Valdy tengah menggosok rambutnya yang basah dengan handuk saat suara ketukan di pintu kamar membuatnya menoleh. Ia mengeratkan tali jubah mandi hitamnya, lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya.
"Ada apa, Ma?" tanyanya saat mendapati Mirna berdiri di depan pintu.
"Apa kamu baik-baik saja, Nak? Kenapa mobilmu sampai ringsek begitu?" tanya Mirna dengan wajah cemas.
"Baik-baik saja, Ma. Tadi sempat ada insiden." Valdy menjawab dengan enggan.
"Saat bersama Angela? Bagaimana kondisinya?" tanya Mirna makin cemas.
"Nggak apa-apa, Ma. Kita berdua oke."
"Benar nggak apa-apa?"
"Iya, Ma."
Mirna meneliti wajah putranya yang terlihat lesu dengan rambut acak-acakan, lalu menghela napas.
"Val, laporan resto Willow Tree sudah ditindaklanjuti? Sudah ketemu masalahnya dimana?"
"Sudah. Ayuni sudah menemukan siapa yang melakukan kesalahan pencatatan, sekarang sedang diinterogasi. Kemungkinan orangnya bakal diganti. Sudah berulangkali kejadian." Valdy menggaruk kepalanya yang terasa menggelitik.
"Kerugian?"
"Masih bisa ditutupi."
Mirna berdecak.
"Jika ada apa-apa, lapor ke mama ya. Nanti mama datangi langsung kesana untuk investigasi." Mirna mengusap pipi Valdy. "Istirahat, Nak. Kamu terlihat lelah sekali."
Valdy menutup pintu saat sosok Mirna kembali ke lantai satu. Dinyalakannya musik, dan dalam sekejap alunan musik EDM yang tengah hits menghentak di seantero kamarnya yang berpenerangan remang. Ia meraih ponsel yang layarnya menyala, menampilkan pesan-pesan masuk yang biasa dari penggemarnya di sekolah. Ia mencari-cari nama Angela. Tak ada. Lalu nama Karina, mendapati gadis itu mengiriminya video singkat dirinya tengah menyanyi sambil menari dengan lincah, mengakhirinya dengan cium jauh dan satu kedipan mata yang nakal. Valdy menghela napas dalam, mengingat kembali kejadian di lapangan basket dan penyesalan yang tak pupus dalam hatinya.
Hanya karena pertanyaan bodoh Angela di mobil, ia sampai mengalami serangkaian kejadian tak menyenangkan yang berujung pada perlakuan kasar pada tunangannya itu. Ia benar-benar terbawa emosi, tambah emosi lagi karena nyaris celaka di tengah jalan, dan tingkah barbar Angela di lapangan. Ia muak sekali menghadapinya. Lalu, kesedihan gadis itu membantingnya dalam sekejap pada satu kesadaran yang menyesakkan.
Angela hanyalah remaja, yang sama labilnya dengan remaja lainnya. Bahkan Karina yang disangkanya manis dan lembut, menyimpan sifat asli yang mengerikan yang nyata-nyata ditunjukkannya di depan umum. Lucunya, ia lebih memilih menghukum Angela dan membiarkan Karina lolos. Harusnya mereka berdua mendapat perlakuan yang sama.
"Brengsek!" Ia melempar ponselnya ke ranjang, yang langsung melenting hingga jatuh ke karpet tebal di lantai.
Dengan cepat ia berganti pakaian, tak susah-susah memeriksa kembali ponselnya yang berdenting di karpet, lalu keluar dari kamar untuk melanjutkan pekerjaannya di ruang kerjanya. Ia terheran-heran mendapati Jagad ada disana, tengah menunduk di atas mejanya sambil membalik lembar laporan harian.
"Sedang apa, Pa?" tanya Valdy, berjalan mendekat dan duduk di kursi seberangnya. Jagad tersenyum padanya.
"Membantu pekerjaanmu, Nak."
"Valdy bisa sendiri, Pa."
"Dan kamu melakukannya dengan sangat baik sejauh ini." Jagad menyandarkan punggung di sandaran kursi, mengacungkan dua jempol padanya. "Bagus sekali, Valdy."
"Terima kasih." Valdy mengangguk singkat.
"Semuanya lancar di sekolah?"
Valdy mengangguk kembali, pikirannya kembali pada Angela.
"Bagaimana kabar Angela?"
"Baik, seperti biasa."
Jagad mengamati wajahnya baik-baik, persis seperti yang dilakukan Mirna beberapa saat yang lalu. Valdy balas menatapnya tajam, menunggu pertanyaan lain yang tak lama lagi akan meluncur dari lelaki itu.
"Ada yang ingin kamu tanyakan?" Jagad bertanya. "Soal apa saja."
"Bisa kita hentikan saja perjodohan ini?" Valdy menyerang tanpa basa-basi. "Papa dan mama bisa memberikan syarat lain untuk Valdy. Jangan paksakan hal-hal semacam ini. Sudah tak relevan lagi di masa sekarang yang namanya perjodohan, Pa."
"Kamu sedang jatuh cinta pada orang lain? Bukan Angela?"
"Tidak!"
