Valdy membanting pintu kamarnya dengan gusar. Dengan langkah-langkah panjang ia menyeberangi kamarnya yang luas, melewati ranjang besar di tengah ruangan, lalu berdiri di jendela yang tirainya masih terbuka. Teluk Koral Jambu terlihat jelas dari jendela, bersama kerlip lampu perumahan di bawah bukit. Napasnya menderu seiring dengan jantungnya yang berdebar menggemuruh. Angela dan keluarganya sudah pulang. Orangtuanya ingin bicara padanya, namun Valdy menolak untuk saat ini, tak ingin emosinya meledak dan malah mengacaukan semuanya. Perjodohan. Memuakkan sekali.
Salahnya sepenuhnya karena sejak dulu jarang menuruti nasehat kedua orangtuanya, bergaul dengan anak-anak yang bisa dikategorikan berandalan. Lalu terjebak selama bertahun-tahun dalam gaya pacaran penuh drama beracun dengan Inara. Terjerat, termanipulasi, bagai kerbau dicocok hidungnya, jadi bucin abadinya. Ia lalu tersadar karena satu tamparan keras melihat kesuksesan Adrian yang jauh melampauinya. Ia merasa gagal, tak bisa sesukses sahabatnya dalam banyak hal, lalu mulai mereka-reka di bagian manakah hidupnya yang keluar jalur. Ia lalu mencampakkan Inara, belajar lebih baik, menyelesaikan skripsi secepat kilat dan lulus kuliah. Bukan upaya yang mudah sama sekali, namun kini ia berhasil sampai di titik ini, titik terstabil yang bisa dicapainya setelah semua drama itu.
Dan kini lagi-lagi ia terseret dalam drama lain. Lebih menjengkelkan lagi karena melibatkan bocah judes tengil bernama Angela, adik Adrian, yang belakangan sering diperhatikannya di sekolah sesuai permintaan sahabatnya itu. Ia menikmati momen-momen menjahili gadis itu, yang ternyata tahan banting dan bisa balas menjahilinya dengan lebih spektakuler. Tapi sekarang, kenapa si tengil itu malah dijodohkan dengannya?
Valdy sedikitpun tak menaruh perasaan khusus pada Angela. Oke, Angela cukup good-looking di luar kebiasaannya menguncir rambutnya dengan gaya cupunya. Secara fisik dia menarik, dari beberapa kali menyentuhnya tanpa sengaja, Valdy bisa tahu ukuran-ukuran tertentu di tubuh gadis itu. Tetap saja, ada banyak gadis yang jauh lebih pantas dari sekadar Angela untuknya. Karina misalnya, yang jauh lebih menggoda dan memikat, yang kini tengah gencar mengejarnya dan lama-lama membuatnya tertarik untuk melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih serius.
Valdy : Yan, lo tahu soal kelakuan ortu kita hari ini?
Adrian : Ortu kita? Ngapain?
Valdy : Jadi lo nggak ada sangkut pautnya dalam hal ini?
Adrian : Soal apa, woy! Yang jelas ngomongnya, Pipa Aer!
Valdy : Gue baru aja dijodohin sama adik lo yang jutek itu. Bakal dikawinin gue sama adik lo!
Adrian : F*CK!
Valdy : F*CK lah memang!
Adrian : Adik gue gimana? Histeris? Gue telpon dulu dah
Valdy : Ya nangis2lah. Emang siapa yang mau dijodoh2in?
Adrian : Even elo orangnya? Untung adik gue masih waras!
Valdy : Sama warasnya kayak gue! Tapi kita terpaksa menerima perjodohan ini. Puas??
Adrian : F*CK!
Valdy : Gue puyeng nih! Sana telpon adik lo! Suruh dia lanjut pacaran aja, gue juga lagi ngejar cewek lain. Sialan!
Adrian : Adik gue pacaran?? Siapa orangnya?
Adrian : Andrei??
Valdy : Tanya sendirilah!
Adrian : Jawab aja, Bangke!
Valdy : Bukan Andrei. Roni.
Adrian : Kok lo tahu?
Valdy : Mereka ciuman di lapangan pas gue ngajar kemaren
Adrian : WHAT???
Valdy : Urusan lo lah itu! Gue lagi males ribut. Telpon adik lo sana!
Valdy menghembuskan napas panjang, lalu keluar dari chatroom. Ia melirik dengan jemu pada barisan pesan yang masuk ke ponselnya, dari banyak siswi di sekolah. Ia hanya mencari satu nama yang belakangan ini menarik minatnya dan menemukan satu pesan dari Karina.
Karina : Val, do I look good in this color?
Karina mengiriminya video singkat dirinya dalam gaun terusan pendek berwarna pink muda. Posenya menggoda, dengan mengedipkan satu mata dan menggigit bibir bawahnya. Rambutnya yang ikal panjang terurai, sedikit berantakan di salah satu bahunya. Lekuk tubuhnya terlihat jelas, sedikit memanjakan mata Valdy dan mengusir pikiran yang masih membebani kepalanya.
