Jika dipikir-pikir, sejak Adrian memberikannya tantangan 365 hari dan mengiriminya jurnal, hidup Angela yang dulunya santai dan membosankan dalam sekejap berubah bagaikan roller coaster. Angela membuka jurnal bersampul bunga orchid itu, lalu membaca ulang poin-poin tantangan yang sudah dilakukan dan akan dilakukannya.
Daftarnya makin hari makin panjang, dan jumlah yang dicentang karena sudah dilakukan juga makin bertambah. Semua yang sudah dilakukannya seolah menjadi butterfly effect untuk hal-hal lain dalam kehidupannya, mengirimkan gelombang kejut yang memaksanya mengubah banyak kebiasaannya sehari-hari. Seperti tetes-tetes air di permukaan kolam yang tenang, menimbulkan riak-riak baru yang mengguncang ketenangan hidupnya. Kurang lebih seperti itu analoginya.
Angela menyimpan jurnal orchid-nya di atas meja belajar, lalu meraih ransel. Hari masih pagi untuk berangkat sekolah. Orang tuanya sudah kembali ke Jakarta kemarin subuh, dan ia kembali tinggal sendirian di rumah. Ia turun ke dapur, dengan lesu mengambil roti untuk sarapan. Moon-Moon masih tidur di kandangnya, dengan semangkok makanan dan air untuk menemaninya.
Angela menyelesaikan sarapan lalu mengunci pintu. Ia mengeluarkan Moon-Moon dari kandang untuk rutinitas paginya di semak pojok halaman. Anak bulu itu berlari antusias lalu menghilang selama beberapa saat. Ia lalu muncul kembali sambil mengendus-endus deretan tanaman di taman depan. Angela mengamatinya sambil duduk di teras dan menunggu jemputan Valdy seperti biasa.
Andrei : La, mau bareng? Gue jemput sekarang.
Angela menatap sangsi pesan dari Andrei. Hari sebelumnya mereka lewati tanpa bicara sama sekali. Angela sama sekali tak mengacuhkannya, sibuk mengobrol dengan Roni dan Wawan, lalu kemana-mana dengan Nikki dan Elena. Agatha tak tampak batang hidungnya, tak mengapeli Andrei lagi ke kelasnya, entah kenapa. Tapi jujur saja, menjauhkan diri dari Andrei seperti itu membuat beban di dada Angela kini jadi lebih lega. Tak ambil pusing dengan semua kelakuan sahabatnya itu juga membuat Angela bisa lebih fokus di sekolah.
Angela : Gue bisa sendiri, Rein. Thanks.
Andrei : Gue udah di depan rumah lo.
"Sial!"
Angela lalu bangkit saat mendengar bel dari arah gerbang. Ia berseru memanggil Moon-Moon yang spontan berlari ke arahnya, sedikit memberontak saat Angela menangkapnya dan memasukkannya kembali ke kandang. Ia lalu membuka gembok pagar dan menggeser pintunya sedikit. Andrei berdiri di depannya dengan hoodie dan helm, tersenyum memukau padanya.
"Yuk."
"Gue bisa pergi sendiri, Rein. Duluan aja." Angela balas tersenyum, berjuang untuk tak membiarkan dirinya gugup lagi di depan Andrei.
"Lo udah siap kan? Sekalian aja."
Angela hendak membuka mulut saat matanya menangkap mobil Valdy yang muncul di tikungan di ujung jalan dan makin mendekat. Ia berubah panik seketika, ingin secepatnya mengusir Andrei sebelum melihat dengan siapa Angela akan pergi ke sekolah.
"Duluan aja, Rein. Gue bawa mobil mama. Ini mau gue keluarin sekarang." Angela berkata cepat.
"Sekali aja, La. Udah lama kita nggak berangkat bareng."
Haduh, bocah geblek! Angela membatin berang, siapa suruh lo jadian sama Agatha??
"Mulai sekarang, nggak usah berangkat bareng lagi. Gue udah pernah bilang kita jalan sendiri-sendiri aja, Rein."
