Chereads / 365 Days Angela / Chapter 12 - Family Meeting

Chapter 12 - Family Meeting

"Duhhh…. Moon-Moon, ngapain sih pagi-pagi udah melolong-lolong?"

Angela dengan enggan bangkit dari ranjangnya, menguap lebar dan mengumpulkan kesadarannya. Ia lalu bangkit dan keluar kamar, sedikit tertahan di pintu, memutar kuncinya, lalu keluar. Ia hampir terpeleset di puncak tangga karena matanya yang setengah terpejam. Efek kerja ala romusha kemarin baru terasa. Sekujur tubuhnya pegal, dan kantuk berat masih menguasainya. Entah makian jenis apa yang sudah meluncur dari mulutnya sejak sepulang sekolah kemarin, mengutuki sosok manusia bersama Vivaldy, menyumpahinya dengan berbagai jenis kutukan absurd. Coba satu saja kejadian, pikirnya sambil mencoba mengingat-ingat, pasti menyenangkan melihat guru arogan itu menderita.

Bau harum masakan tercium saat Angela sampai di dasar tangga. Mama masak apa ya, ia berpikir senang, lalu berbelok ke arah ruang tamu untuk menengok monster kecilnya yang masih melolong merdu. Ia menghentikan langkah saat melihat pintu ruang tamu terbuka. Kesadaran menyergapnya seperti hantaman truk. Angela membeku di tempatnya berdiri.

"Sudah bangun?"

Angela menoleh, melihat mamanya menghampiri, memakai celemek yang biasa saat tengah memasak.

"Mama kapan…"

"Tadi subuh, Sayang. Sengaja nggak bilang-bilang dulu, biar jadi kejutan." Mama memeluknya. "Tumben nggak peluk Mama?"

Angela memeluknya, dalam sekejap mulai terisak, lalu menangis tersedu di bahunya. Wanita itu mengusap punggungnya dengan lembut.

"Kangen banget, Ma. Sepi banget tanpa Mama." Angela terisak. "Papa gimana?" tanyanya di tengah tangisnya.

"Tuh papamu di luar, mandiin anjingmu."

Angela melepas pelukannya saat mendengar suara langkah kaki mendekat, dan menoleh. Sosok papanya berjalan ke arahnya, tersenyum lebar sambil merentangkan kedua tangan. Angela menghambur ke arahnya dan memeluknya, menangis lebih keras. Lelaki itu tertawa, memeluknya erat sambil mengacak rambutnya.

"Anak gadisnya Papa kok masih cengeng begini?" godanya saat mendengar sedu sedan Angela. "Kangen?"

"Iyaaaaa…." Angela memekik, menimbulkan tawa dari kedua orangtuanya. "Kangen tahu, Pa."

"Nah, ini Papa sudah disini sekarang."

"Cuma sebentar! Besok juga balik lagi ke Jakarta!"

"Papa cuti kok. Selasa pagi baru balik. Gimana?"

Angela tak menjawab, memilih membenamkan wajah di bahunya, mengirup aroma parfum kesukaan papanya yang juga disukainya. Ia mendengar tawa kedua orangtuanya melihat tingkah manjanya yang biasa.

Di momen seperti ini, bahkan kemurkaan pada Valdy yang masih menggebu pun bisa lenyap dengan mudah, semudah menjentikkan jari di udara.

***

Sore harinya, cuaca cerah menjelang senja. Langit kota Jenggala terlihat bersemburat oranye yang indah menjelang matahari terbenam. Angela duduk di kursi belakang mobil orangtuanya, dalam gaun terusan kasual selutut berwarna biru langit. Ia menggerai sebagian rambut, menyisipkan pita putih dalam kepangan mungil di kiri kanan kepalanya dan mengikatnya jadi simpul di belakang kepala. Papa sudah memuji-muji penampilannya sejak tadi, membuat mamanya hanya bisa memandangnya dengan haru, mengatakan Angela mirip sekali dengan almarhum mamanya. Mama kandung Angela, adik kandung dari mama yang kini merawatnya. Angela mau tak mau jadi tersipu melihat penampilannya yang tak biasa, khusus untuk hari ini.

