"Siang, Bu." Angela berdiri di depan konter peminjaman buku di perpustakaan. Bu Irma, penjaga perpustakaan, yang tengah mengetik di laptopnya, mendongak. "Saya Angela Kamaratih, kelas 12 IPA2. Pak Valdy meminta saya melakukan detensi hari ini."
"Oh! Angela."
Bu Irma lalu bangkit, tampak muram. Ia berjalan keluar dari konter dan melambaikan tangan pada Angela. Angela bergerak untuk mengikutinya ke arah deretan rak buku di area perpustakaan yang luas, melewati lorong-lorong sempit menuju bagian belakang yang jarang didatangi siswa. Angela mengeluh dalam diam, menyadari bahwa detensi kali ini tak cukup RINGAN seperti kata Valdy. Apalagi ia akan melakukannya selama seminggu ke depan.
Tunangan tak berperikemanusiaan!
Eh, mantan tunangan, Angela memaki dalam hati.
"Pak Valdy itu aneh-aneh saja." Bu Irma mendadak mengomel, membuat Angela mengernyit dan mencondongkan tubuh sambil tetap mengikuti sosoknya berjalan. "Saya dengar gosipnya, Angela. Berapa kali kamu kena detensi dengan Pak Valdy?"
"Ini yang ketiga, Bu."
"Dan alasan kali ini benar-benar sepele?"
"Menurut Pak Valdy tidak sepele." Angela berubah geregetan. Bu Irma berdecak.
"Kalau saya tidak tahu bahwa Pak Valdy sudah punya tunangan, saya dan semua rekan guru pasti mengira dia sedang naksir kamu, Angela. Kok kalian berdua sepertinya selalu terlibat masalah yang berakhir jadi detensi?"
"Eh? Gimana, Bu?" tanya Angela kaget. "Kata siapa Pak Valdy sudah punya tunangan?"
Bu Irma berhenti di lorong paling ujung dan berbalik.
"Pak Valdy sendiri yang bilang sudah punya tunangan."
"Kapan?"
"Belum lama, minggu lalu rasanya. Semua guru dan staf tahu."
"Tapi para siswa nggak ada yang tahu kan, Bu? Saya eh… Nggak pernah dengar soalnya." Angela memutar otaknya. Buat apa Valdy gembar-gembor soal pertunangan mereka??
"Sengaja, Angela. Biar nggak jadi heboh. Pak Valdy sudah jadi semacam idol buat kalian semua, para siswi. Benar kan?"
IDOL??? Cuiihhh… Angela tanpa sadar bergidik sendiri.
"Nggak semua sih, Bu."
Bu Irma mendengus dan menunjuk ke arah lorong di belakangnya.
"Cukup rapikan rak ini saja ya. Tata sesuai tahunnya. Ini album foto dokumentasi dari beberapa tahun lalu. Nggak usah dibersihkan, nggak akan cukup waktunya. Lagi pula, perpustakaan sudah punya petugas yang membersihkannya setiap hari."
"Baik, Bu."
"Nanti begitu bel masuk, silakan langsung saja ke kelas, Angela."
"Baik, Bu."
Bu Irma lalu kembali ke konternya. Angela melangkah masuk ke lorong yang tak seberapa panjang itu. Satu sisinya adalah dinding kosong, di seberangnya adalah rak setinggi dua meter yang tak seberapa penuh dengan tumpukan album foto berbagai ukuran. Ia melangkah ke ujung lorong, menyibakkan tirai yang menutupi jendela di sebelah rak. Pemandangan di luar jendela menampilkan taman di belakang perpustakaan yang jarang dikunjungi para siswa.
Ia mulai memeriksa album-album di depannya dengan lesu. Ulangan Kimia yang baru saja diikutinya masih menyisakan kegetiran, ditambah kini harus mengikuti detensi. Sebentar lagi ia akan mengikuti ulangan Fisika Pak Tamam, yang memang selalu mengadakan ulangan tiap minggu. Roni memaksanya bolos dari detensi untuk belajar di jam istirahat, sama sepertinya dan sisa teman sekelasnya, namun Angela menolak. Walaupun Valdy tak ada di sekolah, karena telah selesai mengajar dan tak ada jadwal latihan basket tiap Jumat, ia tak mau berlengah-lengah. Lelaki itu keji, dan bisa saja ia menimpakan detensi lain pada Angela sesuka-suka hatinya.
