Chereads / BUKAN DIA TAPI AKU / Chapter 12 - SEBUAH RENCANA JAHAT

Chapter 12 - SEBUAH RENCANA JAHAT

Steven pulang ke rumah dengan wajah ditekuk. Ia merasa kesal luar biasa dengan kejadian di lokasi syuting tadi. Malam ini ia memutuskan untuk pulang ke rumah, tidak ke apartemen. Sesuai kontrak kerja yang sudah ditandatangani, dua tahun pertama dia Steven memang tidak diizinkan untuk membuka statusnya yang sudah memiliki istri dan anak. Sehingga, ia tinggal di apartemen yang merupakan fasilitas dari management. Sementara anak dan istrinya tinggal bersama kedua orangtuanya.

"Papa pulang!" seru Dhea sang anak yang baru berusia 3 tahun sambil berlari memeluk Steven.

"Hai, princess Papa," sapa Steven sambil tersenyum dan langsung menggendong buah hatinya itu.

"Kau sibuk sekali kelihatannya, Stev," sapa ibunya yang sedang menikmati makan malam bersama ayah dan istrinya.

"Iya, Bu. Film terbaruku baru saja selesai promo dan lainnya. Itu sebabnya aku pulang. Ibu dan Ayah sehat-sehat saja, kan?"

"Kapan kau bisa memperkenalkan anak dan istrimu pada para fansmu?" tanya ayahnya. Steven menghela napas panjang.

"Mungkin sekitar enam bulan lagi, Yah. Do'akan saja karirku naik terus," jawab Steven.

Ayah dan Ibu Steven hanya bisa menghela napas. Sebenarnya mereka kurang setuju dengan adanya persyaratan harus menyembunyikan identitas seperti itu. Tapi, semuanya sudah terlanjur dan hampir berjalan dua tahun.

"Aku tadi melihat tayangan jumpa pers kalian di televisi. Disiarkan langsung, kan?" kata Regina sang istri..

"Aku menontonnya tadi?" tanya Steven. Regina menganggukkan kepalanya.

"Iya, aku menonton. Tapi, aku sepertinya kenal dengan orang yang disebut sebagai kekasih barunya Anastasia itu, Mas. Hanya saja yang aku tau namanya bukan Kevin, tapi, Danzel. Mereka itu dulu kebetulan adalah teman sekolahku. Seingatku Danzel dan Kevin memang bersahabat, apa mungkin ya kalau Danzel bertukar nama dengan Kevin saat berkenalan dengan Anastasia?"

Steven mengerutkan dahi saat mendengar perkataan Regina.

"Kau yakin?" tanyanya memastikan.

"Yakin sekali, Mas. Aku dan Danzel itu satu kelas dulu. Jadi, mana mungkin aku salah mengenali orang."

Steven terdiam, namun dia tau kini harus melakukan apa. Diam-diam lelaki itu sudah menyusun rencana dalam benaknya.

**

Sementara itu Kevin harus kembali menjalani kemoterapi. Seperti biasa Maya dan Danzel yang mendampinginya.

"Ma, Mama pulang saja, aku biar Danzel yang menemani," pinta Kevin.

"Setiap habis Kemoterapi kau pasti mual dan lainnya. Bagaimana mama bisa tenang?" tanya Maya.

"Aku baik- baik saja, Ma," bantah Kevin dengan mata penuh harap. Maya hanya bisa menghela napas panjang dan mengendikkan bahunya.

"Ya sudah, Mama mengalah saja. Tapi, ingat seperti biasa, kalau ada apa-apa hubungi Mama."

"Iya, Ma."

Maya hanya bisa menggeleng dan langsung meraih tasnya dan melangkah keluar.

"Kau gila? Aku melihat siaran langsung kemarin. Bagaimana jika ada yang mengenali kita lalu memberitahu Anastasia tentang hal ini?" kata Kevin setelah Maya keluar dari kamar. Danzel mengendikkan bahunya.

"Aku hanya mengikuti permintaanmu untuk memberikan kejutan kepadanya. Siapa yang tau kalau dia akan memperkenalkan aku kepada para wartawan dalam acara live."

Kevin menghela napas, ia sudah tau segala konsekuensinya.

"Jika memang dia harus tau segala kebenaran, biarkan saja Vin. Memang sudah saatnya dia tau. Bukan aku yang seharusnya memeluk dia dengan erat. Tapi, kau yang berhak, karena kau yang pertama menyentuh hatinya dengan hatimu. Bukan aku!"

