"Your arms!"
Angela menelan saliva dengan gugup, tak mampu membalas kilatan geli di sorot mata Valdy. Sambil menyumpah-nyumpah dalam hati ia melingkarkan kedua lengan di sekeliling leher lelaki itu. Tanpa sadar ia bergidik saat merasakan kuatnya topangan lengan Valdy di lekuk lutut dan sekeliling pinggangnya. Duh, ini terlalu intim, pikirnya resah.
Valdy lalu melangkahkan kaki menuju ke lantai dua. Angela memandang wajahnya dari samping, tak tahu harus berkata apa. Ingin memaki sekaligus berterima kasih karena sudah mau bersusah payah membopongnya. Namun ia malas membuka mulut, dan memilih menyandarkan kepala di bahu Valdy, membuat lelaki itu meliriknya.
"Kenapa?" tanya Valdy saat menyadari tatapan Angela yang tak lepas darinya. "Baru pertama kalinya digendong seperti ini oleh cowok?"
"Hmm…"
"Nggak usah halu, Angela. Aku cuma membantu aktingmu yang payah tadi." Valdy berbisik dekat sekali dengan wajah gadis itu, membuat Angela tanpa sadar mencekal bahu Valdy dengan jari-jarinya. "What's wrong with you?" Valdy mengernyit merasakan kuatnya cekalan di bahunya.
"Apa kamu pernah melakukan ini ke Karina?" tanya Angela pelan.
Valdy mendengus.
"Sebaiknya kamu nggak perlu tahu."
"Sudah lebih dari ini kan?"
"Kita tidak membahas Karina, tidak di momen ini, di rumahku, atau di depan orangtuaku. Paham?" Valdy berbisik dengan nada tajam. Angela merasakan napas lelaki itu yang berubah terengah karena menaiki tangga dengan menopang beban tubuhnya.
"Kalian sudah lebih dari sekadar ciuman kan?" Valdy hanya berdecak, tak menjawab sama sekali. "Aku ingin tahu, Val."
Valdy tak menanggapinya. Angela menatap tetesan keringat yang mengalir di pelipis, lalu turun ke leher Valdy dan menghilang di balik hoodie yang masih dipakainya. Ingatannya kembali pada foto yang dikirimkan Karina tadi malam melalui pesan pribadi.
Sebenarnya apa sih yang mereka kini mainkan, pikirnya getir. Lalu akan berujung kemana semua ini? Angela tanpa sadar membenamkan wajahnya di lekuk leher Valdy. Semua ini mengacaukan emosinya sejak awal. Ia merasa seperti tengah memasang jerat untuk dirinya sendiri, mematikan dan siap melumpuhkanya di hari-hari mendatang, jika tak segera dihentikan secepatnya.
"Val?" Angela berbisik. Valdy menghentikan langkah dan menolehkan wajahnya. Dagunya menggesek pipi Angela. Napasnya memburu. Angela samar-samar menghirup aroma parfumnya yang entah kenapa memberi efek menenangkan, memanjakan indra penciumannya. Namun tak mampu mengurangi rasa sesak yang kini makin membekapnya.
"Kenapa?" tanya Valdy, mengeratkan pegangannya di tubuh Angela.
"Kita berhenti saja, Val."
"La…"
"Kita sudah mencintai orang lain, sudah terikat dengan orang lain. Berhenti saja, Val. Aku nggak sanggup lagi berbohong."
"Nggak akan ada yang tahu, La."
"Ini bukan sesuatu yang bisa disembunyikan selamanya."
Valdy melanjutkan langkahnya hingga mencapai puncak tangga. Langkahnya berubah lebih cepat menuju koridor dimana kamar Angela berada. Angela mengusap pipinya yang basah dengan satu tangan, sedikit keheranan kenapa ia harus menangis di depan Valdy. Saat pintu kamarnya telah tampak, Angela bergerak untuk turun, namun Valdy mencegahnya.
"Jangan."
Valdy berkata singkat. Sosoknya yang dingin telah kembali. Ia memutar kenop pintu dengan satu tangan tanpa menurunkan tubuh Angela, lalu mendorongnya terbuka dengan punggungnya. Angela tersentak mendengar pintu yang tertutup kembali di belakang mereka.
"Aku bisa sendiri, Val. Aku nggak sakit."
Valdy tak menggubrisnya, membawanya ke arah ranjang dan menurunkan tubuh gadis itu dengan perlahan.
"Istirahatlah. Kita nggak usah kemana-mana hari ini." Valdy mengusap kepalanya sejenak, membuat Angela terheran-heran. Angela menangkap tangannya saat Valdy hendak menjauh.
"Kita belum selesai bicara…"
"Bagian yang mana?" tanya Valdy dengan nada lelah di luar dugaan. "Istirahat saja."
Angela menatapnya lurus-lurus, mengamati helaian rambut yang jatuh di kening lelaki itu hingga menutupi alisnya, lalu menatap matanya yang kembali bersorot dingin.
"Aku akan telepon orangtuaku."
Valdy memicingkan mata dan mengawasi lekat-lekat ekspresi kesungguhan di wajah Angela sebelum menanggapinya.
"Aku tak bisa menghalangimu, jadi lakukan saja sesuai kemauanmu, Angela." Valdy membungkuk dan mencondongkan wajah ke arah gadis itu. "Tapi jangan salahkan aku jika terjadi sesuatu pada papamu."