"Fokus, La. Fokus. Mantan tunangan lo itu emang brengsek! Butuh dihajar sekali-sekali! Hih!" Ia bergumam kesal sendiri, lalu melanjutkan memilah album foto, melirik isinya yang membosankan sekilas, lalu meletakkannya dalam satu deretan panjang di rak.
Dari pojok tempatnya berdiri, Angela bisa mendengar seberapa ramai pengunjung perpustakaan. Tak begitu ramai, setidaknya di bagian belakang yang dekat dengan posisinya. Angela mengintip dari sela-sela album dan buku di seberangnya, melihat beberapa siswa lalu lalang di lorong yang cukup jauh, dan mengabaikannya. Bel masuk kelas tinggal sepuluh menit lagi. Ia bekerja lebih cepat agar tugas di bagian ini bisa selesai.
"Lho ini kan foto dari gudang dulu?"
Matanya membelalak saat melihat album yang tak asing yang pernah ditemukannya di gudang olahraga. Angela mengeluarkan ponsel dan segera mengabadikan beberapa foto di dalamnya. Ia beralih ke album lain, yang berisikan foto Valdy remaja di dalamnya, lalu mengabadikannya juga. Ia masih penasaran, jenis kenakalan apa yang dulu dilakukan lelaki itu. Jika melihat dari foto, dari teman-teman yang diajaknya, tak terlihat sama sekali. Kesan urakan, berandalan, sama sekali tak terlihat. Valdy tetap sosok yang tampan dan misterius, bahkan di dalam foto sekalipun. Mata Angela menemukan foto lelaki itu yang merangkul gadis cheers yang cantik di sebelahnya, lalu ia mendengus sinis.
"Yah, pantesan aja lo suka sama Karina. Selera lo memang cewek sejenis itu." Angela menutup album di depannya dengan keras, lalu menjejalkannya di rak dengan kasar. "Ngomong dong sama ortu lo! Bahwa gue nggak masuk kriteria sama sekali. Buang-buang waktu dan emosi banget meladeni tingkah lo!" Angela bersedekap di depan rak dengan muak, lalu mengambil album lain. "Jangan-jangan dia playboy? Keasyikan pacaran sama banyak cewek makanya masa remajanya berantakan. Hih! Sok laku amat…"
"Terima kasih, Angela."
Angela terlonjak kaget mendengar suara yang dekat di sebelahnya. Album foto di tangannya melayang dan membentur dinding hingga jatuh berkeresak dan terbuka di lantai di belakangnya. Valdy berdiri bersandar di ujung lorong, memandangnya tajam dengan seringai mematikan yang spontan membuat nyalinya menciut.
Mati, pikirnya panik.
"Siang, Pak." Angela menyapanya gelagapan. Dalam kekagetannya ia mengamati sekilas penampilan Valdy yang kasual. Celana jins hitam dan kaos, lalu sneakers. Rambutnya yang lurus terlihat lembab dan berantakan, hingga ujung-ujungnya menyentuh alis.
"Sudah puas memaki-makiku?" tanya Valdy dengan suara rendah.
"Sebenarnya," Angela membelalak padanya, balas menatapnya angkuh dan membuat Valdy menaikkan satu alisnya, "Belum!"
"Bisa dimengerti."
"Terima kasih, Pak." Angela lalu memutar tubuh untuk menemukan album yang tadi jatuh dari tangannya dan meraih benda itu dari lantai. "Saya lanjut dulu." Angela berkata lagi saat ia telah berdiri.
"Saya awasi dari sini. Seperti biasa."
Angela menahan makian yang siap meluncur dari lidahnya. Selama beberapa saat ia hanya menatap lelaki itu dengan sengit, makin jengkel saat Valdy menatapnya santai, seperti tengah meledeknya.
"Terserah!"
Angela lalu kembali memusatkan perhatiannya pada album di tangannya, membolak-balik lembaran kaku di dalamnya, tanpa berminat melihat isinya yang menampilkan foto pengurus OSIS angkatan lawas, puluhan tahun lalu. Ia sampai di halaman terakhir, lalu kembali ke halaman paling awal untuk melihat tahunnya sebelum meletakkannya di rak yang benar. Satu foto di halaman paling depan membuat jantungnya seperti berhenti berdetak dan mencelos jatuh menembus bumi.
Andira Renatta Bagia, Ketua OSIS.