Mobil Valdy melambat, lalu berhenti lebih jauh dari biasanya, beberapa puluh meter dari rumah Angela. Beberapa saat kemudian Angela merasakan ponselnya bergetar dan nama Valdy muncul di layar.
"Rein, lo pergi aja. Makasih sudah ngajakin, gue berangkat sendirian. Oke?" Angela berkata tegas, menimbulkan kejengkelan di wajah Andrei. Angela melambai padanya, lalu mengangkat telepon dari Valdy.
"Masih lama?" tanya Valdy dengan nada dingin dan ketusnya yang biasa.
"Sebentar lagi." Angela membalas pelan.
"Jangan kelamaan. Macet."
Valdy lalu menutup teleponnya. Angela mulai jengkel pada Andrei yang masih berdiri di hadapannya, tak beranjak sama sekali.
"Rein, lo mau apa sebenarnya? Gue udah kesiangan! Buruan berangkat duluan!" Angela berseru gusar.
"Lo jalan sama Roni?" tanya Andrei dengan nada dingin. "Lo jadian sama dia?"
"Bukan urusan lo lagi dengan siapa gue jalan. Dan, gue nggak jadian sama Roni. Udah? Bisa pergi sekarang? Gue mau berangkat. Gue nggak mau telat lagi." Angela menoleh ke arah kandang Moon-Moon di kejauhan, melihat anjingnya tengah makan dengan rakus.
"Oh, oke kalo gitu, La. Gue nggak berhak untuk tahu apa-apa lagi tentang lo."
"Ini masih pagi, Rein! Jangan bikin gue sewot sepagi ini."
Andrei mengangguk pelan, mengulurkan tangan ke arah kepala Angela untuk mengusapnya. Namun Angela sudah siap, menangkisnya dengan satu sentakan sebelum Andrei sempat menyentuhnya. Andrei membelalak.
"Don't touch! Gue bukan pacar lo, Rein."
Andrei menggerung gusar dan berbalik pergi, naik kembali ke motornya dan berlalu dari hadapan Angela. Angela menghela napas dalam, mengawasinya hingga lenyap di tikungan. Ia lalu menutup gerbang dan menguncinya, lalu berlari-lari ke arah mobil Valdy yang telah mundur hingga makin dekat ke arahnya.
"Drama pagi-pagi, La." Suara Valdy yang penuh sindiran menyambut telinganya saat Angela duduk di kursinya yang biasa.
"Shut up." Angela membalas ucapannya dengan dongkol. "Buruan jalan!"
"Bahasa, please!"
"Pak Valdy, buruan jalan, please?" Angela mengucapkannya dengan nada supermanis yang bahkan terdengar memuakkan di telinganya sendiri. "Saya nggak mau telat terus kena detensi lagi."
Valdy meliriknya dengan jengkel dari spion, dan mendesah. Malas berdebat lagi, ia melajukan mobil menuju sekolah.
***
"Eh, mereka jadian?"
"Lihat tampang Andrei! Nggak rela banget kayaknya."
"Kok Roni mau-mau aja sih ditempelin gitu sama Angela?"
"Sejak dia ganti penampilan, jadi makin berani ya!"
"Makin hot juga!"
"Bersaing banget sama Karina. Ya nggak sih?"
Angela melangkah di koridor sekembalinya dari kantin di jam istirahat pertama. Dengan susah payah ia menjaga ekspresinya tetap datar, walaupun bisik-bisik dengan topik dirinya dan Roni kini merajai sekolah, membanjiri grup chat manapun. Ia tak suka atensi seperti ini, namun ia juga tak berdaya untuk mencegah orang lain membicarakan dirinya.
"Ron, sorry…"
Roni hanya diam, melangkah di sebelahnya sambil menyibukkan diri dengan ponselnya. Satu tangannya tak lepas dari bahu Angela, mencekalnya lebih kuat saat Angela mencoba melepasnya. Hal ini makin mengobarkan gosip tentang mereka jadi makin panas menjelang siang.