Efek kalimat Valdy membuat Angela menunduk, menyembunyikan air matanya. Wajah papanya terbayang jelas di benaknya, mengirimkan serangan rasa bersalah yang bertubi. Ia mungkin masih bisa meneruskan sandiwara mereka jika saja semuanya masih seperti dulu. Kemarahannya pada Valdy telah menyerangnya tanpa ampun, membuatnya tak tahu harus bersikap apa pada lelaki itu. Sosok yang menjengkelkan setengah mati, tapi di saat-saat tertentu masih memedulikannya. Jauh lebih baik jika Valdy selalu dingin padanya. Akan lebih mudah untuk meneruskan membencinya sepanjang masa.
"Aku nggak mau pada akhirnya permainan kita ini jadi nggak lucu lagi, Val. Akan ada yang tersakiti nantinya diantara kita semua. Kita berempat, atau orang tua kita? Ini seperti drama, hanya saja kita yang jadi aktornya. Rasanya nggak enak banget mengalami langsung."
"Silakan, La. Sekarang giliranmu untuk mengakhiri semuanya. Aku sudah memulainya untuk kita. Ingat? Akan aneh jadinya jika aku juga yang mengakhirinya." Valdy berdiri tegak kembali. "Telepon saja orangtuamu. Makin cepat makin baik. Aku akan mendukungmu." Valdy menghembuskan napas panjang. "Oke? Aku akan mendukungmu kali ini. Jangan menangis lagi. Aku nggak suka melihatnya."
Angela mengusap pipinya dengan cepat di bawah tatapan dingin Valdy.
"Thanks." Wajah Angela masih murung saat mengatakannya. "Dan boleh aku tanya satu hal lain?" Angela melihat Valdy mengangkat satu alisnya. "Soal Karina."
"Bisa kita berhenti saja membahasnya?" sergah Valdy. "Apa dia adalah alasan utama kenapa kamu ingin berhenti?" Angela mengatupkan bibir rapat-rapat, tak menjawab. "Karina? Serius? Bukan Roni?"
"Both of them." Angela menyahut singkat.
"Jangan bohong!"
Valdy mendekat tiba-tiba dan mendorong bahu Angela hingga tubuhnya jatuh ke atas ranjang. Valdy tak membiarkannya bangkit, menerkam kedua tangannya dengan tangannya sendiri hingga Angela tak bisa berkutik di bawah kungkungan tubuhnya.
"Kamu ngapain?" Angela berseru panik, meronta untuk melepaskan kedua tangannya dari cekalan kuat Valdy. "Val!"
"Kamu mau tahu apa yang kulakukan dengan Karina?" Valdy menggeram dengan suara rendah.
"Nggak usah! Aku sudah tahu kelakuan mesum kalian berdua!" Angela menatap wajah Valdy yang sangat dekat di atasnya. "Nggak sekadar kissing kan? Lebih dari itu! Karina mengirim foto kalian yang sedang… Aku nggak ngerti kenapa aku harus menyaksikan hal menjijikkan itu!" Ekspresi Valdy berubah kaku dalam sekejap. "See? Kamu melarangku bertindak di luar batas dengan Roni. Look at you!" Angela meringis pelan saat merasakan tangannya sakit. "Aku punya kebebasan untuk melakukan hal yang sama!"
"Don't you dare!"
"Bukan urusanmu kan?"
"Aku nggak pernah lebih dari ciuman dengan Karina! No sex! Sama sekali nggak pernah!"
"Aku nggak bodoh! Kalian nggak pakai…"
"Sudah kubilang nggak sejauh itu! Foto bisa menipu!"
"Tetap saja, Val! Aku nggak bisa menerima ini! Kamu nggak akan bisa melarangku dan Roni untuk…"
Angela terdiam saat Valdy menempelkan bibir di telinganya, mengirimkan sensasi geli yang dengan susah payah ditahannya. Hembusan napas hangat lelaki itu membuatnya bergerak tak nyaman, ingin melepaskan diri sebelum…
"Tunanganku sedang cemburu?" bisik Valdy di telinganya.
"Jangan salah sangka." Angela menjawab pelan, memalingkan wajah dan mencoba memusatkan perhatiannya ke jendela yang terbuka. Samar-samar ia mendengar suara engsel pintu yang terbuka, entah dimana, mungkin di koridor jika diukur dari suaranya yang lirih. "Aku sudah mencintai orang lain, thank God!"
"Wajahmu merah, Angela."
"Lepasin aku, Val!"
"Nggak segampang itu, La."
"Please! Kamu mau apa sebenarnya?" Angela menggigit bibir saat kembali merasakan sensasi geli di telinganya akibat napas hangat Valdy. "Aku bukan Karina yang bisa kamu sentuh sesukamu, Val. Please!"
Angela memalingkan kepala saat merasakan Valdy menjauh, namun masih memerangkapnya dengan kedua tangannya. Ekspresinya tak terbaca, namun sorot dingin di matanya tak lenyap sama sekali.
"Karena kamu bukan Karina, adalah alasan kenapa aku menjagamu, Angela."
Valdy melepaskan tangannya dan bangkit. Angela menyambar tangannya, tak membiarkannya pergi.
"Maksudnya?" tanya Angela tak sepenuhnya paham.
"Pikirkan sendiri!"
Valdy melepaskan tangannya dari pegangan Angela dan berlalu, meninggalkan gadis itu sendirian di ranjangnya. Angela memandang punggungnya yang makin menjauh, merasakan sesuatu merayapi kepala, lalu dada, lalu perutnya, mendatangkan rasa gelisah yang membuatnya tak karuan. Ditepiskannya semuanya jauh-jauh, namun tidak dengan satu pertanyaan yang tak bisa lepas dari benaknya.
"Apa dia baru saja bilang cinta?" Angela menatap nanar pintu yang telah tertutup. "Cinta macam apa yang seringkali menyakiti, Val?"
***