Angela seperti menatap wajahnya sendiri dalam foto itu, bedanya hanya pada kacamata. Sosok Andira dalam foto memakai kacamata, membuatnya terlihat cantik, dengan senyum menawan. Rambut lurusnya yang tak seberapa panjang, tergerai di bahunya. Angela tak memiliki fotonya yang ini, di masa sekolah. Ia hanya memiliki foto mamanya di masa mendiang lebih dewasa.
"Ma…"
Sesak kembali datang membekapnya. Angela telah melupakan sosok Valdy yang berdiri tak jauh darinya, yang bergerak mendekat dan berdiri di sebelahnya. Air mata Angela berdetik jatuh di atas foto Andira. Ia tak mengenal Andira, hanya tahu dari cerita Tantri dan Budi, tentang bagaimana sosok seorang Andira. Dalam masa-masa awal mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya, Angela selalu merindukannya, berharap bisa bertemu dengannya, walaupun tidak mungkin. Tantri lalu memberikannya foto-foto Andira untuk disimpan, dan Angela menyimpannya begitu saja, tak pernah mencoba melihatnya kembali, tak ingin menangis karenanya. Tapi melihatnya kembali setelah bertahun-tahun, apalagi baru saja ia bertemu Alex dengan cara yang tak menyenangkan, dalam sekejap merontokkan pertahanan dirinya.
"Ma…"
Angela menunduk dalam-dalam di atas foto Andira, menangis dengan tubuh terguncang. Ia tak menyadari saat album di tangannya terlepas. Valdy mengambilnya dan meletakkannya di salah satu rak, masih dalam posisi terbuka.
"Angela." Valdy menepuk bahunya. Angela memalingkan wajahnya ke arah jendela, cepat-cepat mengusap air matanya.
"Maaf, Pak Valdy." Ia berkata dengan suara sengau akibat tangisnya. "Aku hanya…" Angela terisak lagi. "Tiba-tiba kangen Mama."
Angela meraih album tadi dan menutupnya. Dengan tangan yang masih gemetar ia meletakkannya di deretan rak yang benar, susah payah karena posisinya yang cukup tinggi. Valdy mengambil album dari tangannya dan dengan mudah meletakkannya di posisi yang tepat. Angela menatap nanar dimana album itu kini berada dan menyandarkan punggungnya di dinding, merasa jauh lebih lesu dari sebelumnya.
"Boleh aku istirahat sebentar? Satu menit? Aku…" Angela memohon pada Valdy, yang mengangguk. "Thanks." Angela kembali mengusap pipinya. "Terima kasih, Val."
"Jika kamu nggak sanggup meneruskan, bisa dilanjutkan minggu depan, La." Valdy memberitahunya.
"Bisa. Aku hanya…"
"Jangan paksakan dirimu."
"Mau nggak mau aku terpaksa mengikuti detensi ini. Ini hukuman darimu kan?" Angela bertanya lirih. "Jika aku mangkir kali ini, berapa detensi lain yang akan kuterima sebagai gantinya?"
"Aku nggak akan…"
"Sudah jadi kesenanganmu kan menghukumku seperti ini?" Angela berdiri lebih tegak. "Well… Terima kasih lagi untukmu, karena berkat detensi berulang-ulang darimu, makin merusak reputasiku di sekolah. Semoga lain kali aku ingat untuk menjaga sikap di depanmu, dan di depan gadismu juga. Maaf, Pak Valdy."
Angela melupakan kesedihannya, mengabaikan amarah yang kini muncul di wajah Valdy, dan melanjutkan memilah album foto di depannya. Masih dibekap sesak yang sama, ia dengan cepat menyortir dan menempatkan album sesuai posisinya di rak. Valdy mengawasinya tanpa bicara, dan Angela tak memedulikannya, menganggapnya sebagai pajangan di sebelah rak yang bertampang galak.
Bel masuk kelas berdering dan menyentakkan Angela. Ia meletakkan satu album terakhir, lalu bergerak untuk keluar dari lorong.
"Maaf, Pak. Saya harus ke kelas. Ada ulangan." Angela tak memandangnya sama sekali. "Senin saya lanjutkan lagi."
Angela menghembuskan napas lega saat Valdy akhirnya bergerak, menyingkir dari hadapannya. Tanpa bicara atau memandangnya lagi, Angela dengan cepat melewati tubuhnya untuk keluar dari lorong dan kembali ke kelas.
***