"Udah telat, La."
Angela meringis pelan, tak menjawab. Bel masuk berdering saat mereka melangkah masuk ke dalam kelas yang sudah ramai. Mulai hari ini Angela resmi duduk sebangku dengan Roni, yang menerima tanpa banyak bicara. Wawan yang memaksa, setelah melihat Angela dan Andrei bertengkar kembali saat baru saja sampai sekolah. Wawan meminta Angela sebaiknya menjauh sementara dari Andrei, yang mana membuat Andrei makin murka. Seolah menyiramkan bensin ke dalam kobaran api, Roni menimpali ucapan Wawan dengan mengatakan sebaiknya untuk seterusnya Angela bersamanya saja.
Dan gosip tentang Angela dan Roni meletus dengan dashyat seketika.
"Oh, jadi lo berdua udah resmi jadian nih?" Karina menghalangi langkah Angela sambil berkacak pinggang. "Ron, rendah banget selera lo!"
Roni tak menggubris ucapan Karina dan lanjut berjalan ke bangkunya. Angela maju selangkah, namun Karina menghalanginya kembali.
"Minggir!" Anggela menggeram padanya.
"Lo pikir lo udah menang dari gue?" tanya Karina.
"Gue nggak bersaing dalam hal apapun dengan lo, Rin." Angela meralat ucapannya. "Jangan kebanyakan halu. Sekarang, minggir!"
Siswa lainnya sudah duduk di bangku masing-masing, hanya mereka berdua yang masih berdiri. Nikki berbisik dari arah belakang Karina dengan jengkel.
"Rin, lo mau nyari masalah di jam pelajaran? Kasih Angela lewat!"
"Jangan ikut campur, Nik!"
"Kenapa enggak? Kalo lo berantem, kita semua yang bakal kena detensi. Bukan lo doang!"
Bisik-bisik bernada jengkel mengikuti ucapan Nikki, membenarkan perkataannya. Karina berubah merah padam karena tak satupun yang mendukung sikapnya.
"Oke! Tapi urusan gue dengan lo belum kelar, La! Tunggu aja pembalasan gue!" Karina menabrak keras bahu Angela hingga gadis itu terhuyung ke meja di sebelahnya. Angela balas melayangkan satu tendangan ke tulang keringnya hingga Karina mengaduh kesakitan.
"Brengsek!"
Angela berlalu tanpa membalas lagi, memamerkan seringai sinis padanya, yang tak mampu dibalasnya karena kedatangan Bu Intan yang akan mengajar Bahasa Indonesia. Angela duduk di bangku Roni, sementara Roni duduk di bangku Wawan. Masih dibekap kemarahan, Angela mengeluarkan buku-buku dan alat tulisnya, lalu mengikuti instruksi Bu Intan untuk membaca penggalan novel sastra di buku LKS. Pikirannya terbang kemana-mana, tak sanggup berkonsentrasi sama sekali. Ingin rasanya ia kembali ke kamarnya untuk berbaring sambil memeluk bonekanya. Tapi jam pulang sekolah masih lama.
Ponsel yang disimpannya di kolong meja bergetar tanpa henti, dan Angela berdecak kesal saat melihat pemberitahuan dari grup angkatan yang diikutinya, masih membicarakan dirinya dan Roni. Tak ada yang menyukai gagasan bahwa Angela tengah mengejar Roni, terlebih karena Angela selama ini memang bukan termasuk siswi ngetop atau berkasta di sekolah. Ia hanya rakyat jelata yang kebetulan diperhatikan oleh Roni karena posisi duduk yang berdekatan. Angela muak sekali. Belum beberapa jam, ia sudah tak tahan menghadapi kata-kata tajam yang menyindirnya terang-terangan. Ia benar-benar memancing masalah kali ini, melampaui semua kebiasaannya untuk tak terlibat masalah apapun dan hidup damai.
"Lo baik-baik aja?" Roni menggeser duduknya lebih dekat pada Angela dan berbicara dengan nada rendah.