Valdy : You're beautiful. Always.
Dalam sekejap Karina membalas pesannya dengan emoji. Valdy menghempaskan dirinya di ranjang, tersenyum saat melihat gadis itu menghubunginya melalui video call.
"Val, I miss you…" Wajah Karina yang cemberut namun menggemaskan muncul di layar ponselnya. "Besok mau jalan? Please, satu kali aja, Val."
"Lain kali ya." Ingin rasanya mengiyakan ajakannya, namun Valdy menahan diri, tak ingin terlibat masalah terlalu dini. Belum genap dua minggu ia mengajar dan kurang pantas rasanya dalam waktu singkat sudah menggaet siswi sendiri untuk dipacari. "Kita masih bisa bertemu di sekolah."
Wajah cantik itu manyun kembali.
"Nggak cukup. Terlalu banyak pengganggu tahu…"
"I know. Cukup lewat video call saja sementara. Oke?"
"Oke deh…" Karina menyibakkan rambut panjangnya hingga bahunya terlihat jelas. "Tapi suatu saat, kita jalan berdua ya. Janji!"
"Janji."
Bagaimana mungkin bisa melirik Angela jika ada Karina, pikir Valdy sinis, yang dengan jelas jauh lebih sempurna dan yang telah menyatakan jatuh cinta padanya? Angela yang judes itu sama sekali tak ada artinya.
Perjodohan mereka akan gagal, tentu saja akan gagal. Karena ia dan Angela sendiri yang akan menggagalkannya dengan senang hati.
***
"Ma, hal-hal semacam ini cuma mendatangkan masalah!"
Valdy berseru pada Mirna di seberang meja saat ia tengah sarapan sebelum mengajar di hari Senin pagi. Mirna baru saja mengatakan bahwa mulai hari ini Valdy akan mengantar Angela ke sekolah. Setiap hari, setiap pagi, sampai batas waktu yang tak ditentukan. Selera makannya mendadak lenyap, dan ia memilih meneguk susu cokelat dingin yang dibawakan Bik Noni, ART yang melayani mereka sarapan. Saat ia bangkit, Mirna berkata tajam.
"Angela sudah menunggumu."
Valdy berseru gusar dan pergi begitu saja. Baru satu hari, dan ia sudah didikte seperti ini. Dan Angela, kenapa gadis itu mau-mau saja?
Dalam perjalanan ia mencoba menghubungi Angela. Setelah semenit berlalu yang penuh makian karena gagal menemukan nomornya diantara puluhan siswi yang rajin mengiriminya chat, ia tersadar pada satu hal. Angela tak pernah menghubunginya sebelumya, dan ia tak pernah tahu nomor gadis itu. Malas bertanya pada mamanya, ia lalu menelepon Karina, yakin bahwa gadis itu pastilah tahu nomor Angela.
"Untuk apa nanya nomor Angela?" tanya Karina dengan nada yang belum pernah didengar Valdy selama ini, ketus dan tajam, tanpa sadar membuatnya terperangah sejenak.
"Ada urusan penting. Kirimkan lewat chat. Aku tunggu."
"Urusan apa?"
Valdy melajukan kembali mobilnya, mengikuti mobil di depannya yang telah bergerak maju karena lampu lalu lintas telah berubah hijau.
"Detensinya yang kemarin." Valdy beralasan, menyadari kecemburuan Karina. "Aku tunggu, Rin."
Ia tak berbasa-basi lagi dan memutus sambungan. Dalam hitungan detik, nomor Angela masuk melalui pesan Karina, disertai kalimat manis dan banyak emoji hati. Valdy berdecak, lalu menghubungi Angela secepatnya.
"Angela? Apa benar hari ini kamu berangkat sekolah denganku?" tanyanya saat Angela mengangkat panggilan dan berkata "Halo" dengan ragu.
"Valdy?"
"Ya. Bagaimana?"
"Hmm… Kayaknya sih begitu."
"Kamu masih di rumah?"
"Masih. Tapi… Sebaiknya jangan jemput. Aku bisa datang ke sekolah sendiri."
"Bawa mobil?"
"Sama papa."
"Aku sudah di dekat rumahmu." Valdy menahan geram di suaranya. Masih pagi, dan ia tak ingin mengacaukan sisa harinya dengan ledakan emosi yang tak perlu. Semoga Angela bisa diajak bekerja sama. "Aku jemput. Hari ini, kita berdua harus bicara soal perjodohan kita."
Angela terdengar mendesah kesal di seberang sana.
"Oke. Sebaiknya memang begitu."
Valdy memutar roda kemudi dan memasuki jalan selebar 5 meter di depan rumah Angela yang tak begitu ramai. Pintu gerbang cokelat tua di depan rumah gadis itu masih tertutup rapat saat ia menepikan mobilnya.
