Jumat pagi cukup cerah dengan kabut tipis membayang di udara. Angela berangkat lebih pagi dibanding biasanya. Sambil mengunci gerbang, ia celingukan menatap ujung jalan di kejauhan dan sekitarnya.
"Hisss… Ngapain juga gue berharap dia ada disini?"
Angela bergumam jengkel dan berjalan ke arah halte bis yang cukup jauh dari rumahnya. Dia memilih naik bis ketimbang ojek online atau membawa mobil, ingin merasakan suasana yang berbeda dibanding biasanya yang monoton. Melulu bersama Valdy yang dingin dan irit bicara membuatnya jengkel sampai ke ubun-ubun.
"Hush! Pergi!"
Ia melambaikan tangan di dekat telinga, mengusir ingatan akan wajah mantan tunangannya yang membuatnya ingin mencabik sesuatu untuk meluapkan emosi. Untung hari ini tak perlu bertemu dengannya, pikirnya lega. Dan besok, jika ia dipaksa kencan lagi, ia bisa pura-pura sakit karena overdosis detensi.
Huh! Ide yang bagus, pikirnya senang.
Perjalanan dengan bis memakan waktu yang lebih lama dibanding biasanya saat diantar Valdy. Angela turun di halte depan sekolah bersama serombongan siswa lainnya. Ia menoleh sekilas ke titik di kejauhan dimana biasanya ia turun dari mobil Valdy, mendapati seorang pengendara motor besar dengan pakaian hitam-hitam dan helm full face tengah berhenti sambil memencet ponsel. Tak ada tanda-tanda mobil Valdy, yang lagi-lagi membuatnya menjitak kepalanya sendiri karena pikirannya kembali ke lelaki itu.
Angela berjalan ke arah sekolah yang tak jauh. Sepuluh meter dari halte, ia mendadak menghentikan langkahnya dan berdiri membeku di tempatnya berdiri.
"Agatha! Tasmu ketinggalan, Nak!"
Sesosok laki-laki bertubuh kurus dalam pakaian kerja ASN keluar dari mobil yang berhenti di pinggir jalan. Tangannya menenteng tas kertas cokelat berukuran besar dan menyerahkannya pada putrinya yang berlari ke arahnya. Angela mengawasi mereka dalam diam. Agatha melihat ke arahnya dan senyumnya terkembang makin lebar.
"Terima kasih, Pa!" Agatha memeluk ayahnya dengan manja, dibalas tepukan di kepalanya oleh lelaki itu. "Agatha sayang Papa!"
"Papa pergi dulu. Jangan lupa makan bekalmu nanti, Nak."
"Iyaaa…" Agatha berjinjit untuk mengecup pipi ayahnya, lalu melempar pandang sinis pada Angela sebelum berbalik ke arah sekolah.
Angela tersentak saat mendapati dirinya terpaku lebih lama dari seharusnya. Saat lelaki itu berbalik, dan terperanjat melihatnya berdiri tak jauh, Angela buru-buru berbalik dan berjalan ke arah berlawanan, menjauhi sekolah.
"Angela?"
Angela tak menyahut saat namanya dipanggil. Ia berjalan makin cepat dengan satu tangan menyeka sudut matanya yang mulai basah.
"Angela?"
Suara itu makin dekat di belakangnya diiringi derap langkah yang menyusulnya. Angela mengubah langkahnya menjadi setengah berlari. Kemana saja. Tak peduli ia terlambat ke sekolah dan kena detensi paket lengkap. Asal ia tak perlu berinteraksi dengan ayahnya yang pengecut ini.
Angela terpekik saat lengannya ditarik dengan keras dan tubuhnya berputar hingga berhadapan dengan ayahnya. Lelaki itu memandangnya lekat-lekat dengan napas terengah. Angela menepiskan pegangannya, namun Alex mencekalnya lebih kuat.
"Mau apa, Om?" serunya kesal. "Saya nggak ada urusan apapun dengan Om!"