"Hmmm… Kurang lebih…" Angela menopang kepala dengan satu tangan. Kepalanya mulai berdenyut menyakitkan di satu sisi.
Angela bisa merasakan tatapan Roni, seperti tengah mendeteksi kebohongan dari wajahnya. Angela melanjutkan membaca dengan lesu, mencoret beberapa kalimat dengan pensil mekanis di tangannya, menandai ide pokok paragraf. Setelah beberapa saat, Bu Intan lalu meminta mereka meringkas penggalan novel itu dengan menggunakan bahasa mereka sendiri. Ia lalu keluar kelas meninggalkan mereka untuk ke ruang guru.
Angela tak tahan lagi pada rasa sakit di kepalanya, serta suara gemuruh aneh di telinganya. Ini udah kayak darah gue mendidih hingga ke kepala, pikirnya muram. Ia ingin minta izin sakit, enggan berada di sekolah dengan semua mata selalu tertuju padanya.
Duh, coba ada mama, pikirnya, setidaknya akan ada yang menjemputnya dan izin bisa didapat dengan mudah. Ia mengetuk-ngetukkan pensilnya di atas LKS, memikirkan bagaimana cara pulang, lalu dengan amat sangat enggan mengambil ponsel dan mencari nomor Valdy.
Angela : Val, sibuk? Masih di sekolah?
Angela menelungkup di mejanya selama menunggu balasan Valdy yang cukup lama.
Valdy : Kenapa?
Angela : Siapa guru piket hari ini?
Valdy : Pak Kusuma. Kenapa?
Angela : Duh…
Valdy : KENAPA?
Angela : Mau ijin pulang.
Valdy : Kenapa?
"Ngeselin banget sih lo!" Angela berbisik sengit melihat balasan Valdy yang singkat dan monoton itu.
Angela : Puyeng! Mau tiduran. Tapi nggak jadi. Pak Kusuma serem interogasinya, bisa tewas duluan nih sebelum nyampe rumah!
Valdy : Pelajaran apa sekarang?
Angela : Bahasa Bu Intan. Kenapa?
Valdy : Minta ijin ke ruang kesehatan.
Angela : Nggak. Mau pulang aja sekalian. Tapi nggak jadi deh.
Angela : Btw, thanks infonya. Sorry mengganggu.
Angela mendesah lesu, lalu mengambil kembali pensilnya untuk menuliskan tugas dari Bu Intan di buku tulis. Suasana kelas dipenuhi suara obrolan. Wawan yang duduk di depan Angela sudah berbalik di kursinya untuk mengobrol dengan Roni, sementara Andrei sibuk dengan ponselnya. Angela melirik ke sekitarnya, kembali merasakan tatapan yang tertuju padanya. Ponselnya kembali menampilkan pop up pesan dari grup chat angkatan, lagi-lagi tentang analisis seberapa jauh hubungannya dengan Roni saat ini.
Secepat mungkin Angela menyelesaikan tugasnya, lalu ia menutup LKS dan beranjak keluar kelas, menuruti saran Valdy ke ruang kesehatan. Sampai di koridor yang sepi, ia menghela napas dalam, menenangkan diri sebaik mungkin. Ia berpapasan dengan Bu Intan, dan meminta izinnya.
"Nggak apa-apa Angela. Tugasmu sudah dikerjakan?"
"Sudah, Bu. Di buku latihan. Apa perlu dikumpulkan juga?"
"Hanya dibacakan saja nanti. Nah, lanjutkan saja ke ruang kesehatan. Wajahmu pucat sekali."
Angela berterima kasih padanya dan berlalu. Saat melewati ruang guru, ia melihat sosok Valdy di dalam, telah mengganti kaos polo yang dipakainya mengajar dengan kemeja berlengan panjang yang membalut tubuh atletisnya. Lelaki itu tengah berbincang dengan salah satu staf TU. Ia melirik saat Angela lewat, namun Angela hanya mengangguk singkat padanya.
