Pesona seorang Anastasia Melody ternyata belum sepenuhnya surut. Meski wajahnya sedikit berbeda karena operasi plastik akibat kecelakaan, namun ia tetap Anastasia Melody yang masih dicintai oleh fansnya. Acara jumpa Pers yang diadakan oleh Lisa pun sukses. Tak hanya itu, kontrak kerja sama untuk iklan dan yang lain sebagainya langsung masuk melalui email pribadi Lisa.
Lisa tentunya sangat senang dan bersemangat. Ia langsung menyetujui beberapa kontrak kerja yang dianggap paling menguntungkan bagi Anastasia. Anastasia sendiri tidak keberatan bahkan ia melakukan semuanya dengan hati yang gembira.
"Jadi, bagaimana pagi ini? Kau tidur dengan nyenyak semalam?"
Menelepon Kevin lewat video call menjadi menu sarapan pagi special bagi Anastasia meskipun ia tidak tau bahwa sebenarnya Danzel yang setiap pagi melakukan video call. Bahwa orang yang ia kira Danzel justru adalah Kevin yang selama ini selalu mengganggu tidur dan mimpi malamnya.
"Apa acaramu hari ini?" tanya Anastasia.
"Aku harus ke rumah sakit,Danzel harus dirawat," kata Danzel.
Deg...
Mendengar perkataan Danzel, Anastasia tersentak kaget. Entah mengapa tiba-tiba ia merasakan nyeri yang teramat sangat di hatinya.
"Dia kenapa?" tanya Anastasia.
Danzel menghela napas panjang.
"Kanker hati, stadium 3."
Anastasia membekap mulutnya seketika. Kanker? Penyakit itulah yang membuat dirinya dan Lisa menjadi yatim sejak kecil. Ayah mereka meninggal karena kanker hati.
Air mata perlahan menetes di pipi Anastasia, membuat Danzel menautkan alis matanya.
"Kau kenapa?" tanyanya.
Anastasia mengembuskan napasnya.
"Mungkin kau lupa, aku pernah bercerita kepadamu kan, ayahku meninggal karena kanker hati. Apakah kau lupa dengan ceritaku?"
Danzel menepuk dahinya, sial! Kevin rupanya belum bercerita tentang hal itu kepadanya. Mungkin hal ini yang membuat Kevin memilih untuk memendam perasaan nya kepada Anastasia. Ia tidak mau jika suatu saat ia harus pergi, Anastasia kembali teringat kisah sedih tentang ayahnya.
"Maaf, sayang, aku lupa," kata Danzel lirih. Anastasia hanya tersenyum kecil.
"Tidak apa-apa. Aku maklum jika kau lupa. Baiklah, aku harus segera mandi dan sarapan. Jam sepuluh nanti aku harus melakukan pemotretan dan syuting iklan. Setelah itu, siang nanti aku harus ke studio rekaman," kata Anastasia saat ia tidak sengaja melirik jam dinding.
Danzel tersenyum dan melambaikan tangannya di kamera kemudian memutuskan sambungan telepon. Setelah itu pemuda bertubuh tinggi itu juga bergegas membereskan barang yang akan ia bawa ke rumah sakit. Ia harus segera menemani Kevin. Ia segera menyambar kunci mobilnya dan langsung bergegas mengemudikan mobilnya ke rumah sakit. Dan begitu sampai, ia segera menuju kamar Kevin. Maya ibunda Kevin langsung menyambut kedatangannya dengan senyuman.
"Kau sudah datang," sapanya.
"Tante bisa pulang, biar aku yang menjaga Kevin di sini."
"Terima kasih, Dan. Tante pulang dulu ya, nanti sore setelah semua pekerjaan Tante selesai Tante akan kembali ke sini."
"Malam ini, biar aku yang menjaga Kevin di rumah sakit. Tante sudah tiga malam tidur di rumah sakit terus. Kasian Om di rumah, Tante."
"Om-mu kan sudah besar. Memangnya dia bayi yang harus selalu dijaga?" kata Maya.
"Tante juga perlu istirahat dengan nyaman, biar aku saja. Lihat ini, aku sudah membawa bekal pakaian untuk ganti," paksa Danzel sambil memperlihatkan tas yang ia bawa.
Maya mengendikkan bahunya, "Baiklah, tante menyerah. Malam ini kau yang menjaga Kevin. Tapi, janji jika ada apa-apa cepat hubungi om dan tante."