"Angela, jangan panggil Papa dengan…"
"Papa saya namanya Budi, bukan Alex!" sembur Angela muak. "Lepas!"
"Sudah lama sekali papa tak bertemu denganmu, Angela."
"Yah, buat apa juga ketemu? Kita sudah punya hidup masing-masing." Angela membelalak padanya, peduli amat jadi durhaka. "Tolong Om kasih tahu anak Om, Agatha, biar berhenti mengganggu saya atau meniru-niru apapun yang saya lakukan. Saya nggak perlu punya bayangan yang kerjanya mengekori saya terus-terusan! Kayak nggak punya jati diri aja!"
"Cobalah berteman dengannya…"
"Buat apa? Dia nggak ada artinya sama sekali buat saya. Tuh kayak sampah di pinggir jalan tuh! Cuma bikin pemandangan jadi kotor. Persis banget dengan anak kesayangan Om itu!"
Alex memandangnya dengan sedih dan getir yang bercampur jadi satu.
"Berhenti mengusik hidup saya dan keluarga saya, Om."
Angela menarik lengannya, namun sia-sia. Telinganya mendengar langkah kaki mendekat di belakangnya, lalu sebuah lengan yang dibalut jaket kulit hitam menepiskan pegangan Alex di lengannya. Angela terperangah, menoleh untuk melihat siapa sosok yang kini menariknya menjauh, mendapati kepala orang itu tertutup helm full face. Angela melihat motor besar yang tak jauh dari posisi mereka kini berdiri.
"Siapa?" tanyanya sambil berusaha melihat menembus kaca helm yang gelap.
Lelaki itu melambaikan satu tangan pada Alex yang masih berdiri di tempat semula, mengusirnya dengan tegas. Angela berdiri berlindung di balik punggung penyelamatnya, dengan lega menyadari bahwa ayahnya telah berbalik pergi. Menyerah.
"Thanks." Angela berkata pelan saat penyelamatnya akhirnya berbalik. "Kamu siapa?" tanyanya sambil mengamati perawakan lelaki itu yang jangkung, sikap tubuhnya yang tegap, dan terasa tak asing. "Valdy?" tanyanya lagi dengan curiga.
Lelaki itu tak menjawab pertanyaannya dan pergi begitu saja, kembali ke motornya. Setelah mengedikkan kepala sekilas ia lalu memacu motornya menjauh dengan kecepatan tinggi hingga lenyap dari pandangan, membaur dalam lalu lintas yang makin padat menjelang hari yang makin terang.
"Kenapa gue menebak dia adalah Valdy?" Angela mengutuki dirinya sendiri. "Kalau dia Valdy pasti bakal masuk ke gerbang sekolah!" Angela mengawasi gerbang sekolah di kejauhan yang ramai, lalu berubah lega saat melihat mobil Alex telah menghilang. Ia berjalan kembali ke arah sekolah dengan cepat sebelum bel masuk berdering.
"Siapapun kamu, terima kasih."
***
"Tumben-tumbennya Pak Valdy nggak bawa mobil. Telat banget pula datang ke sekolah."
"Kok tahu?"
"Tadi gue lihat dia turun dari taksi online."
"Eh, mobilnya kemarin ringsek belakangnya. Kayaknya kecelakaan."
"APAAA?? Kenapa dia nggak bilang sama sekali sama gue??"
Angela menoleh dengan malas ke arah Karina yang heboh. Jam pertama kosong tanpa tugas. Lebih dari separuh teman sekelasnya kabur ke kantin, termasuk Roni dan Wawan. Angela sibuk dengan ponsel dan media sosialnya, membaca postingan salah satu akun instagram yang seringkali membahas motivasi diri. Ia membutuhkan hal sejenis itu dalam dosis besar untuk kewarasannya.
"Lo beneran pacarnya apa bukan sih? Jadi ragu gue!" Yurin menukas, menimbulkan kikik geli yang ramai, menertawakan Karina yang tengah panik mencoba menghubungi Valdy dengan ponselnya.
"Diem lo, Gendut!"
