Tiga tahun kemudian ...
Tiga orang bocah berambut hitam beda jenis kelamin itu berlari menyelusuri taman bunga di samping Mensio milik ibunya dan tempat mereka tinggal. Bocah perempuan berambut hitam sepunggung yang mengejar kakak keduanya berhenti karena lelah. Ia mendudukkan dirinya di bawah pohon apel di samping kanan Mensio dari depan.
" Kak, Dei cape. Kakak larinya cepat banget, Dei gak bisa nyusul" Keluh gadis kecil itu ngos–ngosan. Bocah berambut hitam pekat bernetra silver yang sedari tadi hanya mengikuti adiknya di belakang menghampiri adiknya dan duduk di samping kanan gadis itu sambil merebahkan tubuhnya di bawah pohon apel.
Bocah berabut hitam dengan netra berwarna silver muda yang sedari tadi berlari ikut membaringkan tubuhnya di samping kiri adiknya.
"Kau yang terlalu lambat, Dei. Lawan Kak Nico saja kau sudah lelah bagaimana kalau melawan Sean? Bisa–bisa belum beberapa langkah di star kau sudah kalah sangking cepatnya Sean." Ucap bocah bernetra silver muda di kiri gadis itu.
Mendengar ucapan adiknya. Bocah bernetra silver di kanan gadis itu tersenyum mengejek. "Jangan mengejek Dei, Nico. Kau bahkan sama lambatnya dengannya. Kalian mana bisa mengalahkan ku" Ucap bocah itu dengan nada sombong dan percaya dirinya.
Keduanya mendengus kesal mendengar ucapan kakaknya itu. "Sombong sekali. Ingat kata Mommy kita tak boleh sombong dengan kemampuan kita, karena di luar sana ada yang lebih hebat di banding kita. Dan itu pasti." Ucap bocah yang di panggil Nico itu.
Gadis kecil yang di panggil Dei itu mengangguk setuju. Bocah yang di panggil Sean itu menoleh ke kirinya menatap kedua saudara kembarnya itu.
"Aku tau itu. sekarang kita harus masuk sebelum Mommy datang. Aku mencium bau momi tak jauh dari sini" Ucap Sean sambil berdiri dari rebahnya kemudian berlari ke arah depan Mensio.
Mendengar ucapan kakaknya kedua bocah yang beda dua menit itu langsung berdiri kemudian saling pandang sebelum lari menyusul kakak mereka.
***
Seorang gadis cantik bernetra biru saphire yang memakai kemeja putih dan rok span berjalan memasuki mensio putih itu dengan langkah menawannya. Di usianya yang menginjak sembilan belas tahun ia terpaksa menjadi kepribadian dewasa saat di luar rumah karena ia sudah memiliki tiga orang anak yang sekarang berusia tiga tahun tujuh bulan.
Gadis cantik itu tak lain adalah Zea. Si pemiliki nama Zalthea Scarlett. Setelah lulus di S2–nya gadis itu berkerja di sebuah Cafe dan beberapa Restourat. Bukan berkerja sih, tapi ia sebagai pemilik tempat itu. Kadang Zea di bantu oleh ke tujuh sahabatnya kalau mereka sedang dalam mode Free.
Ke tujuh sahabatnya itu tinggal menunggu dua minggu lagi baru menjadi sarjana. Zea memilih Homeschooling sampai perguruan tinggi sambil bisa menjaga para anak kembar tiganya. Ia tidak ingin meninggalkan satu pun momen tumbuh besarnya ketiga anak kembarnya.
Zea langsung menuju kamarnya yang ada di lantai dua yang bersebelahan dengan kamar para anaknya. Ia ingin mandi terlebih dulu baru memasak masakan khusus untuk ketiga anak dan sahabatnya. Ia tidak ingin makanan untuk anaknya para pelayan yang menyiapkannya, ia ingin menjadi yang pertama tau makanan ke sukaan ke tiga anaknya walaupun cukup melelahkan.
