bee?"

"Masih ada beberapa hari, saya harap kamu bisa mempertimbangkan untuk menerima tawaran saya?!"

"Yah, anggap saja menambah teman dan permohonan maaf saya saat di Bali?!"

"Insya Allah mas, saya pertimbangkan terlebih dahulu."

Setelah hari itu, dimana topeng kesatria terbuka, mas Ryan tak pernah absen seharipun menelfonku. Samalah seperti saat nomernya masih menjadi secret admirer ku, bahkan lebih gencar melebihi dosis minum obat. Tak selalu aku bisa menerimanya, karena kesibukan pekerjaan. Setiba di rumah aku hanya mengirimi text, memohon maaf tidak bisa meresponnya, dan langsung mematikan telefon genggam. Males saja, mendingan tidur.

Aku butuh informasi dari Mira, gelisah, seperti dikejar-kejar hutang janji. Waktu terus berjalan dan aku belum menjawab tawaran mas Ryan. Jika dia hanya ingin berteman apa salahnya?! Data base relasiku akan bertambah.

"Assalamualaikum Mira?"

"Wa alaikumsalam mba? Gemana?"

"Kamu di Jakarta sekarang? Atau sedang keluar kota?"

"Mira di Jakarta mba"

"Ok. Mir, rekananmu mas Ryan mengatakan bahwa dia meminta nomer hpku kepadamu?!"

"Oh iya mba. Ngga apa-apa kan mba?"

"Ngga masalah si Mir."

"Hanya aku mau tahu aja, seberapa dekat Mira kenal dia?"

"Ngga terlalu dekat sih mba, hanya Mira jamin nih orang insya Allah baik. Mira juga awalnya dikenalkan oleh teman Mira, yang katanya mereka berteman baik selama kuliah."

"Memangnya kenapa mba?"

"Ah, ngga apa-apa Mir, aku hanya bertanya"

"Kamu kan tahu, aku malas berbasa-basi dengan orang yang tidak jelas."

"Iya mba, bener banget!"

Jumat sore mas Ryan menjemputku, aku menanti di halte yang berdiri tepat di depan kantor. Jalan Hayam Wuruk selalu padat. Mas Ryan menyerahkan kepadaku menu makan malam yang ingin aku santap. Ramen Tai Chan makanan favoritku, maka kami pun melucur membelah kepadatan kota Metropolitan disenja hari.

Ramen Tai Chan Plaza Senayan mempunyai ruang resto yang kecil, hanya cukup untuk beberapa baris meja. Biasanya sih di akhir pekan kami selalu mengantri di depan pintu masuk, menunggu pengunjung yang sudah selesai makan. Pilihanku tidak salah, tidak salah karena aku penggemar ramen ini, tidak salah karena disini kami tidak bisa berlama-lama duduk sambil mengobrol. Aku hanya ingin bersikap baik sewajarnya. Dan aku juga tidak ingin menghabiskan waktu berlama-lama untuk mengobrol.

"Jadi mas ini tinggal dimana?"

Tanya ku memecahkan kekakuanku. Kami lebih banyak berdiam diri saat di mobil. Aku tidak tahu harus membahas apa, dia pun tidak berusaha bertanya ataupun bercerita.

"Saya tinggal di Cilegon."

"Cilegon?!" Tanyaku kaget.

"Jauh sekali?! Lah, memangnya jam kerja sampai jam berapa? Bisa jemput saya tepat waktu?!" tanyaku mulai kepo.

Yang hanya dijawab dengan gelak tawa. Hmmm baiklah aku tidak akan mengorek-ngorek tentangmu lagi bung!

Aku tidak pernah bertanya pada Mira apa profesi Ryan ini. Penampilannya sih sederhana, tapi aku tahu yang dia kenakan bukan barang murah.

"Lalu kamu tinggal dimana Bee?"

Ryan balik bertanya, mungkin merasa tidak enak melihat perubahan wajahku saat dia mentertawakanku?!

"Puspitaloka mas" Jawabku singkat.

Walau ingin segera terbang dari hadapan Ryan, tapi rasanya sayang jika aku tidak menikmati makanan kesukaanku.

Hufffttt...

Kuamati lekat-lekat sosoknya, mencuri-curi dibalik atraksi makanku.

Perawakannya langsing tapi berotot, dengan tinggi yang ku taksir seratus tujuh puluh lebih sedikit, dibalut kulit yang kecoklatan. Macho. Menurutku pria itu tidak boleh terlihat lebih glowing dari aku. Dibalik kacamatanya, ada mata yang teduh. Cara bicaranya lembut, mengingatkanku pada almarhum ayah. Pemilihan diksinya, terstruktur, aku tahu ini orang punya basic pendidikan yang baik. Kharismatik. Mungkin karena usianya yang matang. Hmmm aku yakin usia Ryan jauh diatasku.

"Apa yang kamu fikirkan?! Serius sekali."

Pertanyaan Ryan mengagetkanku. Orang ini, dibalik sikap tenangnya ternyata dia juga seorang pengamat.

"Hanya sedang menikmati ramen ini" Jawabku sambil tertawa lepas, mentertawakan bahwa aku tertangkap basah.

"Dalam satu bulan saya ke Jakarta beberapakali, terutama saat akhir pekan"

Ryan mulai bercerita. Dan aku seperti biasa lebih suka diam mendengarkan.

"Biasalah teman-teman suka ngajak main golf di Jakarta. Di Cilegon ada sih lapangan golf, terkadang ingin juga mencari suasana baru."

Jadi dia suka golf?! Mungkin karena aku ngga suka olahraga ya?! Apalagi golf. Aneh aja kalau golf itu dikatakan olahraga?! Olahraganya dimana?!

"Tempo hari saat kita berjumpa di Bali, sebenarnya saya dan teman-teman main golf di sana."

Oh... Jadi begitu ceritanya, aku terus menyimak cerita Ryan. Terlihat sekali cara dia bercerita, antusias dengan mata berbinar, bahwa dia sangat mencintai golf.

"Kamu suka olahraga apa Bee?"

Pertanyaan Ryan seketika membuatku berhenti mengunyah. Tidak menyangka dia akan bertanya seperti itu?!

"Saya?" Dengan ekspresi tersipu.

"Saya ngga suka olahraga mas, lebih seneng tidur" jawabku terkekeh. Dan Ryan pun ikut tertawa menggodaku.

Senja violet di langit Jakarta sudah lama berlalu. Langit biru menggantikan kedudukannya. Begitu juga cerita kami berdua, silih berganti tanpa jeda.