"Lo keganjenan, Tongkat Pramuka!"
Tawa meledak di sekitar Angela mendengar balasan Yurin yang spontan membungkam Karina. Angela tak ikut tertawa, malas nantinya jadi ajang pelampiasan amarah Karina dan kembali menerima detensi dari Valdy yang tak suka pacarnya diusik. Angela berdesis, memikirkannya saja sudah menjijikkan seperti ini.
Ponsel Angela bergetar dan pop up pesan muncul di layarnya, membuatnya berang seketika saat membacanya.
Agatha : Lo nggak tahu sekangen apa papa sama lo? Jahat banget sikap lo ke papa gue!
Angela : Sorry, salah orang. Nomor ini bakal gue blok!
Tanpa basa-basi Angela memblok nomor adik tirinya. Nggak ada gunanya hidup dikelilingi toxic seperti Agatha. Tapi ia tahu upaya ini bakal sia-sia karena sepanjang pengalamannya, Agatha selalu memastikan ia bisa menghubungi Angela dengan cara apapun. Apapun, asalkan Angela tersulut lalu berkonfrontasi dengannya, dan si culas itu akan playing victim dengan sempurna di depan umum. Sungguh, Angela kadang berpikir seberapa banyak gen jahat yang diwariskan ibu Agatha ke anaknya, hingga si culas itu jadi sedemikian rusaknya bahkan sejak usia mereka berdua masih anak-anak dulu. Mengerikan.
"Vallll…. Kamu kenapaaaaa?"
Angela mendongak saat mendengar suara manja Karina. Kelas berubah hening, semuanya terheran-heran melihat Karina yang berhasil menghubungi Valdy yang tentunya tengah mengajar. Sebagai guru yang tegas, aneh rasanya jika seorang Valdy sampai mengangkat telepon di saat mengajar, apalagi telepon tak penting dari seorang Karina.
Atau sebenarnya mereka memang sudah serius melangkah ke jenjang yang lebih jauh tanpa sepengetahuan siapapun? Angela mendengus getir saat pertanyaan itu mampir di benaknya.
"Kamu nggak apa-apa? Ada luka?"
Angela tak tahan lagi. Ia bangkit dari kursinya dan memilih keluar kelas ketimbang mendengar suara sok manis Karina. Sejenak bimbang, ia lalu melangkahkan kaki menuju kantin untuk menyusul Roni. Dihindarinya melewati lapangan, dan Angela memilih koridor panjang di deretan kelas 11 lalu melompat turun ke halaman. Ia tengah melewati bangunan gudang olahraga saat matanya menangkap sosok Valdy tengah keluar dari gudang bersama dua siswa berpakaian olahraga yang membawa bola basket.
Tatapan mereka bertemu selama sepersekian detik. Angela lalu berpaling, malas memandangnya dan mengobarkan kembali amarahnya yang masih mengendap sejak kemarin. Kakinya melangkah lebih cepat di atas lantai beton. Saat mereka berpapasan, Angela pura-pura sibuk dengan ponselnya agar tak perlu menyapanya.
"Mana sopan santunmu, Angela?"
Angela menghentikan langkah, menoleh memandang sosok Valdy yang berdiri di sebelahnya, tengah mengangkat satu alis tebalnya padanya.
"Hah?"
"Kalau berpapasan dengan guru, ingat menyapa. Anak TK juga tahu soal itu."
Woi! Kita lagi musuhan! Ingin rasanya Angela meneriakinya seperti itu.
"Oh."
Dia gurumu, Angela memaki dirinya sendiri dalam hati. Guru dan nggak lebih dari itu, sapa aja toh nggak bakal mati dengan menyapanya, ia menasehati dirinya sendiri dalam diam.
"Maaf, Pak Valdy." Angela mengangguk satu kali dengan sopan, namun matanya berkilat. "Selamat pagi, dan selamat tinggal." Angela memberinya satu senyum manis yang sangat singkat dan berlalu sebelum kena teguran lain dari lelaki itu.
Hih!
***