"Sudahlah, Ma. Danzel bisa menjagaku, dia sudah lebih dari cukup. Mama istirahat saja di rumah," Kevin akhirnya buka suara.
"Mama tidak bisa melawan kalian berdua. Sudah, mama pulang dulu. Ingat, minum obatmu dan jangan melanggar apa yang dokter katakan."
"Iya, ma."
Maya pun menyambar tasnya lalu mengecup dahi putra tunggalnya itu, kemudian menepuk bahu Danzel sekilas dan melangkah keluar kamar. Sekilas, siapapun yang melihat pasti akan mengira Maya adalah wanita dan seorang ibu yang begitu tegar. Tapi, sebenarnya ia selalu menangis saat ia sendiri atau saat Kevin tidak melihatnya. Ibu mana sih yang tega jika mengetahui bahwa putra semata wayangnya memiliki penyakit yang parah dan bahkan sang maut bisa kapan saja datang menjemput.
"Kau yakin akan menginap di rumah sakit?"tanya Kevin.
"Tentu saja. Kau pikir aku berdusta?!"
Kevin hanya tertawa kecil melihat tingkah Danzel. Pemuda itu langsung mengubah kursi sofa yang terdapat di ruangan itu menjadi kasur, dan langsung berbaring di atasnya sambil meraih remote televisi dan memindahkan chanel.
"Kau pikir ini hotel?!" hardik Kevin gemas.
"Anggap saja begitu Kev. Sudahkah kau jangan banyak protes, ni ponselku. Kau bisa chat dengan Anastasia," kata Danzel sambil memberikan ponsel. Mereka memang pada akhirnya harus menukarkan nomor ponsel yang mereka berdua gunakan. Tadinya supaya Anastasia tidak curiga. Tapi, pada akhirnya malah jadi keterusan.
"Kev, kenapa kau tidak mengatakan kepadaku bahwa ayahnya Anastasia meninggal karena kanker?" tanya Danzel tiba-tiba.
"Bukanlah aku tidak menceritakan kepadamu? Bagaimana kau tau?"
Danzel menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Tadi, aku mengatakan bahwa aku hendak ke rumah sakit. Dan, aku tidak sengaja kelepasan mengatakan penyakitmu."
"Hah! Kau ini... Aku sudah menyangka satu hari kau pasti kelepasan mengatakan hal ini kepadanya. Lalu, bagaimana reaksinya?"
"Dia tiba-tiba saja menangis. Saat aku bertanya ada apa, dia menceritakan sekilas tentang ayahnya. Dan ia bertanya kepadaku, apa aku lupa bahwa ia pernah bercerita. Aku gugup, jadi kujawab saja aku lupa."
Kevin menghela napas panjang.
"Aku lupa mengatakan kepadamu, maaf."
"Jadi, itu sebabnya kau tidak mau mengakui penyakitmu kepadanya?" tanya Danzel. Kevin menganggukkan kepalanya perlahan.
"Aku tidak mau dia kembali merasakan kehilangan orang yang ia sayangi. Jika boleh jujur aku sangat mencintainya, tapi biarlah aku mencintai dengan caraku sendiri. aku tau dia akan bahagia menjadi milikmu. Sekalipun pada akhirnya nanti dia tau bahwa kau bukan aku. Tapi, dia sudah terlanjur mencintaimu, apalah arti sebuah nama," tutur Kevin.
Danzel menghela napas panjang, demi Tuhan, ia benci mendengar Kevin mengatakan soal kematian.
"Sudahlah, kau tidak usah bicara soal itu. Lebih baik kau pikirkan cara agar kau bisa cepat keluar dari sini. Ingat, tiga minggu lagi, kita kembali ke Jakarta. Aku sudah tidak sabar menikmati suasana ibu kota."
"Aku tau tempat apa yang pertama kali akan kau kunjungi," kata Kevin meledek. Danzel menoleh, "Kemana?"
"Dugem! Kau pasti sudah tidak sabar bertemu dengan dancer pujaan hatimu yang dulu itu, mengaku saja!"
Danzel langsung melemparkan bantal yang ada di dekatnya dengan kesal.
"Lalu kau dulu tidak?! Matamu itu paling hobby jelalatan jika melihat gadis yang cantik melenggang di dekatmu!" seru Danzel membuat tawa Kevin meledak seketika.