"Aku tidak mau menemui gadis itu! Kau sudah gila? Aku tidak tau apa-apa mengenai dia. Bagaimana jika dia curiga?"
Danzel memperlihatkan wajah yang penuh emosi kepada Kevin.
Kevin menepuk bahu sahabatnya itu. "Aku belum pernah melakukan Video Call atau semacamnya. Dan, kau pun tau aku tidak pernah memasang fotoku di akun medsos milikku. Kau tolong temui dia untukku. Dia akan datang minggu depan."
"Aku belum mengatakan 'iya' kepadamu."
"Tapi aku yakin kau akan menyetujuinya."
"Percaya diri sekali tuan muda ini."
"Kau adalah sahabatku yang paling baik dan mengerti aku. Jadi, kali ini aku benar-benar memohon padamu."
Danzel menatap sahabatnya itu, tanpa banyak bicara lagi, ia melangkah pergi keluar dari kamar sahabatnya itu. Namun, Kevin tau bahwa Danzel akan menyetujui permintaannya untuk menggantikan dirinya.
Kevin menatap ke luar jendela kamarnya. Ia menghela napas panjang. Sesungguhnya, ia sangat ingin bertemu dengan Anastasia. Gadis itu sudah menarik hatinya sejak pertama kali mereka berkenalan. Beberapa kali mereka bicara melalui telepon. Suara lembut dan merdu milik Anastasia sudah menggetarkan hatinya.
Seandainya saja mereka bisa bertemu. Tapi rasanya ia tidak bisa memberikan harapan yang palsu kepada Anastasia. Ia takut, gadis itu akan kecewa dan tidak bisa menerima kenyataan.
**
Sudah hampir satu jam menunggu akhirnya pesawat dari Jakarta tiba juga di bandar udara internasional El Tari Kupang. Danzel mengamati orang-orang yang lalu lalang keluar dari terminal kedatangan. Hingga akhirnya hanya tersisa seorang gadis dan sepasang suami istri yang tampaknya sedang menunggu jemputan. Danzel pun langsung melangkah mendekati gadis itu. Dalam hati ia merasa kagum juga saat melihat penampilan gadis yang sedang berdiri di hadapannya ini. Gadis itu bertubuh tinggi semampai, langsing dengan kulit kuning langsat. Ia memiliki mata yang tajam, hidung mancung dan bibir mungil yang begitu sensual.
"Anastasia?" tanya Danzel. Gadis itu menoleh dan tersenyum manis. Melihat senyumannya Danzel terpesona seketika. Senyum gadis itu begitu manis dengan lesung pipi yang membuatnya terlihat jauh lebih cantik.
"Kau Kevin?"
"Iya, aku Kevin."
Anastasia tampak memicingkan matanya, Danzel melihat kecurigaan dari sorot mata gadis itu. Namun, ia segera tersenyum manis.
"Namamu Anastasia Mirela. Kau anak kedua dari dua bersaudara. Dan, kau memiliki tanda lahir di leher kananmu," kata Kevin. Mendengar ucapan Kevin senyuman Anastasia makin mengembang. Ia dan Kevin memang sudah menentukan sandi rahasia yang harus diucapkan pada saat mereka bertemu.
"Akhirnya kita bertemu juga."
"Kau hanya seminggu di sini?" tanya Danzel.
"Iya, aku hanya seminggu saja di sini. Kau mau menemani seperti yang kau janjikan kemarin, kan?" tanya Anastasia. Danzel menghela napas panjang, "Ya, aku kan mengantarmu."
"Apa kau baru saja datang?" tanya Anastasia sambil menyeret kopernya dan berjalan di samping Danzel.
"Tidak. Aku datang sudah sejak satu jam yang lalu."
"Lalu, kenapa kau tidak meneleponku?"
Danzel kembali menghela napas panjang.
"Sengaja, lagi pula jika aku langsung menelepon, kau kan tidak akan merasa gelisah dulu. Dengan begitu aku jadi tau, kalau kau menunggu aku."
"Hih, kau ini ya benar-benar menyebalkan."
"Ahahaha... Baiklah kita ke mana sekarang?"
Anastasia menatap Danzel.
"Kau masih bertanya? Aku kan sudah mengatakan kepadamu bahwa aku akan mengunjungi sahabatku di daerah naikoten. Jadi, aku akan menginap di hotel Slyvia."
