Chereads / Jodohku di Pesantren Darussalam / Chapter 3 - Bab 3 Menjaga Rahasia

Chapter 3 - Bab 3 Menjaga Rahasia

Kehidupan Titah dan Daffa di Pesantren Darussalam berubah setelah pengakuan mereka di lereng Merapi. Rasa bahagia bercampur dengan kekhawatiran. Mereka harus menjaga hubungan mereka tetap rahasia, karena pihak pesantren melarang hubungan asmara antar santri. Setiap pertemuan, setiap tatapan mata, diwarnai dengan rasa was-was.

Mereka mencari cara untuk tetap berkomunikasi tanpa terlihat oleh orang lain. Mereka sering berkirim surat rahasia, menyembunyikan surat itu di dalam buku atau di balik rak-rak di perpustakaan. Kadang-kadang, mereka juga bertemu secara sembunyi-sembunyi di taman pesantren, menikmati waktu bersama di tengah keheningan malam.

Namun, menjaga rahasia bukanlah hal yang mudah. Beberapa kali, mereka hampir tertangkap oleh pihak pesantren. Ada beberapa kali mereka hampir terlihat berdua di tempat yang tidak seharusnya. Ketegangan dan ketakutan selalu menyertai hubungan mereka.

Selain menjaga hubungan mereka dari pihak pesantren, Titah dan Daffa juga harus menghadapi tantangan lain, yaitu bagaimana mereka akan mengatakan pada orang tua mereka. Titah dan Daffa sama-sama khawatir tentang reaksi orang tua mereka. Mereka tahu bahwa orang tua mereka akan sangat khawatir jika mengetahui hubungan mereka.

Titah memutuskan untuk berbicara terlebih dahulu dengan ibunya. Ia menulis surat untuk ibunya, menjelaskan perasaannya pada Daffa dan memohon restu dari ibunya. Ia mengungkapkan kekhawatirannya tentang bagaimana ibunya akan bereaksi. Ia juga menjelaskan bahwa ia dan Daffa akan menjaga hubungan mereka dengan baik dan tidak akan melakukan sesuatu yang melanggar aturan pesantren.

Beberapa hari kemudian, Titah menerima balasan surat dari ibunya. Ibunya menyatakan dukungannya dan memberikan restu pada hubungan Titah dan Daffa. Ibunya menasihati Titah untuk tetap berhati-hati dan menjaga hubungan mereka dengan baik. Ibunya juga berjanji untuk berbicara dengan orang tua Daffa.

Titah merasa lega setelah mendapatkan restu dari ibunya. Ia kemudian bercerita pada Daffa tentang hal ini. Daffa pun merasa lega dan bersyukur. Mereka sama-sama bertekad untuk menjalani hubungan mereka dengan baik dan mencari cara untuk mendapatkan restu dari orang tua mereka dan juga pihak pesantren.

Titah dan Daffa merasa lega setelah mendapatkan restu dari orang tua Titah. Mereka berharap bahwa hubungan mereka akan semakin kuat dan harmonis. Namun, sebuah konflik baru muncul dan menguji hubungan mereka.

Suatu hari, saat Titah dan Daffa sedang berjalan-jalan di taman pesantren, mereka bertemu dengan seorang santri putra yang bernama Fikri. Fikri adalah sahabat Daffa sejak kecil, dan ia juga merupakan salah satu santri yang paling berpengaruh di pesantren. Fikri sudah lama menaruh hati pada Titah, dan ia sangat marah ketika mengetahui bahwa Titah memiliki hubungan dengan Daffa.

"Daffa, kenapa kamu berselingkuh dengan Titah? Kau tahu kan bahwa aku menyukai Titah?" ujar Fikri dengan nada yang marah.

Daffa terkejut mendengar perkataan Fikri. Ia tidak menyangka bahwa Fikri akan bereaksi sekeras itu. "Fikri, aku tidak berselingkuh. Aku dan Titah saling mencintai, dan kita sudah mendapatkan restu dari orang tua kita," jawab Daffa dengan tenang.

Fikri menggeleng kepala. "Aku tidak percaya padamu, Daffa. Kau hanya ingin menghancurkan hubungan aku dan Titah," ujar Fikri dengan nada yang keras.

Titah mencoba untuk menenangkan situasi. "Fikri, aku mohon jangan marah. Aku dan Daffa tidak ingin menghancurkan hubungan kamu dan aku. Hubungan kita adalah hubungan yang bersih dan mendapat restu dari orang tua kita," ujar Titah dengan lembut.

Namun, Fikri tetap marah. Ia menuding Titah dan Daffa dengan jari telunjuknya. "Kalian berbohong! Kalian hanya ingin menghancurkan hubungan aku dan Titah!" ujar Fikri dengan nada yang teriak.

Titah dan Daffa merasa kecewa dengan perilaku Fikri. Mereka tidak menyangka bahwa Fikri akan bereaksi sekeras itu. Mereka mencoba untuk menjelaskan situasi kepada Fikri, tetapi Fikri tetap tidak mau mendengarkan.

"Fikri, aku mohon jangan berteriak. Kita bisa bicara dengan baik-baik," ujar Daffa dengan nada yang tenang.

"Tidak ada yang bisa dibicarakan! Kalian harus berpisah!" ujar Fikri dengan nada yang keras.

Daffa terdiam sejenak, kemudian menatap mata Fikri dengan tatapan yang tegas. "Fikri, aku mengerti bahwa kamu menyukai Titah. Tetapi, aku dan Titah saling mencintai. Kita tidak akan berpisah. Jika kamu benar-benar menyayangi Titah, maka kamu harus menerima pilihan Titah," ujar Daffa.