Setelah selesai mandi Zea pun langsung menuju dapur dan saat menuruni tangga samar–samar Zea mendengar perdebatan dari arah dapur. Dari suarannya Zea rasa yang berdebat itu adalah anak–anak.
"Biar Dei, Kak Nico, yang buatin Mom makanan. Kakak kan gak bisa masak? Jadi biar Dei aja?" ucap gadis kecil berambut hitam sepunggung yang memperebutkan spatula dengan bocah yang di panggilnya kakak itu.
Bocah di depan gadis yang memanggil dirinya dei itu menggeram marah. "Biar kakak aja Dei, kamu itu masih kecil gak bisa masak" Protes bocah itu tak mau mengalah.
Bocah tampan yang sedari tadi hanya bersandar di lemari es langsung menghampiri kedua adiknya. Kemudian tanpa ancang–ancang ia tendang spatula itu ke atas dan menbuat kedua bocah yang saling berebutan itu terperangan dan membeku di tempat.
Spatula yang di tendangnya ke atas mendarat ka tangan kanannya yang sudah siap menyambut. "Kita semua itu sama–sama masih kecil. Jadi jangan mengejek satu sama lain di saat kalian hanya berbeda dua menit saja. Aku tau kalian ingin membuatkan Mom makanan karena kasihan dengan Mom yang pasti cape sepulang berkerja tapi setidaknya berpikir dulu sebelum bertindak. Kalau di antara kalian ada yang terluka karena berkutat di dapur, siapa yang di salahkan? Pasti aku karena aku yang paling tua di antara kalian. Aku bukannya songong karena aku yang lebih tua aku hanya ingin menasihati kalian sebagai Kakak." Omel bocah itu panjang lebar dengan wajah datar dan Aurat mengintimidasi.
Entah karena takut atau merasa ucapan sang kakak benar adanya, keduannya mengangguk paham.
"Maaf" Cicit mereka pelan.
Di saat ingin kembali berujar bocah bereskpresi datar itu terkejut saat merasakan dekapan dari belakangnnya.
Mencium dari bau memabukkan itu ia sudah tau yang memeluknya adalah Mommy kesayangannya.
"Mom?"
Mendengar nada bicara kakaknya yang menjadi lembut keduanya yang awalnya hanya diam menunduk mendongak saat mencium bau memabukkan milik sang Mommy.
"Mommy? Mommy baru pulang?" tanya gadis cantik kecil itu.
Zea mengangguk kemudian tersenyum manis. " Kemari, peluk Mommy"
Mendngar ucapan sang momi dengan cepat mereka bergabung kedalam pelukan sang momi. "Makasih sayang sudah mau membantu dan membuatkan Mommy makanan. Mommy mungkin cape tapi kalau soal ke tiga anak kesayangan Mommy apa sih yang engga. Seperti ucapan kakak kalian, Sean, sebelum kalian melakukan sesuatu lebih baik di pikirkan dulu apakah kalian bisa atau tidak? Karena kalian ini masih kecil dalam bentuk tubuh. Kalau misal tadi kalian masak terus terjadi sesuatu pada kalian? Kalian mau Mommy menangis darah karena khwatirin kalian? Engga kan, jadi kalau kalian ingin berbuat, pikirkan dengan baik terlebih dahulu, oke?"
Ke tiganya mengangguk paham kemudian mengulumkan senyum manis di bibir manis mereka. "Emmm... kalian ini imut bangett sih, Mom jadi makin sayang" Ucap Zea sambil menciumi mereka dengan gemas.
" Oh, iya karena Mom mau masak, kalian mau bantu?" tawar Zea dan di angguki oleh Nico dan Dei. Sedangkan sean berjalan menuju kemeja makan.
" Aku akan merapikan meja makan dan menyiapkan yang lainnya" Ucapnya seraya kembali dan membuka lemari yang berisikan sendok dan beberapa garpu.
"Baiklah, yang benar menyusunnya Sean." Ucap Zea memperingati anak pertamannya itu.
"Yes, Mom"
***