"Kata siapa perjodohan sudah ketinggalan jaman?" Jagad balik bertanya dengan nada tajam. "Lihat para konglomerat yang merajai bisnis di negara ini. Menurutmu apakah mereka bisa bertahan tetap sukses hingga tujuh turunan jika anak-anak mereka dibiarkan menikah dengan orang sembarangan? Orang yang tak punya latar belakang yang bagus?"
"Keluarga Angela bahkan bukan pebisnis seperti kita!"
"Memang. Tapi, mereka keluarga baik-baik. Budi dan Tantri dari keluarga terpandang di Jenggala. Dan Angela, biarpun dia bukan anak kandung mereka, juga berasal dari keturunan baik-baik, terhormat di kota ini, setidaknya dari pihak ibunya."
Valdy memicingkan mata, kembali mengingat kata-kata Angela tadi pagi di ruang mediasi.
"Siapa sebenarnya Angela?" tanyanya penasaran.
Jagad menangkupkan kedua tangan di atas meja, memandang Valdy beberapa saat sebelum berbicara kembali.
"Angela adalah anak di luar nikah. Ibunya adik dari Tantri. Namanya Andira. Dia dulunya adalah sahabat mamamu di sekolah. Pintar, cerdas, tapi naif sekali. Dia berpacaran dengan teman papa, Alex, dan terjerat hubungan yang tidak sehat hingga hamil di luar nikah."
"Lalu?"
"Alex ini bajingan, berkata akan menikahi Andira, tapi ia malah menduakannya. Ia menghamili perempuan lain dan memilih menikahi selingkuhannya karena uangnya. Setelah Andira meninggal usai melahirkan, ia mencoba membujuk Tantri agar membiarkannya mengasuh Angela. Alex menyesal, sampai sekarang masih menyesali semuanya, kehilangan Andira sekaligus Angela. Ia selalu ingin mendekat pada putrinya tapi istrinya menghalangi. Dia tak punya pilihan lain selain menurut. Suami takut istri."
Jadi ini yang dimakud Angela, pikir Valdy getir, kini memahami frasa "tidak adil" yang meluluhlantakkan gadis itu dalam sekejap.
"Bedebah." Valdy mengumpat tanpa sadar.
"Menurut cerita Tantri dan Budi, Angela itu rapuh dan tertekan. Sampai dia akhirnya masuk SD, Tantri tak pernah tahu bahwa ibu tirinya selalu mengganggunya, memasukkan saudara tiri Angela di sekolah yang sama dimanapun Angela bersekolah untuk menghancurkannya. Papa ingat dulu Tantri sempat meminta bantuan pamanmu, Yudha, untuk mencari informasi soal pengawalan dari kepolisian. Tapi pamanmu keburu meninggal. Akhirnya Tantri berhenti bekerja dan menghabiskan waktunya secara penuh untuk mengawasi Angela."
"Lalu kalian memilih dia untuk menjadi…" Valdy enggan meneruskan ucapannya.
"Kami peduli padamu, dan juga pada Angela. Padamu, kami ingin kamu belajar menjaga sesuatu yang berharga sejak dini. Angela. Menjaganya sampai ia siap menjadi pendampingmu. Dan pada Angela, kami ingin dia belajar percaya pada satu laki-laki yang bertanggung jawab dan bisa mencintainya sampai akhir. Kisah Andira tak perlu terulang padanya. Dia layak mendapatkan yang terbaik untuk masa depannya."
Valdy ingin tertawa mendengar penjelasan Jagad yang penuh optimisme. Ada banyak lubang pada rencana mereka yang bisa dilihatnya dengan mata setengah tertutup sekalipun.
"Pa, ada satu hal yang kalian lupakan. Perasaan tak bisa dipaksakan. Kalian gagal di bagian itu." Valdy mengedikkan bahu dengan cuek. "Tak segampang itu membuat dua orang yang suka bertengkar jatuh cinta apalagi menikah."
"Suka bertengkar tak berarti saling membenci. Jatuh cinta tak selamanya ditunjukkan dengan tindakan manis dan romantis. Cinta itu saat kamu saling membutuhkan satu sama lain, merasa kehilangan saat tak bertemu satu sama lain, tak bisa melepaskan pikiranmu dari sosok yang kamu katakan suka mencari masalah denganmu. Cinta itu karena terbiasa bersamanya."
"Pa, berlaku buat Papa, tapi tidak untuk orang lain!"
"Bisa berlaku untukmu juga, Valdy. Mungkin belum untuk saat ini."
"Jangan terlalu banyak berharap." Valdy menyandarkan punggungnya dengan nikmat di kursinya, lagi-lagi merasa geli mendengar ayahnya bicara soal cinta.
"Tentu saja kami berharap banyak pada kalian." Nada bicara Jagad terdengar dipenuhi kejengkelan sekarang. "Dan jangan sampai kamu lengah. Jangan sampai saat akhirnya kamu jatuh cinta pada Angela, dia malah memilih orang lain, lalu kehilangannya selamanya."
Valdy mendengus, tak menanggapi.
"Jika memandang Angela sebagai Andira, dengan kemiripan wajah dan sifatnya, tak butuh waktu lama untukmu nanti jatuh cinta padanya, Nak."
"Jangan sok tahu, Pa!"
"Kamu anak Papa. Kamu pikir Papa tak bisa membaca isi hatimu yang sebenarnya?"
Jagad mendengus puas menyaksikan perubahan raut wajah putranya.
***