"Lalu, jika mbak Anastasia sampai sakit hati lalu drop karena mengetahui dusta kalian, apa kalian bisa bertanggung jawab?!"

Kevin dan Danzel tersentak kaget. Keduanya menoleh ke pintu dan mendapati Meta sedang berdiri dan menatap tajam kepada keduanya.

"Kau...?"

"Tidak usah kaget. Kebetulan aku kemarin mendengar percakapanmy dengan Mbak Lisa. Lalu, tadi aku melihat kalian datang bersama seorang wanita, itu pasti Namamu, kan? Aku mengikuti kalian dan menunggu. Tadinya aku akan mengetuk pintu dan masuk, tapi, aku melihat ibumu keluar. Saat aku hendak masuk tanpa sengaja aku mendengar percakapan kalian berdua. Asal kalian tau, kemarin mbak Anastasia senang bukan main saat kau datang ke lokasi syuting. Dia bercerita panjang lebar kepadaku. Kenapa tidak jujur? Apa kalian pikir saat Kevin meninggal Mbak Anastasia bisa tenang? Dia akan jauh lebih terluka. Maaf kalau aku terpaksa berkata seperti ini. Aku memang belum lama bekerja untuknya, tapi aku tau bahwa dia adalah gadis yang sangat baik."

Kevin dan Danzel saling pandang.

"Kau mengatakan apa kepada kakaknya Anastasia?" tanya Kevin kepada Danzel.

"Aku mengatakan semuanya."

"Tidak waras!" sergah Kevin.

Meta mencebikkan bibirnya, "Bukan dia tidak waras. Tapi, memang hal itu yang seharusnya dilakukan. Anastasia bisa menerima dan mengerti jika kau sedang sakit. Dia mungkin akan terluka di awal. Tapi, lebih baik kalian jujur dari sekarang sebelum nanti terlambat. Apa lagi jika dia mengetahui semuanya dari orang lain," kata Meta.

"Kau dengar kan, Kev. Bukan hanya aku dan mamamu yang mengatakan hal ini. Sampai kapan kau akan keras kepala?"

"Aku hanya tidak ingin dia terluka karena kehilangan. Penyakit yang aku derita ini bukan penyakit yang ringan. Kanker hati! Dan, sampai hari ini belum ada pendonor yang cocok untukku."

"Memangnya kau Tuhan? Bisa mengetahui kapan hidup dan mati?!" sergah Meta dengan geram. Kevin tampak mengerucutkan bibirnya.

"Kalian hanya berani mengeroyok aku saat aku lemah tak bisa bergerak seperti ini," keluhnya. Danzel hanya tertawa kecil sementara Meta masih dengan wajahnya yang tertekuk dengan kesal.

"Aku akan membantu jika memang kau mau jujur pada Mbak Anastasia. Kejadian kemarin saat live, bukan tidak mungkin ada yang mengenali Danzel. Mereka pasti akan bertanya kenapa Mbak Anas memanggil Kevin bukan Danzel. Lalu, bagaimana jika ada yang memberitahu Mbak Anastasia lewat sosial media misalkan? Kalian tidak berpikir sampai sejauh itu?"

"Aku berpikir, tapi manusia kepala batu yang satu ini tidak!" kata Danzel sedikit emosi.

"Baiiik!! Aku akan mengakui. Tapi, tolong beri aku waktu untuk berpikir," sahut Kevin akhirnya. Mendengar itu Danzel dan Meta pun tersenyum senang.

"Itu baru anak baik," kata Meta.

Kevin hanya menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.

"Jangan terlalu lama berpikir, ya," ujar Meta dengan nada suara yang lebih lembut.

"Eh, tunggu! Bukannya kau harus mendampingi Anastasia, kenapa kau malah ada di sini?" tanya Danzel. Meta memperlihatkan kantong plastik berisi obat di tangannya pada Danzel dan Kevin.

"Ini, aku memiliki penyakit Asma. Setiap bulan aku harus kontrol. Kebetulan hari ini Mbak Lisa ingin menemani Mbak Anastasia sendri. Jadi, aku bisa ke rumah sakit untuk kontrol."

"Kukira kau sengaja menguntit kami," kata Danzel. Meta langsung memicingkan matanya, "Sembarangan saja, aku jahit mulutmu nanti baru tahu!" hardik Meta pada Danzel.