Chereads / Jodohku di Pesantren Darussalam / Chapter 2 - Bab 2 Melebur dalam Keakraban

Chapter 2 - Bab 2 Melebur dalam Keakraban

Hari-hari di Pesantren Darussalam terasa semakin bermakna bagi Titah dan Daffa. Setelah kejadian di taman pesantren, hubungan mereka semakin akrab. Mereka seringkali belajar bersama, mengerjakan tugas bersama, bahkan menjalani ibadah bersama. Titah yang biasanya keras kepala, mulai belajar untuk lebih lembut dan pengertian. Daffa yang dulunya terlihat kaku, mulai lebih terbuka dan humoris di hadapan Titah.

Suatu sore, saat mereka sedang belajar di perpustakaan, Titah tiba-tiba teringat tentang cerita ibunya tentang legenda Gunung Merapi. Ia penasaran dan ingin mendengar cerita dari Daffa yang memang berasal dari daerah sekitar Merapi.

"Daffa, kamu tahu cerita legenda Gunung Merapi kan?" tanya Titah dengan mata berbinar.

Daffa mengangguk, "Tentu. Cerita tentang Ratu Kidul dan Jaka Tarub?"

"Iya, ceritakan dong!" pinta Titah dengan antusias.

Daffa pun mulai bercerita dengan suara lembut, menceritakan legenda Ratu Kidul yang terkenal dengan kecantikannya dan Jaka Tarub yang terpesona oleh keindahannya. Titah terpukau mendengarkan cerita Daffa. Ia terbawa dalam suasana mistis dan romantis dari legenda Merapi.

Setelah cerita legenda berakhir, suasana di antara mereka terasa lebih hangat. Mereka berbagi pengalaman dan pendapat tentang legenda tersebut. Titah mengatakan bahwa cerita Ratu Kidul mengajarkan tentang keindahan dan misteri alam. Daffa menambahkan bahwa cerita Jaka Tarub mengajarkan tentang pentingnya kejujuran dan keberanian dalam menjalani hidup.

Percakapan mereka berlanjut hingga menjelang maghrib. Mereka sama-sama merasa bahagia dan nyaman bersama. Titah mulai mengerti bahwa Daffa bukanlah orang yang kaku dan membosankan, melainkan seseorang yang memiliki kecerdasan dan kehangatan hati. Daffa pun mulai menyadari bahwa Titah bukanlah gadis yang keras kepala dan agresif, melainkan seseorang yang memiliki kepekaan dan keberanian untuk mengungkapkan perasaannya.

Malam itu, Titah dan Daffa sama-sama merasa lebih dekat satu sama lain. Mereka mulai menemukan keindahan dalam perbedaan sifat mereka. Mungkin, perbedaan itulah yang akan membuat hubungan mereka semakin kuat dan bermakna.

Kedekatan Titah dan Daffa semakin terasa. Mereka sering bersama dalam menjalani aktivitas di pesantren. Mereka ikut mengajar anak-anak di pondok pesantren, membantu membersihkan masjid, bahkan ikut berpartisipasi dalam kegiatan bakti sosial di desa sekitar pesantren.

Suatu hari, pesantren mengadakan kegiatan penghijauan di lereng Gunung Merapi. Titah dan Daffa ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Mereka bersama-sama menanam pohon di lereng gunung yang cukup terjal.

Saat menanam pohon, Titah terjatuh dan pergelangan kakinya terkilir. Daffa yang melihat kejadian itu segera menolong Titah. Ia membantu Titah berdiri dan membawa Titah ke tempat yang lebih aman.

"Titah, kamu baik-baik saja?" tanya Daffa dengan wajah cemas.

"Aku tidak apa-apa, Daffa. Hanya sedikit terkilir," jawab Titah dengan sedikit meringis kesakitan.

Daffa kemudian membantu Titah duduk di bawah pohon besar. Ia mengambil air minum dari tas ranselnya dan memberikannya kepada Titah. Titah menyeruput air itu dengan perlahan, mencoba meredakan rasa sakit di kakinya.

"Bagaimana jika kita pulang saja dulu?" saran Daffa.

"Tidak usah, Daffa. Aku masih bisa menonton kalian menanam pohon dari sini," jawab Titah dengan tegas.

Daffa terdiam sejenak, kemudian menatap Titah dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. "Aku tidak tenang meninggalkanmu di sini sendiri," ujarnya.

Titah tersenyum lebar. "Tidak apa-apa, Daffa. Aku akan baik-baik saja. Lagipula, kamu kan harus melanjutkan menanam pohon. Jangan khawatir padaku," ujarnya menenangkan.

Daffa menggeleng kepala. "Tidak, aku tidak bisa meninggalkanmu di sini sendiri. Aku akan membantu mencari obat di pos pengawas terdekat," ujar Daffa tegas.

Titah terkejut mendengar perkataan Daffa. Ia tidak menyangka Daffa akan begitu peduli padanya. Ia terdiam sejenak, kemudian mengangguk menyetujui permintaan Daffa.

Daffa pun segera berlari menuju pos pengawas terdekat untuk mencari obat. Titah menatap punggung Daffa yang menjauh, merasa hangat dan terharu. Ia tidak menyangka bahwa hubungan mereka yang awalnya diwarnai perbedaan dan perselisihan, sekarang telah berubah menjadi kedekatan yang erat.

Daffa kembali dengan sebotol obat gosok dan beberapa perban. Ia segera membersihkan luka Titah dan mengobatinya dengan obat gosok. Titah merasa nyaman dengan perhatian yang diberikan Daffa. Ia terkejut dengan kepedulian Daffa yang tak terduga.