Mereka diundang jamuan makan malam oleh salah satu sahabat papanya, mantan rekan seangkatan papa di BUMN tempatnya bekerja, hanya beda penempatan lokasi kerja. Rumah mereka di perumahan Langit Jenggala, kompleks perumahan yang ramai dan terbesar di kota Jenggala. Letaknya dekat teluk Koral Jambu, pantai yang cukup populer di Jenggala. Rumah-rumah kecil persegi menyambut saat mereka baru memasuki gerbang depan perumahan, lalu mobil mereka berbelok, menanjak ke arah wilayah yang sedikit lebih tinggi, dan Angela mendapati rumah-rumah berukuran lebih besar, beberapa bertingkat dua. Mobil melaju lebih jauh ke cluster yang lebih dalam dan lebih berbukit. Cluster berikutnya didominasi rumah dengan petak tanah yang lebih luas dan rumah yang lebih mewah, kebanyakan bergaya Eropa atau Mediterannian. Papa menghentikan mobilnya di depan salah satu rumah bergaya Eropa yang memiliki halaman depan luas dengan rumput hijau bagai beludru.

Gerbang terbuka otomatis, dan mobil mereka langsung masuk ke carport di depan garasi yang setidaknya mampu menampung hingga 3 mobil. Mereka turun, langsung disambut pekik antusias dua orang yang berdiri di teras depan.

"Akhirnyaaaa…."

Angela hanya mengamati dari jauh saat kedua orangtuanya bersalaman dan bertukar sapaan hangat dengan si tuan rumah, sepasang suami istri yang terlihat tak kalah awet mudanya dengan kedua orangtuanya. Angela tersentak saat mamanya memanggil namanya dan memintanya mendekat.

"Angela, sini. Salaman dulu sama Om Jagad dan Tante Mirna."

Angela berjalan mendekat, bersalaman dengan sopan dengan Om Jagad. Lalu dengan Tante Mirna, yang menatapnya dengan mata melebar.

"Tantri, dia mirip sekali…" Mirna lalu memberi satu pelukan hangat untuk Angela. "Kamu sudah sebesar ini, Angela. Kamu mirip sekali dengan Andira."

"Makasih, Tante." Angela berkata sopan, tersenyum saat wanita itu melepasnya. Mirna mengusap pipinya, lagi-lagi dengan tatapan haru seperti yang ditunjukkan Tantri sebelum mereka berangkat tadi.

Sambil berbincang, para orangtua melangkah masuk. Angela mengikuti paling belakang, memandang sekitarnya dengan antusias. Rumah bergaya Eropa itu besar, dengan desain interior yang memukau. Angela sibuk memandangi kandil Kristal besar di langit-langit lantai 2 yang dari jauh terlihat sangat menarik, mengabaikan begitu saja deretan foto yang berjejer dari ruang tamu hingga ruang keluarga. Ia lalu mengikuti yang lain ke halaman belakang yang jauh lebih luas daripada halaman depan.

Halaman belakang berumput, sepanjang tembok tingginya dipagari pohon-pohon cemara yang menjulang. Teras belakang yang luas berisi satu set sofa berbahan kayu dengan bantalan empuk. Samar-samar Angela mencium aroma harum lembut bunga kamboja dari pohonnya yang berdiri di pojok halaman. Ia duduk di satu sofa tunggal, menerima cangkir berisi teh dari ART yang melayani mereka. Ia tak mengikutkan diri dalam perbincangan mereka, sibuk menikmati suasana asri dan menyenangkan dimana ia tengah berada.

"Setiap hari sibuk, Tan. Harus ngantor tiap hari, event tiap bulan, untung okupansi hotel masih di atas 80%. Berapa naskah yang sekarang kamu kurasi?"

"Makin banyak aja, Mir. Untung Angela udah besar, sudah bisa diandalkan, tapi masih manja banget ini."

"Sama. ANak-anak juga udah pada besar. Si kakak sekarang lagi nunggu beasiswa sambil bantu-bantu di kantor. Si adik sebentar lagi masuk SMA."

