Pagi yang cerah, Anastasia memutuskan untuk sarapan di hotel. Kepada Kevin ia mengirimkan pesan bahwa ia akan menemui sahabatnya dulu, baru nanti menjelang sore ia ingin jalan-jalan ke pantai. Padahal, ia sama sekali tidak berniat untuk pergi kemanapun. Ia hanya akan menghabiskan waktunya di hotel sambil menonton televisi.
Ya,tidak ada sahabat satupun yang ia kunjungi di kota ini. Itu semua hanyalah alasan belaka supaya ia bisa menemui Kevin. Ia hanya ingin bertemu dengan orang yang sudah menyulut kembali semangat hidupnya. Orang yang sudah memotivasi kembali dirinya untuk bangkit dan berjuang demi hidupnya yang lebih baik. Meskipun tanpa sang ibu di sisinya lagi.
"Ya, terkadang memang kita menyesal atas apa yang sudah kita kerjakan. Tapi , bukan berarti kita akan mengorbankan waktu kita dengan Sia-sia tanpa melakukan sesuatu yang bermanfaat. Cobalah kau lihat sekitarmu, dan aku yakin jika ibumu masih ada, dia tentu akan merasa sangat sedih jika melihatmu terpuruk seperti ini. Beliau pasti ingin kau kembali beraktivitas seperti biasanya. Jadi, kau harus bangkit dan berdiri tegak. Untuk ibumu dan tentu saja untuk dirimu sendiri."
Ucapan Kevin seolah kembali terngiang di telinga Anastasia.
Gadis cantik itu menatap wajahnya di cermin. Wajah cantik itu tidak banyak berubah setelah dua tahun. Ada segaris luka di dekat pelipis akibat kecelakaan namun, luka itu sudah hilang tentu saja dengan cara operasi plastik yang ia jalani sehingga bekas luka itu hilang tak berbekas sama sekali. Tapi, tidak dengan kesedihan dan luka hatinya yang begitu menyesakkan dada.
Drrrt... Drrrrt, tiba-tiba ponselnya berdering. Anastasia menoleh dan melihat pada layar ponselnya, 'my sister'. Dengan segera ia mengangkatnya.
"Bagaimana tidurmu semalam? Kau sudah sarapan?" sapa Lisa.
"Baik, Mbak. Aku baru saja sarapan. Dan saat ini aku sedang berada di kamar menonton televisi," jawab Anastasia.
Di seberang sana Lisa hanya bisa memijit dahinya. Bagaimana mungkin ia pergi jauh ke kota Kupang hanya untuk menonton televisi di kamar hotel. Apa adiknya ini sudah gila?
"Kau Benar-benar. Jangan katakan kau hanya akan menghabiskan waktu di kamar seharian. Buat apa kau pergi jauh-jauh kalau begitu?!"
"Sore nanti aku akan ke pantai bersama Kevin. Dia harus bekerja, dan lagi aku mengatakan kepadanya bahwa aku akan mengunjungi sahabatku di kota ini, kan. Karena aku hanya berdusta ya aku diam di kamar sajalah."
"Tidak waras. Hah, aku hanya menelepon untuk memberimu kabar bahwa aku sudah menyusun jadwalmu. Sehari setelah kau pulang ke Jakarta kita akan melakukan jumpa fans. Kau harus sudah siap dengan pertanyaan pers dan media infotaiment lainnya."
"Aku tidak akan menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan kecelakaan dan juga kepergian Ibu. Katakan itu pada pers sebelum acara di mulai."
"Baiklah, nona besar. Aku akan mengatur semuanya dengan baik. Dan, setelah jumpa pers perusahaan kosmetik ingin mengontrakmu sebagai brand ambassador produk mereka. Jadi, kau siap-siap untuk pemotretan dan syuting iklan."
"Baik, ada lagi, ibu manager?" tanya Anastasia.
"Tidak ada, kau bisa kembali bersantai. Nikmatilah waktu yang hanya satu minggu itu di sana. Jangan lupa bawakan aku oleh-oleh khas kota Kupang." Tanpa menjawab Anastasia pun langsung memutuskan sambungan telepon.
Gadis cantik itu pun kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan menikmati siaran televisi. Hingga tanpa dia sadari matanya pun kembali terpejam dan ia pun tertidur.
