"Bagaimana kondisi Kevin, Ma?" tanya Rizal pada Maya saat sang istri baru saja memasuki ruang makan.
"Seperti biasa, Pa. Selalu bersikap seolah dia kuat dan tegar. Bagaimana mutasi kalian? Kau dan Herman? Permintaan kalian untuk kembali pindah ke Jakarta mendapatkan persetujuan, kan?"
Rizal tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Tentu saja, Ma. Dia minggu lagi kita bisa kembali ke rumah kita. Mama dan Kevin bisa kembali lebih dulu ke Jakarta. Biar Papa mengurus sisanya di sini."
"Mama akan segera membawa Kevin ke rumah sakit Dharmais, Pa."
"Lakukan apa yang terbaik bagi Kevin, Ma. Oya, malam ini biar Papa temani Mama di rumah sakit."
Maya menggelengkan kepalanya.
"Ada Danzel yang menemani Kevin di rumah sakit."
"Mereka berdua itu benar-benar sahabat sejati sejak kecil."
"Dan, hampir menjadi menantu kita, Pa."
Rizal mengembuskan napasnya perlahan. Ya, Danzel memang hampir menjadi menantu mereka. Putri bungsu mereka, Katharina, meninggal karena kecelakaan pesawat. Bahkan jenazahnya tidak pernah ditemukan. Hilang bersama meledaknya pesawat Boeing 737 dari Pangkal Pinang ke Jakarta. Katharina sedang KKN di Pangkal Pinang. Dan, hari itu entah mengapa Katharina mendadak ingin pulang dan baru memberi kabar beberapa saat sebelum take off.
Siapa yang menyangka, bahwa suara Katharina lewat telepon itu adalah suara terakhir yang mereka dengar. Karena dua jam kemudian, pesawat dinyatakan hilang. Bukan hanya mereka yang hancur dan merasa kehilangan. Tapi, Danzel yang tak lain adalah tunangan Katharina hampir gila karena kepergian calon istrinya yang mendadak itu. Butuh waktu lama bagi mereka semua untuk merelakan kepergian Katharina. Dan kini, mereka hampir kehilangan putra mereka.
"Kenapa Tuhan menitipkan mereka kepada kita jika pada akhirnya diambil kembali dengan cara yang seperti ini. Apakah kali ini kita harus kembali pasrah? Dulu Katharina. Sekarang Kevin menderita sakit yang parah. Haruskah kita pasrah dan menerima saja? Tidak adakah keadilan bagi kita berdua, Pa?" tanya Maya sambil memeluk suaminya.
"Kita hanya manusia biasa, Ma. Kita bisa apa selain pasrah dan berdoa memohon keajaiban pada Tuhan."
"Semoga saja ada yang mau mendonorkan hatinya untuk Kevin, Pa. Mama ingin sekali melihat putra kita itu sehat, menikah dan mempunyai anak. Kita bisa menimang cucu."
"Kita berdoa saja,Ma."
Sementara itu Kevin dan Danzel tampak santai dan masih bisa tertawa meski saat ini mereka berada di rumah sakit. Danzel tampak asik bermain game lewat ponselnya, sementara Kevin asyik membalas chat dari Anastasia sambil sesekali tertawa geli. Tidak ada rasa cemburu sama sekali di hati Danzel. Ia memang jatuh cinta pada Anastasia. Tapi, ia tau dengan pasti siapa yang Anastasia cintai. Entah hubungan cinta seperti apa yang saat ini sedang mereka jalani. Cinta segitiga yang entah akan bagaimana akhirnya.
Melihat Kevin tersenyum sendiri, Danzel hanya menghela napas panjang dan kembali fokus bermain. Namun, tiba-tiba ingatannya melayang jauh....
**
_4 tahun yang lalu_
"Kenapa harus ke Pangkal Pinang sih, Rin? Itu terlalu jauh. KKN itu kan bisa di Jakarta saja."
"Nggak usah manja, Dan. Jakarta ke Pangkal Pinang itu hanya 1 jam dengan pesawat. Lagi pula hanya 3 bulan, kau mau aku cepat menyelesaikan kuliahku, kan? Jika aku cepat lulus dan wisuda kita akan lebih cepat menikah."
