"Bisa kita mulai?"
Angela mengabaikan keluhan Valdy di sebelahnya dan memusatkan perhatiannya pada Jagad yang tengah bicara. Ia setengah berharap topiknya adalah ganti rugi oleh Valdy atas semua kesengsaraan yang telah ditimpakan pada Angela belakangan ini. Atau, pernyataan sikap orangtua Valdy yang memaksa putra mereka berhenti mengajar di sekolah Angela. Atau, memaksa Valdy meminta maaf pada Angela secara terbuka dan berjanji agar tidak arogan lagi. Yang mana saja, oke.
"Sebenarnya sudah lama ide ini muncul, namun baru sekarang waktu yang tepat untuk membicarakannya." Jagad memulai, dibarengi anggukan kepala tiga orang lainnya. "Valdy, sebaiknya papa katakan secara jujur bahwa ide ini munculnya dari papa dan juga mama. Harap maklum, karena kami telah melihat bagaimana kamu melalui masa SMA lalu kuliahmu dengan, yah, hampir berantakan." Angela melirik cepat ke arah Valdy yang telah berubah tegang. "Cinta hampir mengacaukan masa depanmu, dan untungnya, kamu bisa melewatinya."
"Pa, kenapa membahas ini lagi?" tanya Valdy gusar. "Dan kenapa tidak kita bicarakan secara pribadi saja?"
"Dengar dulu, Nak." Mirna menenangkannya.
"Kami mengkhawatirkan masa depanmu nanti, dalam memilih pasangan hidup. Mungkin masih jauh, tapi siapapun nanti pasanganmu, akan menjadi bagian keluarga ini yang sangat berharga." Jagad menghela napas dalam. "Singkat saja, setelah diskusi dengan mamamu, lalu dengan Budi dan Tantri, kami semua memutuskan untuk menjodohkan kalian berdua, dan seterusnya nanti akan dilanjutkan sampai ke jenjang yang lebih lanjut. Pernikahan. Tentunya setelah Angela lebih dewasa."
BLAAAARRRRRRRRRRRR!!
Seperti ada gelegar petir di dalam kepala Angela yang hanya ternganga di kursinya. Ia tercengang menatap kedua orangtuanya yang memandangnya serius. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun lidahnya seperti terikat kutukan-ikat-lidah, jadi kelu sama sekali.
Valdy di sebelahnya mulai melancarkan protes.
"Sekarang sudah jaman modern, Pa, Ma. Valdy rasa bukan hal yang tepat melakukan perjodohan semacam ini." Valdy melirik Angela yang masih mematung. "Angela juga masih kecil. Valdy punya cita-cita yang belum bisa diraih, masih setengah jalan. Ini seperti mengikat kami nantinya. Apa kalian bisa menjamin kami akan bahagia dengan keputusan sepihak ini?"
"Makanya kami tidak buru-buru. Kalian hanya perlu mengakrabkan diri, saling mengenali satu sama lain. Siapa yang meminta menikah muda?" Mirna berkata. "Kami hanya ingin menemukan gadis yang tepat untukmu, yang tak akan menyeretmu ke jalan yang salah atau membuatmu lupa pada orangtuamu sendiri, Valdy!"
"Tetap saja ini akan mengikat kami."
"Angela?" Budi memanggil nama Angela, membuatnya seketika terkesiap dan tersadar dari trans-nya. "Kamu baik-baik saja?"
"Hah?" Angela mengerjap, menyadari semua mata menatapnya. "Tentu saja enggak, Pa. Ide macam apa ini? Papa nggak mungkin melakukan ini ke Angela, Pa! Mama juga! Kenapa tiba-tiba banget?" Angela menyerukan protesnya seketika.
Menikah? Dengan Valdy? Valdy yang ini? Yang arogan dan menjengkelkan? Belum lagi kesukaannya menyiksa Angela di jam olahraga, menyindirnya habis dengan mulutnya yang minta dijejali cabe sebaskom itu? TIDAK! TERIMA KASIH!
"Bukan hal yang mudah memutuskan ini, Sayang." Budi berkata lembut. "Tapi, kamu tahu saat ini Papa tengah sakit? Bisa kumat sewaktu-waktu tanpa bisa diprediksi. Seandainya, seandainya Papa tidak ada lagi untukmu nanti, siapa lagi yang akan menjagamu, Angela?"
"Masih ada Adrian, Pa." Angela mulai berkaca-kaca mendengar ucapan Budi. Ia takut sekali kehilangan sosok papanya dibanding apapun.
"Adrian suatu saat akan menikah juga, tak mungkin lagi untuknya nanti membagi waktu untuk menjagamu sekaligus keluarganya. Kamu butuh seseorang, lelaki untukmu, untuk menjagamu sampai seterusnya. Menggantikan tugas Papa nantinya."
Angela mulai terisak.
"Papa jangan ngomong begitu. Angela nggak mau kehilangan Papa."
"Sayang, suatu saat itu akan terjadi."
"Nggak mau!"
Angela bangkit dari kursinya dan menghambur ke arah Budi, memeluknya sambil menangis. Lelaki itu mengusap punggungnya dan berbisik untuk menenangkannya.