Sementara itu, Kevin dan Danzel sedang berada di studio lukis milik Kevin. Mereka berdua sama-sama asyik melukis di atas kanvas. Kevin tampak sedang melukis potret seorang gadis cantik yang tak lain adalah Anastasia. Danzel diam-diam memotret Anastasia ketika mereka sedang makan siang bersama kemarin. Sementara Kevin melukis wajah Anastasia, Danzel melukis wajah seseorang yang pernah mengisi relung hatinya dan kini telah lama pergi.
"Jadi, sore nanti kau akan bertemu dengannya lagi?" tanya Kevin tanpa memalingkan wajah dari atas kanvasnya.
"Ya, sore nanti dia ingin ke pantai batu nona."
"Kau tolong bawa dia ke tempat yang dia mau."
"Dia cantik, bahkan menurutku dia terlalu cantik dan elegan untuk gadis biasa-biasa saja. Dia malah lebih mirip artis sinetron dan foto model. Saat aku makan bersamanya di cafe kemarin, ada beberapa gadis yang mencuri pandang ke arahnya."
"Mungkin karena dia terlihat bukan orang asli Kupang. Jadi, ya banyak yang menatapnya. Itu hal yang biasa, kan."
Danzel menghentikan gerakan tangannya dan meletakkan kuasnya kemudian menoleh pada sahabatnya itu.
"Kau tau, berapa lama aku kehilangan? Tidak ada seorangpun yang bisa mengetuk hatiku. Tapi, jujur aku akui bahwa saat ini aku merasa sedikit tertarik pada gadis itu. Anastasia Mirela. Mirip nama artis yang dua tahun lalu mundur dari dunia entertainment. Hanya berbeda nama belakangnya saja. Kalau tidak salah artis itu bernama Anastasia Melodi."
"Jadi, karena namanya mirip artis jadi kau tertarik pada gadis itu?" tanya Kevin. Ia pun ikut menghentikan gerakan tangannya dan ikut-ikutan meletakkan kuasnya lalu menoleh pada Danzel.
"Jika kau memang mencintai gadis itu, kau jadikan saja dia milikmu. Tapi, jangan pernah kau mengaku bahwa kau adalah Danzel. Rahasiakan saja hal itu sampai kalian menuju ke jenjang yang lebih serius."
Danzel melengos dan bangkit berdiri.
"Memang apa susahnya jika kau mengaku bahwa kau Kevin? Aku tau, kau diam-diam sudah jatuh cinta kepadanya. Jika tidak, mengapa kau harus membuaang waktu selama berbulan-bulan lamanya hanya untuk sekedar chat dan bicara padanya. Kau sudah jatuh cinta, itu harus kau akui. Aku paling tau mengenai dirimu. Jadi, kau tidak perlu berdusta padaku."
"Tapi, kita berdua juga tau bahwa mungkin usiaku tidak akan lama lagi. Anastasia pernah kehilangan. Ayahnya meninggal sejak ia masih kecil. Dan, ibunya menjadi seorang single parents bagi Anastasia dan Lisa kakaknya. Hingga akhirnya malam itu tanpa sengaja Anastasia dan ibunya mengalami kecelakaan. Ibunya meninggal di tempat kejadian. Dan, hal itu tentu membuat Anastasia terluka. Apa kau sekarang ingin membuatnya kembali terluka? Bagaimana jika dia kembali tidak bisa menghadapi dunia ini?"
"Kau ini yakin sekali jika dia akan mencintaimu setengah mati," kekeh Danzel meledek sahabatnya itu.
"Jika dia tidak tertarik padaku, tidak mungkin dia menerima ajakan sahabatnya untuk bertemu. Hal itu pasti ia lakukan karena ia juga sekalian ingin bertemu diriku seperti yang selalu ia katakan."
"Kau lebih jahat lagi jika kau terus menyembunyikan semuanya. Bagaimanapun juga, kejujuran akan lebih baik dari pada dusta seperti ini," kata Danzel.
"Jika saatnya tiba, dia akan mengetahui hal yang sebenarnya. Tapi, untuk saat ini biarkanlah saja semua seperti ini."
"Apa kau tidak ingin menemuinya?"
"Nanti, saat hari terakhirnya di kota ini, pertemukan kami. Dan, kenalkan aku sebagai Danzel."