Danzel menatap kedua manik mata Katharina. Ia merasa begitu berat melepas kepergian kekasihnya itu. Rasanya sesuatu yang buruk akan terjadi dan menimpa Katharina.
"Kau bisa KKN di Bogor, atau di mana saja, Rin. Tapi, jangan ke sana."
"Hei, iam okay. Aku akan baik-baik saja. Percayalah kepadaku."
Pada akhirnya, Danzel pun terpaksa melepaskan kepergian Katharina. Ia bisa merasakan kelegaan saat mendengar Katharina tiba dengan selamat. Selama dua bulan mereka hanya berhubung jarak jauh. Dan semua baik-baik saja, hingga pada hari itu keduanya bertengkar hebat. Dan, hanya untuk menyelesaikan masalah dengannya Katharina memilih pulang. Siapa yang menyangka bahwa keputusan Katharina itu justru membuat mereka berpisah untuk selama-lamanya. Dan sejak saat itu, tidak ada lagi gadis yang mampu menarik perhatian Danzel.
Pemuda itu menjadi dingin pada siapapun. Tidak ada gadis yang mampu membuatnya tersenyum dan merasakan cinta.
**
Pletak...
"Aw! Kau pikir tidak sakit ya?!" hardik Danzel kesal saat Kevin melempar pulpen tepat mengenai kepalanya.
"Kau melamun apa?' tanya Kevin.
Danzel langsung menggelengkan kepalanya. Dari ekspresi wajah Danzel , Kevin sudah bisa menebak apa yang Danzel pikirkan.
"Kau mengingatnya?" tanya Kevin.
"Aku tidak pernah bisa melupakan dia. Jika saja malam itu kami tidak bertengkar, mungkin dia tidak akan pulang pada hari itu. Aku yang sudah membunuhnya, Kev," kata Danzel dengan lirih."
Kevin mengembuskan napas perlahan, ia melihat ada air mata mengalir di pipi Danzel. Hanya di hadapan Kevin ia bisa menangis seperti anak kecil.
"Dia sudah tenang di surga, tidak ada yang pernah menyalahkan dirimu. Kau jangan mengingatnya lagi. Dia akan selalu hidup dalam hati kita. Lagi pula, kau sudah bisa membuka hatimu pada Anastasia, kan?"
"Lalu, kau pikir dengan aku membuka hati lalu aku akan melupakan adikmu begitu saja? Dia selalu memiliki tempat di hatiku yang tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun juga. Sekalipun aku mencintai Anastasia, bukan berarti aku melupakan dia begitu saja."
Kedua pemuda itu terdiam, Kevin tau betul bagaimana Danzel mencintai Katharina. Tau betul bagaimana Danzel banyak berkorban untuk almarhum adiknya itu.
**
"Cut! Bungkus!"
Anastasia menghela napas lega dan langsung menghampiri Lisa. "Sudah selesai untuk hari ini kan, Mbak?" tanya Anastasia. Lisa mengangguk, "Sudah, tapi kau harus pulang bersamaku. Aku tidak mengizinkanmu untuk membawa mobil sendiri. Aku masih harus menunggu Vania. Satu scene lagi dia selesai. Kita akan pulang bersama-sama," kata Lisa. Anastasia mengangguk, ia tidak berani membantah perkaataan kakaknya itu, lagi pula sejak kecelakaan itu, Anastasia juga belum percaya diri untuk mengemudi sendiri.
Gadis cantik itu pun duduk di sofa yang ada di ruangan itu.
"Aktingmu tidak pernah berubah sama sekali, padahal sudah dua tahun kau tidak berakting."
Anastasia menoleh dan tersenyum pada pemuda yang menyapanya itu. Dia adalah Steven seorang artis pendatang baru yang menjadi lawan main Anastasia dalam film yang ia bintangi.
"Aktingmu juga bagus," puji Anastasia sambil tersenyum.
"Aku adalah fans beratmu dulu. Tidak menyangka kita bisa menjadi pasangan pada film perdanaku ini."
"Hmm... Jadi, kau selalu mengikuti juga berita tentang diriku?" tanya Anastasia ingin tau.
"Bahkan aku selalu membeli album yang berisi single terbarumu."
"Terima kasih sudah menjadi fans beratku. Kuharap kerjasama kita akan berjalan dengan baik dan lancar," kata Anastasia.