"Ah, iya. Maafkan aku, aku lupa."
"Apa di sana ada tempat makan? cafe atau restoran?"
"Ada cafe di dekat sana. Kau belum makan?"
"Iya, aku belum makan siang."
"Kita cek in dulu saja di hotel tempat kau menginap. Jadi, kau tidak perlu membawa kopermu ke mana-mana."
Anastasia hanya mengangguk. Mereka pun langsung menuju ke tempat Anastasia akan menginap. Anastasia langsung cek in dan menyimpan barang-barangnya di kamar. Setelah itu ia kembali menemui Danzel yang menunggunya di lobby.
"Kevin," panggilnya. Namun, Danzel tak juga menoleh sehingga gadis itu harus menepuk bahu pemuda itu.
"Eh, kau sudah selesai? Kenapa tidak memanggilku?"
"Aku memanggil namamu, tapi kau terus asik dengan gadgetmu."
Danzel menepuk dahinya. Ia memang mendengar suara Anastasia, tapi, karena merasa namanya bukan Kevin hingga Danzel tidak langsung menoleh.
"Maaf, aku tadi sedang fokus. Salah seorang sahabatku sedang chat."
"Pasti Danzel?"
Danzel menepuk dahinya, 'sial, rupanya Kevin sering bercerita tentang diriku pada gadis ini,' gumamnya dalam hati.
"Dia memang sering curhat kepadaku. Ya, maklum saja kami sama-sama jomlo tidak memiliki kekasih. Jadi, hanya bisa saling bercerita."
"Kau harus memperkenalkan kami nanti, ya."
"Iya, aku akan memperkenalkan kalian berdua. Ayo, kita pergi makan. Jalan kaki saja, ya. Tempatnya tidak jauh dari sini."
Tidak jauh dari hotel tempatnya menginap ternyata ada sebuah cafe. Suasana cafe itu cukup nyaman, Anastasia merasa senang sekali. Beberapa bulan ini ia memang selalu penasaran ingin bertemu dengan Kevin. Kevin pernah mengatakan bahwa dia bukan penduduk asli kota Kupang. Tapi, Surabaya, hanya saja ayah Kevin sedang menjalankan dinas di kota itu. Dan, ternyata Kevin sesuai dengan apa yang selama ini Anastasia bayangkan. Dia pemuda yang tampan dan bertubuh tinggi. Dengan hidung mancung dan mata yang sedikit sipit. Hanya satu yang sedikit mengganggu pikiran Anastasia.
"Kita sering berkomunikasi lewat telepon. Tapi, kenapa aku merasa suaramu sedikit berbeda, ya?"
Danzel kembali menelan salivanya.
"Aku, ah, kau ini. Jarak Jakarta-Kupang itu kan lumayan jauh. Wajar saja jika mungkin suaraku terdengar berbeda. Ah, sudahkah, ayo pesanlah makanan. Kau mau se'i? Se'i itu makanan khas kota Kupang. Kau mau coba?"
"Boleh, aku mau coba," jawab Anastasia.
Danzel pun langsung memesan dia porsi se'i sapi dan juga beberapa menu yang lain juga minuman. Setelah beberapa saat menunggu, mereka pun makan dengan nikmat. Melihat Anastasia yang begitu menikmati makanannya, Danzel merasa senang. Entah mengapa hatinya mulai tergerak melihat gadis itu. Ada getaran-getaran yang terasa menggelitik di hatinya.
**
"Jadi, dia sudah sampai? Kau sudah mengantarnya ke hoyel?" tanya Kevin saat melihat Danzel datang dengan wajah yang sedikit masam.
"Kau memang bajingan, seenaknya saja menjadikan aku umpan."
"Dia cantik?" tanya Kevin.
"Dia cantik. Mirip seperti foto model. Dia juga gadis yang menyenangkan untuk diajak bicara. Kenapa sih kau tidak mau menemuinya sendiri?"
Kevin menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
"Kau tau alasannya."
"Jangan kau jadikan penyakitmu sebagai alasan untuk kau bisa menghindar darinya dan menciptakan sandiwara seperti ini. Bagaimana jika dia tau bahwa aku bukanlah Kevin? Jujur saja, dia sangat cantik. Jika kau tidak mau aku akan mengejarnya untuk aku jadikan kekasih," kata Danzel.