"Aku sampai. Ayo, cepat keluar."
Kurang dari satu menit, Angela keluar diiringi papanya. Valdy menurunkan kaca jendela penumpang dan menyapa Budi dengan ramah.
"Maaf merepotkanmu, Nak Valdy. Padahal rencananya Om yang antar Angela ke sekolah hari ini." Budi tertawa padanya, seketika membuat Valdy berang pada mamanya sendiri yang pastilah menjadi penggagas rencana nyeleneh ini. Angela bersalaman dengan papanya, memeluk lelaki itu lalu berpamitan. Tanpa banyak bicara ia masuk ke kursi belakang, membuat Valdy dan Budi terheran-heran.
"Di depan duduknya, La." Valdy memberitahunya.
"Please, nanti jadi gosip." Angela tak memandangnya sama sekali sejak tadi, memilih merapikan rambut dan menurunkan kaca jendela untuk melambai pada papanya. "Pak Valdy, jalan! Buruan! Mau upacara!"
Haisss… Kenapa ia malah jadi seperti supir pribadi bocah tengil ini sekarang? Valdy menggerutu dalam diam. Ia berpamitan pada Budi lalu melajukan kembali mobilnya, berkali-kali melirik Angela di kursi belakang yang tengah memelototi ponselnya, lalu mengetik dengan beringas di atas layarnya. Valdy mengernyit mendengar makian samar yang meluncur dari bibir mungil kemerahan itu.
"Bahasa, please!" Valdy menegurnya, dibalas lirikan sengit Angela padanya.
"Pak Valdy, terima kasih sudah mengobarkan perang dunia buatku hari ini." Angela berkata ketus, membuat Valdy mengerutkan dahi.
"Perang dunia?"
"Untuk apa Pak Valdy nanya-nanya nomor ponselku ke Karina? Sebentar lagi di kelas, dia bakal ngamuk tahu! Dia mengira aku akan merebut Pak Valdy darinya." Angela tanpa sadar bergidik. "Lain kali," Angela tak memberi kesempatan pada Valdy bicara, "Kalau mau tahu apapun soal diriku, jangan tanya Karina. Umurku bisa tambah pendek nanti!"
"Tadi buru-buru, dan hanya kepikiran untuk nanya ke Karina karena kalian sekelas. Nggak ada maksud apa-apa, Angela."
"Oh, I see…" Angela memicingkan mata pada Valdy, menyelidik.
"Kenapa memandangku dengan licik begitu?" tanya Valdy gusar, menyadari tatapan Angela yang menusuk dari spion tengah.
"Kepikiran Karina ya? Berarti kalian sudah nggak sekadar guru dan murid lagi? Lebih jauh dari itu? Sudah jadian? Tapi bukan urusanku sih!"
"Jangan berasumsi!"
"Terlihat jelas, Pak." Angela mendengus sinis. "Oya, kalau memang benar begitu. Tolong kasih tahu Karina berhenti menggangguku. Dan sebaiknya dia nggak usah cemburu soal aku yang keganjenan di depan Pak Valdy. Karena aku nggak akan pernah seperti itu. Minta tolong banget, Pak. Aku capek menghadapinya."
"Kamu ngomong apa sih? Karina selama ini sikapnya baik dan manis di depanku. Jangan mengada-ada, Angela!"
"Baik? Manis?" Angela spontan terkikik pelan, menyembunyikannya dalam tangannya. Duh, asli kena tipu Valdy, pikirnya geli.
"Jangan mulai cari masalah denganku, Angela."
"Ya deh, Pak. Aku minta tolong itu aja kok." Angela masih terkikik geli, kontan membuat Valdy jengkel. Sudah dijadikan supir, kini ditertawakan. Bocah kurang ajar!
"Oh, nanti aku turun agak jauh ya, Pak. Meminimalisir saksi mata yang mungkin ngeliat kita satu mobil. Kalau naik angkot berdua sih beda urusan. Malas nanti diserang fans fanatik Pak Valdy."
"Aku bukan supirmu, Angela!"
"Oh. Ya juga sih. Tunangan."
"Hei!"
"Kenapa sih, Pak? Sensi amat dari tadi!"
"Kamu diam saja deh! Ini masih pagi! Aku jadi emosi menghadapi tingkahmu." Valdy mengatur napasnya untuk meredam emosinya. "Nanti turun di dekat halte saja."
"Nanti ada yang lihat!"
"Kamu mau jalan kaki kejauhan?"
"Daripada jadi target bully setelah ini, mending jalan kaki. Yang capek cuma kaki, bukan hati." Angela merengut dan memandang lesu keluar jendela.
"Ya sudah. Terserah kamu saja."
Angela hanya mengangkat satu alis untuk menanggapi, tak banyak bicara lagi.
***