"Nunggu beasiswa apa?"

"Erasmus kayaknya. Sudah disuruh papanya nggak usah pakai beasiswa, jalur biasa aja, dianya nggak mau. Disuruh di Australia, nggak mau. Ya sudahlah, terserah dia aja."

Angela tak memperhatikan lagi obrolan mereka, memilih menyesap tehnya yang hangat. Kurang manis. Ia lalu menambahkan gula rendah kalori yang tadi diletakkan ART di atas meja, lalu mengaduk tehnya. Saat ia meneguknya kembali, ia merasa puas. Telinganya mendengar samar-samar suara lolongan anjing, mirip Moon-Moon. Angela celingukan sebentar, mencoba mencari-cari dari mana datangnya suara. Namun hanya ada mereka di sekitar sana.

Angela lalu dilibatkan dalam obrolan oleh Mirna dan Tantri. Si tuan rumah itu sangat ramah, dengan penampilan bersahaja yang tak berlebihan, jika dibandingkan dengan rumah mereka yang mewah. Ia menanyakan tentang sekolah Angela, rencana studinya ke depannya, lalu mendadak Mirna mengejutkan Angela dengan perkataannya.

"Angela kelas 12 di Jenggala Pride High School? Harusnya kenal dengan anak tante. Dia saat ini mengajar disana."

"Oya?" Tantri berkata antusias. "Katamu dia sedang menunggu beasiswa?"

"Permintaan Kepala Sekolah. Pak Dharma kan temen papanya, temen suamimu juga. Cuma kontrak beberapa bulan, enam bulan, sampai penggantinya datang."

"Ngajar apa, Mir?"

"Olahraga." Mirna tersenyum menggoda pada Angela yang berubah kaku dalam sekejap. "Angela pasti kenal. Dia bilang, sejak ngajar disana, setiap hari ada aja yang chat, rame bahkan. Remaja zaman sekarang sama aja kayak masa-masa kita dulu. Berani naksir terang-terangan. Anakku sampai pusing tuh meladeninya." Mirna dan Tantri tertawa.

Jangan bilang, jangan dia orangnya…. Angela meringis ngeri tanpa disadarinya. Haduh, kenapa lagi-lagi ia mesti berurusan dengan makhluk menyebalkan bernama Valdy?? Cangkir di tangannya mulai bergetar dan dengan pelan-pelan diturunkannya ke atas meja sebelum jatuh.

"Nah, ini dia si Kakak." Suara langkah kaki mendekat membuat Angela mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Dendamnya masih bercokol di kepalanya, kembali menguasainya dalam sekejap. "Valdy, sini. Kenalan dulu sama Om Budi dan Tante Tantri." Angela memalingkan wajah agar tak usah melihat sosok gurunya yang memuakkan.

"Halo, Om, Tante. Saya Valdy."

Cih! Bisa juga dia seramah itu, geram Angela dalam hatinya.

"Dan ini, Angela. Ayo, Angela."

Angela memasang senyum palsu di wajahnya dan perlahan memalingkan wajah. Valdy terlihat kaget selama beberapa saat, lalu kembali memasang ekspresi dinginnya yang biasa. Keramahannya tadi seolah lenyap begitu memandang wajah Angela.

Haisss….

"Hai, Angela. Ketemu lagi." Nadanya datar dan terdengar jemu di telinga Angela.

Menyebalkan.

"Hai, Pak Valdy." Angela tersenyum padanya. "Kakinya masih sakit? Nggak marah lagi kan sama saya gara-gara kemarin?"

Angela balas memandangnya dengan dingin. Apa lo? Apa lo?

"Oh, sudah baikan." Valdy balas tersenyum, yang lebih mirip seringai. "Kemarin ada kecoak yang nempel di rambutmu. Sudah keramas yang bersih?"

Angela spontan mengusap kepala dan bergidik geli, lalu berubah jengkel melihat ekspresi puas yang melintas di wajah gurunya itu.

"Valdy, duduk dulu. Ngobrol dulu. Kalian kayaknya sudah akrab sekali." Mirna menarik tangan Valdy agar lelaki itu duduk di kursi sebelah Angela yang kosong. Mirna dan Tantri saling pandang dengan senyum penuh arti.