"Terima kasih, Daffa. Aku tidak menyangka kamu sepeduli ini," ujar Titah dengan nada yang lembut.

Daffa tersenyum lebar. "Tidak apa-apa, Titah. Aku harus menolongmu," jawab Daffa.

Setelah mengobati luka Titah, Daffa membantu Titah berdiri dan membawanya menuju pos pengawas terdekat. Mereka berjalan bersama, menikmati pemandangan lereng Merapi yang indah.

"Titah, aku ingin menanyakan sesuatu padamu," ujar Daffa dengan nada yang serius.

"Apa itu, Daffa?" tanya Titah dengan penasaran.

"Apakah kamu pernah merasa ada sesuatu yang berbeda di antara kita?" tanya Daffa dengan tatapan yang dalam.

Titah terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan jujur, "Ya, aku merasakannya. Aku merasakan kedekatan yang unik di antara kita. Aku merasakan sesuatu yang lebih dari sekedar persahabatan."

Daffa tersenyum lebar. "Aku juga merasakannya, Titah. Aku merasakan sesuatu yang khusus untukmu. Aku ingin menyatakan perasaanku padamu, Titah. Aku mencintaimu," ujar Daffa dengan nada yang tegas.

Titah terkejut mendengar pengakuan Daffa. Ia terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan Daffa. Ia merasakan bahwa perasaan yang sama juga bersemayam di hatinya.

"Daffa, aku juga mencintaimu," jawab Titah dengan nada yang lembut.

Mereka berpelukan erat, menyatukan perasaan cinta yang sudah lama bersemayam di hati mereka. Namun, kebahagiaan mereka tiba-tiba terusik oleh kedatangan Ustadz Amin, pembimbing mereka, yang datang mencari Titah.

"Titah, kamu di mana saja? Semua orang mencarimu," ujar Ustadz Amin dengan nada yang cemas.

Titah dan Daffa terpaksa melepaskan pelukan mereka. Mereka menjelaskan kejadian yang terjadi kepada Ustadz Amin. Ustadz Amin mengeluhkan Titah karena tidak memberitahu siapapun tentang kecelakaan yang dialaminya. Ia juga menasihati Titah untuk lebih berhati-hati dalam beraktivitas.

"Titah, kamu harus lebih berhati-hati. Kesehatanmu lebih penting daripada segala sesuatu," ujar Ustadz Amin.

Titah mengangguk menyetujui nasehat Ustadz Amin. Daffa pun menambahkan kata-kata penenangan kepada Titah.

"Titah, jangan khawatir. Aku akan selalu menjagamu," ujar Daffa dengan lembut.

Ustadz Amin menatap Titah dan Daffa dengan tatapan yang menelisik. Ia merasakan sesuatu yang berbeda di antara mereka. Ia mencoba untuk tidak menilai terlebih dahulu, namun ia merasakan bahwa hubungan mereka akan menjadi sesuatu yang lebih serius di masa mendatang.

Ustadz Amin meninggalkan Titah dan Daffa, meninggalkan mereka berdua dalam suasana canggung namun menyenangkan. Mereka saling menatap, mencoba menebak apa yang berada di pikiran masing-masing. Titah merasa bahagia karena akhirnya bisa mengungkapkan perasaannya pada Daffa, tetapi juga sedikit gugup memikirkan reaksi orang tua mereka nantinya. Daffa pun merasa bahagia karena perasaannya pada Titah terbalas, tetapi juga sedikit khawatir tentang bagaimana mereka akan menjalani hubungan mereka di lingkungan pesantren yang sangat ketat.

"Titah, aku ingin kita menjalani hubungan ini dengan baik. Aku ingin kita bisa saling menghormati dan menyayangi satu sama lain," ujar Daffa dengan nada yang lembut.

Titah mengangguk menyetujui. "Aku juga ingin begitu, Daffa. Aku ingin hubungan kita bisa mendapat restu dari orang tua kita," jawab Titah.

Mereka berpegangan tangan erat, menikmati hangatnya persahabatan mereka yang telah berubah menjadi cinta. Namun, kebahagiaan mereka tiba-tiba terusik oleh kedatangan sekelompok santri yang berbisik-bisik di belakang mereka.

"Itu kan Titah dan Daffa! Mereka berpegangan tangan! Mereka pacaran!" bisik salah satu santri.

Titah dan Daffa terkejut mendengar bisikan itu. Mereka segera melepaskan pegangan tangan mereka dan berpura-pura tidak mendengar apapun. Namun, bisikan itu telah menanamkan kecemasan di hati mereka. Mereka khawatir tentang bagaimana mereka akan menjalani hubungan mereka di lingkungan pesantren yang sangat ketat dan melarang hubungan pacaran di antara santri.

"Daffa, apa yang harus kita lakukan?" tanya Titah dengan wajah cemas.

Daffa terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan tegas, "Kita harus tetap menjalani hubungan ini dengan baik. Kita harus mencari cara agar hubungan kita bisa direstui oleh orang tua kita dan juga oleh pihak pesantren."

Titah tersenyum lebar. "Aku percaya padamu, Daffa. Kita pasti bisa menjalani hubungan ini dengan baik," jawab Titah.

Mereka berpegangan tangan erat lagi, menikmati hangatnya cinta mereka yang semakin kuat. Mereka bertekad untuk menjalani hubungan mereka dengan baik, mencari cara agar hubungan mereka bisa direstui oleh orang tua mereka dan juga oleh pihak pesantren. Mereka berharap bahwa cinta mereka akan bisa menaklukkan segala tantangan yang ada di depan mereka.