"Papa harus tahu siapa yang akan mendampingimu nanti, Angela. Dia haruslah lelaki yang baik. Makanya, papa dan mamamu setuju dengan usul ini. Kami mengenal Valdy sejak dia masih kecil, tahu bahwa ia dari keluarga baik-baik dengan pendidikan yang baik juga. Dibesarkan dengan nilai kekeluargaan yang sama dengan keluarga kita. Papa dan mama yakin dia laki-laki yang tepat untukmu."
Angela tak menanggapi, memilih menyembunyikan wajahnya yang basah di bahu Budi. Hatinya terasa sakit sekali, dihadapkan pada pilihan tak menyenangkan ini, membahagiakan orangtua atau menghancurkan mimpinya sendiri untuk mendapat lelaki sesuai keinginannya nanti.
"Angela nggak siap, sama sekali nggak siap. Mau dibilang nikahnya masih jauh, tetap saja." Angela akhirnya berkata.
"Angela." Mirna memanggilnya, membuat Angela menolehkan sedikit kepala pada wanita itu. "Untuk langkah awal hanya perlu berteman baik dengan Valdy, jalan berdua, ngobrol, hanya itu. Jangan takut."
Angela melirik Valdy yang tengah duduk sambil menopang kepala dengan satu tangan, matanya terpejam. Dia terlihat sama kalutnya dengan Angela, namun dalam versi lebih kalem.
"Demi Papa, Angela."
Angela ingin lari dari situasi ini, namun keempat orangtua itu menatapnya dengan penuh harap. Valdy membuka mata, lagi-lagi memandangnya dengan tajam, setajam belati yang seolah hendak merobek-robek sisa pertahanannya yang sudah mulai merapuh. Angela membelalak ngeri padanya.
Apa dia termasuk calon-calon pelaku KDRT nantinya?
"Angela nggak bisa memutuskan ini sendiri." Akhirnya Angela berkata, menghela napas untuk meredakan kecamuk di dadanya. "Nggak bisa jalan sendirian. Angela dan Valdy harus satu suara soal ini. Dan semua ini tergantung Valdy."
Please, Angela menjerit dalam hati, tolak saja tolaaaakkkkkkk…..
Valdy mengepalkan tangannya, memandang lurus ke arah Angela. Detik demi detik berlalu sementara mereka semua menunggunya membuka mulut untuk menyatakan pendapat.
"Baik, saya setuju." Valdy berkata pelan.
Angela ternganga. Dasar BODOH!
Angela mengisyaratkan padanya gestur menyayat leher dengan satu tangan, namun Valdy tak menggubrisnya sama sekali.
"Saya setuju, asalkan untuk urusan pernikahan nanti kami berdua yang akan memutuskan kapan saat yang tepat. Yang jelas, tidak dalam waktu dekat. Mungkin 10 tahun lagi. Mungkin."
Angela menyipitkan mata padanya, menyadari lelaki itu tak sepenuhnya setuju, namun tengah mencari jalan keluar untuk menyabotase perjodohan mereka. Rasa-rasanya Angela pernah membaca kisah serupa entah di novel mana, ia lupa. Tapi bagus juga, yang penting orangtua mereka tak menggerecoki mereka lagi soal ini selama bertahun-tahun mendatang. Ada waktu untuk bernapas, atau bahkan mencari lelaki yang lebih sempurna daripada Vivaldy yang sok cool dan arogan.
Masalah ketampanan, yah, mungkin agak susah menemukan yang sepadan, mengingat Valdy memang sosok yang memiliki jenis ketampanan yang langka. Dengan sorot mata tajam yang menghanyutkan, struktur tulang wajah yang menarik dan membuatnya terlihat seperti blasteran Indo-Eropa-Asia, dan postur tubuh yang menjulang. Sempurna, tapi Angela tetap tak tertarik padanya.
"Setuju!" Angela menyerukan persetujuannya. Ia bisa merasakan keresahan keempat orang tua di dekatnya.
"Nah, untuk urusan pernikahan bisa dibicarakan nanti-nanti. Yang penting, untuk awal mula hubungan kalian, upayakan untuk saling mengenal dulu. Setuju?" Mirna berkata, dibalas dengan anggukan kepala dari Angela dan Valdy. "Ini untuk kebaikan kalian. Kalian adalah harapan kami semua untuk meneruskan masa depan kedua keluarga kita. Ingat, kami sebagai orangtua, tak selamanya ada untuk kalian nantinya. Sisa hidup kalian akan dihabiskan bersama pasangan kalian, maka dari itu pilihlah yang terbaik, dan menurut kami, kalian berdua sangat tepat, cocok, memenuhi semua kriteria pasangan ideal."
Ideal? Angela memandang Valdy, sementara dalam benaknya hanya dipenuhi satu kata : DETENSI. Dendamnya masih ada, bercokol menunggu waktu untuk dibalaskan.
Valdy balas memandangnya angkuh, seolah Angela bisa melihat tulisan di dahinya dalam ukuran besar : KECOAK TERBANG. Angela tahu lelaki itu juga masih dendam padanya, apalagi tadi ia menginjak kakinya dengan sengaja, dua kali pula. Benar-benar cari mati!
Tinggal melihat saja, berapa lama rencana orangtua mereka yang absurd ini bakal bertahan. Angela bisa memastikan mereka akan menyerah saat tahu bahwa Angela dan Vivaldy seperti air dan minyak, dua pribadi yang tak akan bisa disatukan dengan cara apapun. Apapun.
***