"Sakit apa, Angela? Keluhan?" Bu Alma yang berjaga di ruang kesehatan mengamati wajah Angela saat gadis itu mendaftar sebagai pasien.
"Pusing, Bu."
"Sudah sarapan? Tadi malam begadang?"
"Sarapan sudah, nggak begadang kok, Bu."
Bu Alma mengantarnya ke salah satu ranjang pasien. Ia meminta Angela berbaring, lalu mengatur napasnya yang tanpa disadarinya sejak tadi memburu.
"Punya riwayat asam lambung atau maag?"
"Enggak. Tapi disini perih sekali." Angela menepuk bagian diafragmanya.
"Oke. Sepertinya kamu stress. Asam lambungmu naik. Istirahat saja dulu."
Angela lalu memejamkan mata, menikmati kesunyian dan aroma samar minyak angin di udara. Ponsel di tangannya bergetar, dan ia membuka satu mata untuk melihat siapa yang menghubunginya. Roni.
"Kenapa, Ron?" tanya Angela lesu. "Ruang kesehatan. Lo kenapa bisa nelpon? Lagi di kelas?" Angela menggigit bibirnya mendengar kejengkelan dalam suara Roni. "Kan gue udah bilang lagi pusing. Ya gue bisa sendiri, nggak perlu ngerepotin siapa-siapa…"
Angela berdecak saat Roni memutus teleponnya begitu saja. Kenapa dia marah-marah? Angela bertanya-tanya sendiri. Nggak tahu lagi pusing apa!
Tak lama, ia mendengar suara Roni yang tengah bicara dengan Bu Alma, membuat Angela keheranan dan memperbaiki posisi kepalanya di atas bantal. Roni lalu muncul dari balik tirai, menatapnya tajam.
"Sebentar saja ya." Suara Bu Alma terdengar, dibarengi anggukan kepala Roni ke arah wanita itu.
"Lo ngapain kesini?" tanya Angela heran saat Roni mendekat. "Tugas bahasa lo…"
"Lo bisa bilang ke gue kalo butuh bantuan, La."
"Gue bisa sendiri kali!"
"Paling enggak lo bilang kalo mau ke ruang kesehatan. Lo tiba-tiba hilang, nggak jelas." Roni berkata dengan gusar.
"Lo kenapa marah-marah?"
"Gue nggak mau lo kenapa-kenapa!"
"Gue cuma pusing, stress gara-gara gosip soal gue sama lo. Nanti juga baikan."
"Jangan tumbang cuma gara-gara omongan orang. Nggak selamanya yang mereka bicarakan adalah hal yang lo sukai."
"Gue merasa bersalah, Ron. Gue menyeret lo dalam upaya gue menghadapi Andrei. Maaf banget. Padahal lo baik banget sama gue selama ini. Lo bisa klarifikasi ke fans lo kalo gosip soal gue sama lo sama sekali nggak benar. Oke?"
Roni mendongak memandang langit-langit, menghembuskan napas panjang. Ia lalu bersandar di sisi ranjang Angela, memandangnya lekat-lekat.
"Nggak perlu klarifikasi apa-apa. Lo juga jangan merasa bersalah sama sekali ke gue."
"Tapi nanti nama baik lo jadi gunjingan orang karena kehadiran gue. Kayak apa kata mereka? Lintah?"
Roni meraih tangan Angela dan menggenggamnya.
"Lo nggak seperti itu." Roni mengeratkan genggaman tangannya. "Karena sejujurnya bukan elo yang mendekat ke gue. Sebaliknya. Gue yang selalu mendekat ke elo, Angela." Roni tersenyum sekilas. "Sulit banget menolak pesona lo."
Angela ternganga mendengar ucapan Roni. Jantungnya mulai berdebum liar di dalam sana.
"Ron, maksudnya…"
"Kita lanjutin aja ya, La. Jangan berhenti sampai disini."
Angela hanya bisa terpaku saat bibir Roni mengecup punggung tangannya.
***