Fikri terdiam sejenak, kemudian menggeleng kepala. Ia menolak untuk menerima pilihan Titah. Ia mengatakan bahwa ia tidak akan pernah menerima hubungan Titah dan Daffa. Ia berjanji akan melakukan segala sesuatu untuk memisahkan Titah dan Daffa.

Titah dan Daffa merasa khawatir dengan ancaman Fikri. Mereka tahu bahwa Fikri adalah santri yang berpengaruh di pesantren, dan ia bisa melakukan segala sesuatu untuk menghancurkan hubungan mereka. Mereka harus mencari cara untuk mengatasi konflik ini sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Titah dan Daffa kembali ke kamar masing-masing dengan perasaan khawatir. Ancaman Fikri membuat mereka gelisah. Mereka tahu Fikri bukanlah orang yang mudah menyerah. Ia memiliki banyak pengaruh di pesantren, dan ia bisa melakukan apa saja untuk memisahkan mereka.

Daffa mengusulkan agar mereka berbicara dengan Ustadz Amin. Ia berharap Ustadz Amin bisa membantu mereka mengatasi konflik dengan Fikri. Titah setuju dengan usulan Daffa. Mereka bersepakat untuk menemui Ustadz Amin keesokan harinya.

Keesokan harinya, Titah dan Daffa menemui Ustadz Amin di kantornya. Mereka menjelaskan semua yang terjadi kepada Ustadz Amin, termasuk ancaman Fikri. Ustadz Amin mendengarkan dengan sabar, kemudian memberikan nasehat kepada mereka.

"Titah dan Daffa, aku mengerti kalian sedang mengalami kesulitan. Tetapi, kalian harus tetap menjaga hubungan kalian dengan baik. Jangan sampai kalian terpancing emosi oleh Fikri. Kalian harus tetap tenang dan bijaksana dalam mengatasi konflik ini," ujar Ustadz Amin.

Ustadz Amin juga menyarankan agar Titah dan Daffa berbicara dengan Fikri dengan baik-baik. Ia berharap Fikri bisa memahami situasi dan menerima pilihan Titah. Ustadz Amin juga berjanji akan membantu mereka jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Titah dan Daffa merasa lega setelah berbicara dengan Ustadz Amin. Mereka bertekad untuk mengatasi konflik dengan Fikri dengan baik-baik. Mereka juga mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk, yaitu jika Fikri tetap tidak mau menerima hubungan mereka.

Mereka berdoa agar semua akan berjalan dengan baik. Mereka juga memperkuat hubungan mereka dengan saling memberikan dukungan dan semangat. Mereka tahu bahwa hubungan mereka akan diuji, tetapi mereka juga percaya bahwa cinta mereka akan bisa menaklukkan segala tantangan.

Titah dan Daffa mencoba untuk berbicara dengan Fikri beberapa kali, tetapi Fikri tetap menolak untuk mendengarkan. Ia terus mengancam mereka dan mencoba untuk memisahkan mereka. Titah dan Daffa mulai merasa kecewa dan ketakutan. Mereka khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Suatu sore, saat Titah sedang berjalan sendiri di taman pesantren, Fikri tiba-tiba muncul di depannya. Fikri menatap Titah dengan tatapan yang mengancam.

"Titah, aku akan melakukan segala sesuatu untuk memisahkan kamu dan Daffa," ujar Fikri dengan nada yang keras.

Titah terkejut mendengar ancaman Fikri. Ia mencoba untuk menenangkan Fikri, tetapi Fikri tetap mengancamnya. Fikri mengatakan bahwa ia akan membongkar hubungan Titah dan Daffa kepada pihak pesantren. Ia juga mengatakan bahwa ia akan melakukan segala sesuatu untuk menghancurkan hubungan Titah dan Daffa.

Titah merasa ketakutan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia mencoba untuk berlari, tetapi Fikri menahannya. Fikri menarik tangan Titah dan menariknya ke sebuah tempat yang sepi di belakang asrama putra.

"Titah, aku akan membuatmu menyesal telah memilih Daffa," ujar Fikri dengan nada yang mengancam.

Titah merasa ketakutan. Ia mencoba untuk melepaskan pegangan Fikri, tetapi Fikri menahannya dengan kuat. Fikri mendekati Titah dan mencoba untuk menciumnya.

"Fikri, hentikan! Aku tidak mau!" teriak Titah.

Fikri menatap Titah dengan tatapan yang liar. Ia tidak mendengarkan teriakan Titah. Ia terus mencoba untuk mencium Titah.

Tiba-tiba, Daffa muncul dari balik pohon dan menyerang Fikri. Daffa memukul Fikri dengan kuat hingga Fikri terjatuh ke tanah. Daffa menendang Fikri beberapa kali hingga Fikri menjerit kesakitan.

"Fikri, hentikan! Kau harus menghormati Titah!" teriak Daffa.

Fikri mencoba untuk berdiri, tetapi Daffa menendangnya lagi. Fikri menjerit kesakitan dan menangis. Daffa menatap Fikri dengan tatapan yang marah.

"Fikri, aku akan melaporkan perbuatanmu ini kepada Ustadz Amin," ujar Daffa dengan nada yang tegas.

Fikri menangis dan memohon ampun kepada Daffa. Ia mengatakan bahwa ia menyesal telah melakukan hal itu. Ia berjanji tidak akan mengancam Titah lagi.

Daffa menatap Fikri dengan tatapan yang kecewa. Ia menarik Titah dan membawanya menjauh dari Fikri. Mereka kembali ke asrama masing-masing dengan perasaan yang campur aduk.