"Bukan, Tante. Nggak akrab kok. Kita kan guru dan murid." Angela membantah, tak sudi dianggap sebagai salah satu dari gerombolan fans Valdy yang sibuk menggodai gurunya di luar jam sekolah.

"Benar, Ma." Valdy menimpali. "Kebetulan aja Angela berkali-kali harus berurusan dengan Valdy. Terakhir kemarin dia kena detensi membersihkan gudang alat olahraga, hukuman karena telat masuk sekolah."

Angela menolehkan kepala dan mendelik pada Valdy yang meliriknya tajam. Haish! Kurang ajar!

Orang-orang lainnya terkesiap kaget.

"Kenapa telat, Angela?" tanya Budi, papanya, dengan raut cemas. "Kamu kecelakaan? Kenapa nggak bilang-bilang sama sekali?"

"Valdy! Kenapa harus membersihkan gudang?" tegur Mirna tajam.

"Karena itu seragam sekolahmu kotor sekali, Sayang?" Tantri bertanya heran. "Seumur hidup baru kali ini Mama lihat baju seragammu sekotor itu. Udah kayak habis berkubang di lumpur."

"Peraturan sekolah, Ma." Valdy menyahut santai. "Lagi pula, gudang olahraga memang butuh dibersihkan, jadi, terpaksa Valdy berikan hukuman itu."

"Pa, Angela telat gara-gara Moon-Moon lepas, main di lumpur hujan-hujan. Harus kandangin dia dulu sebelum berangkat sekolah. Makanya telat." Angela menepis anak-anak rambut yang menjuntai ke pipinya. "Dan, mau nggak mau Angela kena hukuman itu. Bersihin gudang sendirian sampai malam. Banyak tikus sama kecoak terbang. Sampai sekarang badan Angela sakit semua."

"Valdy!" Mirna menegur putranya. "Kamu nggak bantuin Angela?"

"Enggak, Tante. Pak Valdy sibuk merekam Angela bersih-bersih untuk dokumentasi, habis itu sibuk dengan ponselnya. Tapi, Angela nggak berani protes. Makanya pulang kemalaman kemarin." Angela menyembunyikan senyumnya saat melihat raut wajah Valdy berubah sangar dalam sekejap. Memangnya lo doang yang bisa menjatuhkan gue? Angela mendengus sinis.

"Valdy hanya mengawasi, Ma."

"Nggak apa-apa, Tante. Sudah lewat juga." Angela menghentikan upaya Mirna untuk kembali mendebat Valdy.

Empat orang tua di hadapan Angela lalu berbisik muram, tak terdengar oleh Angela apa yang mereka bahas. Ia tersentak saat mendengar bisikan Valdy di sebelahnya.

"Pinter ya, playing victim di depan orangtuaku." Valdy berbisik tajam di sebelahnya. Angela memandangnya sengit, dibalas dengan sorot mematikan dari lelaki itu. Lalu tanpa basa-basi Angela menginjak satu kaki Valdy kuat-kuat sambil menggeram.

"ADUH!"

"Enak?" Angela berdesis sengit, puas sekali menyaksikan wajah Valdy berubah merah padam menahan sakit.

"Kamu…"

"Nih, sekali lagi!" Angela menginjaknya lagi, tepat di kaki Valdy yang kemarin tertimpa bola pejal peluru yang superberat itu. Valdy meringis dan mencekal pergelangan tangannya kuat-kuat.

"Jangan macam-macam!"

"Ini bukan sekolah, Pak Valdy!"

"Hei…"

"Kalian berdua sedang apa?"

Mereka berdua menoleh mendengar teguran dari Jagad. Angela dengan cepat melepas tangannya dari cekalan Valdy. Sementara Valdy masih meringis sambil mengusap-usap punggung kakinya yang diinjak Angela.

"Ada satu hal penting yang akan kami bicarakan dengan kalian berdua." Jagad kembali berkata, menatap Valdy dan Angela berganti-ganti dengan serius. "Bisa kita mulai?"

***